Kadang apa yang kita inginkan tidak selalu dapat kita capai. Bahkan saat kita telah mencapai titik perjuangan tertinggi untuk mendapatkannya.
Jika memang Tuhan berkehendak lain, kita tidak dapat mengingkarinya. Takdit. Semua kembali kepada takdir, takdir yang telah dituliskan untuk setiap manusia.
Second To Remember 4
Sivia terduduk di balkon kamarnya, matanya sembab. Hari ini dia bolos sekolah dengan dalil tidak enak badan, tapi alasan sebenarnya adalah dia tidak ingin bertemu dengan Alvin. Sudah sejak kemarin Sivia mengurung diri di kamar sambil menengis. Tidak pernah dia bayangkan sebelumnya berpisah dari Alvin yang sudah menemaninya sejak kecil. Walaupun berpisah, tidak pernah terlintas akan berpisah dengan cara seperti ini. Alvin memutuskan dirinya dengan alasan yang sangat simple, bahkan itu sangat tidak mungkin bagi Via. Tapi kenyataannya Alvin memang memutuskan hubungan mereka secara sepihak dan dengan alasan yang sangat sederhana ‘BOSAN’ ya, alas an itu yang digunakan Alvin.
*****
Di lain tempat, tepatnya di sudut kamar yang didominasi warna putih abu-abu, seorang lelaki berkulit putih pucat, bermata sipit tengah duduk dengan kepala yang menelungkup diantara kedua kaki yang dia tekuk. Keadaannya tak jauh beda denga Via, bahkan bisa dibilang keadaannya lebih parah. Menyesal? Tentu saja. Kalau bisa memilih Alvin ingin bersama Via hingga kakek-nenek. Lalu kenapa Alvin mutusin Sivia? Waktu, Alvin tidak mau waktu-waktu Via terbuang percuma hanya untuk dirinya yang mungkin sudah tidak mempunyai masa depan itu.
Toktoktok
“Vin, kakak masuk ya!” suara dari balik pintu. Tapi tidak ada sahutan dari dalam. Tasya mencoba membuka pintu itu, ‘Klek’ tidak dikunci. Tasya menghampiri Alvin yang tengah bersandar di samping ranjangnya tanpa mengubah posisinya sedikitpun. Tasya mengelus rambut Alvin pelan.
“Vin, makan ya! Dari kemaren kamu belum makan, nanti sakit loh!” kata Tasya lembut. Tapi tetap tidak ada reaksi dari Alvin.
“Alvin, jangan gini dong! Kemana adek kakak yang jagoan, yang kuat! Atau perlu kakak panggilin Sivia, terus ngasih tau dia tentang semuanya?” ancam Tasya. Alvin mengangkat kepalanya, terlihat sekali wajahnya pucat, matanya merah. Keadaannya benar-benar membuat Tasya semakin miris.
“Makan ya? Badan kamu panas nih” Bujuk Tasya lagi sambil mengelus pelan rambut Alvin. Kali ini Alvin hanya menggeleng. Tasya memandangnya memohon
“Al, nanti kalo mama papa pulang trus liat keadaan kamu yang kayak gini, mereka pasti marah. Makan ya!”
Alvin memandang kakaknya sayu. Tidak tega melihat kakaknya yang sudah hampir putus asa itu. Kemudian dia mengangguk. Gurat bahagia terpancar dari wajah Tasya saat itu juga. Setelah membantu Alvin berbaring, di segera keluar kamar menuju dapur untuk mengambil makanan. Kemudian dia kembali ke kamar Alvin sambil membawa nampan lengkap dengan makanan, minuman dan tak lupa beberapa butir obat.
“Kakak suapin ya!” kata Tasya sambil menyodorkan satu sendok bubur hangat ke mulut Alvin. Alvin membuka mulutnya walau sangat sulit untuk menelan makanan itu.
“Uhuk huk uhuuk” tiba-tiba Alvin tersedak
“Pelan-pelan, Vin! Nih minum dulu” Kata Tasya mengulurkan segelas air putih. Alvin meminumnya.
“Uhukhuk” Alvin malah tersedak air. Tasya meletakkan gelasnya di meja, kemudian mengurut punggung Alvin, berharap batuknya mereda. Setelah beberapa saat, batuk Alvin berhenti
“Udah kak!”
“Ayolah Vin, baru juga satu suapan!”
“Lo mau gue mati kesedak kayak tadi?”
Tasya diam sejenak
“Ya udah, nih lo minum obatnya! Biar panasnya turun.”
“Ah, pahit.. Kenapa nggak ada obat rasa vanilla late!”
“Banyak ngomong lo, Udah tidur”
*****
‘klek’
Pintu kamar Via terbuka. Ify masuk ditemani Rio di belakangnya. Ify prihatin melihat sahabatnya yang terus murung itu. Perlahan ify berjalan mendekati Via.
“Vi, lo nggak bisa kayak gini terus! Udah tiga hari lo nggak masuk, bentar lagi kita Ujian.” Kata Ify duduk di sampingnya.
Via tetap diam membisu. Pandangannya kosong. Bagaikan raga tak bernyawa, Via diam membatu.
“Alvin… dua hari ini dia nggak masuk, Alfa!” Rio memecah keheningan
Mendengar nama ALVIN disebut-sebut Via langsung sadar dan menoleh kea rah Rio.
“Terus..” katanya datar, suaranya serak
“Gue yakin Alvin masih sayang lo, dan dia nyesel mutusin lo!”
“Tapi.. buktinya apa? Dia mutusin gue, kalaupun dia menyesal kenapa dia nggak minta balikan, atau sekedar minta maaf untuk memperbaiki hubungan kami!” suara Via serak. Ify mendekap tubuh Via yang bergetar dengan erat, berusaha menguatkan sahabatnya itu.
“Mungkin dia punya alasan yang..”
“APA? YANG…APA? LO NGGAK BISA JAWABKAN!” Via memotong perkataan Rio. Rio terdiam.
“Udah, jangan ngributin itu. Sekarang yang penting lo harus bangkit! Buktiin ke Alvin kalo lo kuat, lo bisa ngejalani hidup biasa tanpa dia!”
“Fy, gue nggak bisa! Lo liat sendirikan, gue hancur tanpa dia!”
“Lo nggak akan pernah bisa kalau lo nggak mencoba bangkit! Sivia yang gue kenal bukan sivia yang lemah!”
“Sebelas tahun gue deket sama Al, sulit bagi gue buat ngelupain dia!”
Via kembali menangais. Ify mempererat pelukannya, dia tidak suka melihat sahabatnya itu menangis. Sementara Rio sudah keluar dari kamar Via dan menunggu Ify di depan ruang TV. Dia sadar sahabat dan pacarnya itu butuh waktu bicara.
“Lo makan ya, Vi! Kasian, nyokap lo khawatir banget sama lo yang mogok makan, ngurung diri di kamar gini!” Via diam, berfikir, dan akhirnya mengangguk
*****
Satu bulan berlalu, ujian akhir semester satu baru saja berakhir. Dan sudah menjadi kebiasaan di SMA Semesta (sekolah AlVia) untuk mengadakan Classmeeting yang terdiri dari pertandingan Basket, footsal, voli, dan lain sebagainya. Dan dilengkapi dengan berbagai stand bazaar. Ada yang menjual buku-buku atau barang bekas lainnya, ada juga yang mendirikan satnd makanan dan minuman seperti café, dan masih banyak lagi. Kelas Sivia sendiri memilih mengubah kelas mereka menjadi mini restouran, lengkap dengan maidnya. Sivia dan Ify yang juga dinobatkan sebagai salah satu maid mendapat jatah istirahat. Dengan masih menggunakan baju maid mereka, baju hitam, clemek putih renda, lengkap dengan pita/bando renda dikepalany mereka berjalan mengelilingi stand-stand kelas lain.
“Fy, ntar Rio tanding basket jam berapa?” Tanya Sivia sambil menggigit kebab yang dia beli di salah satu stand
“Jam sepuluh dia baru main, masih sempet liat kita! Eh Vi, ke sana yuk liat Band” kata Ify sambil berjalan mendahului Via.
Sementara Sivia hanya basa tertegun. Pandangannya lurus kedepan. Ada kerinduan di matanya, ada kesedihan yang mendalam. Dilihatnya Alvin berjalan kearahnya. Berharap keajaiban datang, tapi Via hanya bisa melihatnya. Alvin berjalan melewati Via tanpa meliriknya, seakan Alvin dan Via tidak saling kenal.
Mata Via terasa panas. Sekuat apapun dia menahan untuk tidak menangis. mencoba member sugesti positif pada dirinya sendiri. Berusaha menganggap tidak mengenal seorang Alvin.
“Vi, kita langsung ke GOR aja yuk, nyari tempat duduk. Ntar akutnya keburu penuh!” Kata Ify.
Ify yang merasa omongannya tidak dianggap oleh via menoleh ke belakang. Sivia tidak ada. Mata Ify berkeliling mencari dimana Via berada. Setelah menemukan sosok Via Ify segera menghampirinya.
“Vi, lo bikin gue malu! Gue ngomong sendiri dari tadi!” Omel Ify. Tak ada respon dari Sivia
“Vi, lo kenapa sih? Lo nangis? Kenapa? Crita ke gue dong” Ify menarik Via duduk di bengku di depan salah satu stan yang sepi karena ditinggal penghuninya
Via diam. Kemudia ia menghapus air matanya. Mengalihkan pandangannya yang semula menunduk kea rah Ify. Dia mencoba tersenyum se ceria mungkin
“Gue nggak apa-apa Fy, lebai banget sih! Ayo kita liat Rio tanding” Kata Sivia sambil tersenyum ceria kea rah Ify. Ify memandangnya bingung
“Lo aneh Vi”
Via hanya nyengir mendengar pernyataan temannya itu. Kemudian Via menarik tangan Ify, berlari menuju GOR tempat pertandingan basket.
Ify dan Sivia sudah duduk manis di bangku penonton. Tidak terlalu depan, tempatnya stategis. Rio yang melihat kehadiran kekasihnya itu melambaikan tangan.
“Nggak lo samperin, Fy?”
“Nggak Ah, ntar dia juga kesini! Tuh kan” kata Ify tersenyum sambil menunjuk kea rah Rio yang tengah berjalan ke arah mereka.
“Loh, Vi..Via ikut ya” Rio tergagap
“Kenapa lu Yo?” Tanya Sivia
Ify memandang Rio heran. Kemudian Rio membisikkan sesuatu ketelinga Ify. Ify membelalakkan matanya. Berpandangan dengan Rio.
“Eh, gue balik dulu ya, udah di panggil tuh!” Rio bergegas pergi setelah meninggalkan tanda di pipi Ify
“Mesra banget kalian” Via dongkol
“I..iya. mmm Vi, Kita pergi aka yuk”
“Kenapa Tuh Rio udah mau masuk lap…” kata-kata Via terhenti saat dia melihat sosok orang yang sangat tidak ingin ditemui oleh Sivia. Alvin.
“Vi, sorry, gue nggak tau kalo Alvin main! Habisnya kemaren Rio bilang Alvin nggak main, tapi tiba-tiba tadi Alin datang dan bicara ke pelatih dan akhirnya dia disuruh main! Sorry banget Vi, Ayo kita pergi aja!”
Via diam dan kemudian menggeleng
“Gue nggak apa-apa kok Fy, kita di sini aja liat Rio main. Gue akan nemenin lo kok!”
“Tapi vi..”
“Udahlah, nikmati aja. Gue beneran nggak apa-apa!”
Walau Sivia merasakan dadanya sesak dan matanya memanas, tapi dia tidak meu mengecewakan sahabatnya yang stu ini. Walau otaknya memerintahkan matanya untuk tidak melihat Alvin, tapi mayta itu tetap mengekor kemanapun Alvin pergi.
*****
Alvin yang menyadari Sivia sedang melihatnya, merasa sangat sesak. Perasaan senang, rindu, sedih semua berkumpul menjadi satu. Perasaan yang tadi juga sempat dia rasakan saat bertemu dengan Sivia. Mata Alvin tidak bisa berpaling dari Via, sampai Via pergi berlari entah kemana Alvin tetap mengikuti kemana Via pergi. Alvin yang tetap berkonsentrasi pada tempat dimana Via menghilang, tidak menyadari saat sebuah bola basket yang diumpankan Cakka melayang ke arahnya.
*****
“Vi, gue ke toilet dulu ya!”
“Nggak mau gue temenin?”
“Nggak usah, udah gedhe ini”
Walau Sivia tersenyum pada Ify, tapi Ify tahu kalau Via sudah tidak kuat menahan perasaannya. Setelah Via menghilang di pintu keluar Ify memfokuskan pandangannya ke arena lagi. Betapa terkejutnya dia saat melihat sebuah bola yang dengan kekuatan penuh dilemparkan oleh Cakka melayang kearah Alvin yang sedang memandang kea rah pintu keluar tempat Sivia menghilang. IFy dan semua yang menyaksikan Hal itu Berteriak.
“JDAK”
~TBC~
0 komentar:
Posting Komentar