Rabu, 08 Juni 2011

Second To Remember 5

Second To Remember 5

Terlambat, Alvin terlambat menghindar. Bola itu mendarat mulus di mukanya. Semua pemain mengerumuni Alvin yang jatuh terduduk, menunduk, tangan sebelah kanannya menutupi wajahnya. Wasit segera meniupkan peluit tanda pertandingan di hentikan sejenak.
“Lo nggak apa-apa? Sorry, gue nggak sengaja!” tanya Cakka panic
Alvin hanya menggeleng. Tangan kanannya yang tadi memegang wajahnya mulai diturunkan. Pandangannya buram, kepalanya serasa berputar. Pening. Digelengkan kepalanya pelan, mengusir denyutan yang kini menyerang kepalanya.
“Bawa ke UKS aja Yo” kata Ify yang sudah berada di samping Rio
Rio dan Cakka membantu Alvin berdiri dan memapahnya ke UKS. Sementara yang lain melanjutkan permainan mereka kembali.
-₪-
“Gue nggak apa-apa!” Alvin berusaha menenangkan teman-temannya.
“tapi lo mimisan gini, Vin! Ke RS aja yuk, takutnya ada luka dalam lagi!” Ify nyerocos
“Lebai banget sih kalian! Gabriel mana?”
“Nyari Via katanya”
“Loh, kok bukan lo yang nyari Via?”
“Nggak tau, Vin! Dia maksa tadi!”
Alvin terdiam. Pikirannya melayang ntah kemana. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir semua pikiran negative yang muncul. Kemudian dia berdiri, beranjak kembali ke kelasnya. Niatnya itu sempat dicegah oleh Rio dan Ify, tapi akhirnya mereka luluh dengan bujuk rayu yang dilontarkan Alvin
-₪-
Di sudut lain, di taman belakang sekolah. Di saat murid-murid yang lain sedang menikmati berbagaimacam huruf dan angka, Sivia duduk menekuk lututnya. Di tempat ini, di bawah pohon ini Alvin selalu menghabiskan istirahat dan jam kosong bersamanya, dan di tempat ini juga Alvin mengkhianatinya dengan terang-terangan mencium Aren. Sivia menangis kala mengingat kejadian itu. Tanpa dia sadari Gabriel yang tadi menyusulnya, kini telah berdiri di belakangnya. Dengan takut-takut Gabriel menyentuh pundak Sivia. Sivia tersentak dan membalikkan badan melihat siapa yang menyentuhnya. ‘Alvin. Pasti Alvin’ batinnya. Tapi bukannya wajah Alvin yang Nampak, melainkan wajah cemas Gabriel. Saat itu juga lengkung indah dari bibirnya yang tadi sempat menghiasi wajah dan membentuk lesung di pipinya memudar. Dengan kecewa Sivia membalikkan badannya lagi membelakangi Gabriel.
“Vi, lo kenapa?”
Tak ada sahutan dari Sivia. Gabriel mengubeh posisinya berhadapan dengan Sivia. Dipegangnya kedua pundak Sivia.
“Vi, lihat mat ague! Mungkin gue memang bukan sahabat yang baik buat lo ataupun Alvin. Tapi gue udah nggak sanggup nahan perasaan ini. Mungkin sekarang bukan waktu yang tepat buat bilang kalau gue GABRIEL HADITYA suka sama lo SIVIA DWIKADARA. Sejak pertama kali gue lihat lo waktu daftar ulang SMA sampek akhirnya kita sekelas sampe sekarang”
Sejenak Gabriel berhenti. Menunggu respon dari Sivia yang tampak sangat shock dan tidak menyangka. Dia tidak habis piker Gabriel yang selama ini nyuekin dia ternyata memendam perasaan terhadapnya. Gabriel yang sangat menjunjung tinggi persahabatan, rela mengorbankan semua hanya demi dirinya. Sivia benar-benar tidak menyangka Gabriel senekat ini.
“Gu..gue..” Sivia salah tingkah. Tidak tahu apa yang harus dia katakana sekarang
“Gue nggak nutuh jawaban lo sekarang. Lo boleh jawab kalo lo memang bener-bener udah mikirin ini. Yang penting sekarang beban gue udah berkurang banyak banget. Gue lega udah ngungkapin semuanya ke elo.”
Sivia masih tertegun. Matanya menatap kosong kearah Gabriel. Gabriel perlahan mengajak Sivia berdiri dan mengajaknya kembali ke kelas.
-₪-
Bel bordering empat kali, tanda waktu pulang tiba. Bel dewa yang selalu dinanti. Tidak tersa parkiran yang seperempat jam lalu riuh dengan anak-anak yang mengambil kendaraan mereka kini mulai sepi. Terlihat seorang pemuda mondar-mandir mencari sesuatu di parkiran sepedah yang kini hanya menyisakan lima buah sepeda. Seorang temannya yang melihatnya dari tempat parker motor menghampirinya.
“Nyari apa lo Vin? Kayak orang bingung gitu?”
“Sepeda gue nggak ada Yo, masak iya ada yang nyuri sepeda gue?”
“Lah, bukannya sepeda lo bocor ya? Emang udah lo benerin? Perasaan tadi pagi lo jalan kaki deh?” Rio sedikit bingung dengan pertanyaan Alvin, dan malah balik bertanya kepadanya.
“Loh, emang iya ya? Hehehe gue lupa!” Alvin menjulurkan lidah. “Thanks Yo udah ngingetin gue! Lo sendiri ngapain jam segini belum pulang?”
“Biasa nunggu cewek gue.”
“Cewek?” Alvin tampak mengerutkan dahinya. “Ify, maksud lo?”
“Iya lah, siapa lagi.” Rio jengkel. “Udah dulu ya Vin, tuh si Ify udaah kelur. Gue duluan, lo pulang ati-ati, jangan sampek nyasar!” canda Rio
Alvin memandang aneh ke arah Rio dan Ify. Ada rasa takut yang menyelimutinya. Tiba-tiba Alvin berlari ke luar sekolah, menuju rumahnya.
-₪-
Sivia duduk di balkon kamarnya sambil memelut Boneka Kucing pemberian Alvin sebagai pengganti anak mereka (re: kucing) Alvia. Pikirannya benar-benar kacau sekarang. Bingung. Sivia tau kalau Gabriel benar-benar tulus mencintainya. Sivia tidak tega menolak, tetapi di sisi lain dia juga tidak mau menjadikan Gabriel sebagai pelampiasan. Jujur Sivia benar-benar tidak mempunyai perasaan lebih pada Gabriel, dia hanya menganggap Gabriel sebagai sahabat, sebagai kakak yang selalu ada untuk menghiburnya saat dia marahan sama Alvin. Tidak mau berpikir lagi. Sivia berdiri, beranjak menuju tempat tidurnya, mencoba memejamkan matanya sejenak, melupakan segala permasalahan yang silih berganti mendatangi hidupnya.
-₪-
BRAK
Alvin menutup pintu kamarnya kemudian mengunciny. Melempar tasnya sembarangan, kemudian membanting badannya ke kasur. Bersembunyi di balik selimutnya tanpa mengganti seragamnya terlebih dahulu. Tidak memperdulikan kakaknya yang dari tadi mengetuk pintu kamarnya dengan khawatir. Tubuhnya bergetar. Ketakutannya benar-benar terjadi. Perlahan tapi pasti dia mulai melupakan hal-hal kecil. Bagaimana jika kelak dia tidak mengingat apapun? Bagaimana jika kelak dia hanya tidak bisa melakukan apapun? Bagaimana jika dia hanya bisa menyusahkan orang-orang yang ada di sekitarnya?
“Vin, buka pintunya dong! Kamu kenapa?” suara kak Tasya yang sedari tadi terus mengetuk pintu kamar Alvin. Kakak mana yang tidak khawatir melihat adiknya yang berlarian masuk ke kamarnya dengan wajah pucat. Tasya terus menggedor pintu kamar Alvin
Klek
Pintu terbuka. Sosok Alvin Nampak di balik pintu. Matanya sembab. Alvin kembali menghampiri ranjangnya. Seakan mendarat isyarat, Tasya mengikuti Alvin dan duduk di samping Alvin. Tangnnya mengelus lembut rambut Alvin. Mencoba menenangkan adiknya yang masih sedikit bergetar.
“Alvin kenapa? Crita dong!”
“A.. akukut kak…” Alvin bercerita
“Alvin kamu lihat kakak.” Tasya menarik tubuh Alvin. “Tidak ada yang merasa terganggu, ataupun merasa terbebani dengan kondisi kamu! Lagi pula kamu harus Optimis, kakak nggak mau kamu pesimis gini! Alvin, adeknya kak Tasya orangnya kuat, selalu berpikir positif!” kata Tasya menyeka air mata yang tersisa di ujung mata Alvin.
“Hehehe, aku cengeng banget deh perasaan, jadi kayak cewek gini!”
“Hahahaha, makanya nggak usah sok-sokan nangis segala! Udah ah, ayo turun. Kamu belum makan kan!”
“Kayaknya sih belum, hehehehe, abis perutku keroncongan sih!”
-₪-
Manusia memang selalu munafik. Apapun bentuknya, bagaimanapun caranya mereka pasti akan berusaha agar bisa segera lepas, keluar dari kesedihan mereka. Dan sepertinya Sivia salah satu diantara mereka. Dia telah memutuskan sebuah pilihan yang mungkin akan mengubah hidupnya, mengubah takdir cintanya. Kini dia telah berada di taman sekolah menanti seseorang yang tadi pagi telah dia sms untuk bertemu di tempat itu. Dia ragu dengan keputusannya ini. Tapi dia terus meyakinkan hatinya kalau ini memang yang terbaik untuk nya, Alvin, maupun Gabriel. Tanpa di sadari, tiba-tiba ada yang menutup mata Sivia dengan tangan.
“Siapa sih, jangan rese ah!”
“Hahahaha, jangan sensi gitu dong.”
Gabriel melepas tangannya yang menutupi mata Sivia. Ya Gabriel. Lelaki yang sedari tadi ditunggu Sivia dengan perasaan galau. Gabriel mendudukkan dirinya di samping Sivia.

“Eh, elo Yel!”
“Ada apa Vi? Lo udah nemu jawabannya buat pertanyaan gue kemaren?” Sivia mengangguk. “Terus?” lanjut Gabriel
“Gue.. gue udah mutusin. Walau gue sempat bimbang sama keputusan gue ini, tapi gue yakin ini yang terbaik buat kita. Buat lo, gue, ataupun Alvin. Jujur gue belum bisa ngelupain Alvin, gue masih sayang sama Alvin. Tapi gue harus move on. Gue nggak boleh terus-terusan berharap. Dan gue tahu keputusan gue ini cukup egois…” Sivia berhenti sejenak mengambil nafas panjang. “Bantu gue lupain Alvin, dan ajari gue buat mencintai elo”
Seakan telah melepas beban yang sangat beraat. Sivia telah mengatakannya. Keputusan yang mungkin akan mengubah takdir cintanya yang selama ini telah di goreskan olehnya. Sedangkan Gabriel saat itu masih tercengang, tidak percaya. Di tidak menyangka bahwa Sivia akan menerimanya. Walau hati kecilnya terluka karena alasan Sivia menerimanya. Tapi entah mengapa rasa bahagia tidak bisa lepas darinya. Senyumnya terus terkembang di bibir kecilnya. Walaupun ada sedikit kekhawatiran di hatinya. Bagaimana sikapnya saat bertemu Alvin nanti. Apakah Alvin akan marah padanya. Semua pikiran tentang Alvin menyelimutinya saat ini. Tapi sudahlah, toh Alvinlah yang menyia-nyiakan Via. Jadi tidak salah kalau kini Sivia mencari pengganti Alvin.
“Terimakasih Vi, lo udah mau nerima gue. Gue pasti akan bantu lo nglupain Alvin!” Ucap Gabriel seraya menarik Sivia ke dalam dekapannya.  “Gue nggak akan membiarkan lo nangis lagi. Gue akan berusaha menjadi yang terbaik bagi lo.” Lanjutnya.
Sivia hanya bisa menangis di dalam dekapan Gabriel. Tidak tahu apa yang dia tangisi, yang jelasw saat ini air matanya sudah berdesakan ingin keluar dari pelupuk matanya.
-₪-
Alvin berjalan santai menuju sekolahnya. Ntah mengapa hari ini ia merasa sangat kangen dengan Sivia. Ingin rasanya ia bermanja-manja kembali dengan Sivia. Tapi tiba-tiba dia ingat kalau hubungannya dengan Sivia telah dia akhiri. Saat itu juga rasa sesal mengisi rongga hatinya. Rasa sesal karena dia harus menyakiti Sivia. Dia telah menorehkan luka di hati Sivia. Tidak seharusnya dia memutuskan Sivia dengan cara seperti itu. Harusnya dia menjelaskan kepada Sivia alasan sebenarnya dia memutuskan Sivia. Tapi jika Alvin melakukan itu, ia yakin Sivia tidak akan mau putus dari dia. Pasti Sivia akan tetap keukuh menemani Alvin, menjaga Alvin, dan meminta untuk selalu berada di sampingnya.
Tanpa Alvin sadari, kini dia telah sampai di depan rumah Sivia. Alvin menghentikan kakinya sejenak, menatap ke jendela lantai dua, ya, itu kamar Sivia. Jendelanya sudah terbuka, lampunya sudah tidak menyala, berarti sudah dapat dipastikan kalau Sivia telah berangkat. Alvin hapal betul kebiasaan Sivia yang tidak akan mematikan lampu sebelum dia berangkat sekolah.
“Eh, mas Alvin.” Sebuah suara menyadarkan Alvin. “Mau jemput mbak Via ya? Mbak Via nya baru saja berangkat mas, di jemput cowok cakep, hitam manis gitu!” cerocos mbak Fera, pembantu di rumah Sivia. “Kemana aja mas? Kok jarang main ke sini sih?” lanjutnya
Alvin hanya tersenyum, kemudian berlalu meninggalkan halaman rumah Sivia. Dia tidak menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang di lontarkan mbak Fera tadi. Di sepanjang jalan, perkataan mbak Fera tadi terus terngiang di telinga Alvin ‘di jemput cowok cakep, hitam manis.‘ siapa cowok yang di maksud mbak Fera tadi. Apakah dia pacar baru Sivia. Siapa dia. Apakah Alvin mengenalnya. Semua pertanyaan itu memenuhi pikiran Alvin saat ini.
Alvin telah memasuki halaman sekolah. Kini matanya tertuju ke kerumunan anak-anak di depan Sivia. Ada apa ini. Anak-anak yang tadinya tertawa itu langsung terdiam begitu melihat Alvin datang. Hal itu semakin membuat Alvin bingung. Tapi, sepersekian detik kemudian Alvin mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Semua pertanyaan tentang Sivia, siapa cowok yang menjemput Sivia, Alvin tahu siapa orang itu. Gabriel, cowok yang dimaksud mbak Fera tadi adalah Gabriel, sahabat Alvin. Pertanyaan baru muncul di otak Alvin. Ada hubungan apa Gabriel dan Sivia. Benarkah mereka berpacaran. Alvin dapat menebak dari rona wajah Sivia yang memucat. Ya, mereka berdua memang sudah berpacaran.
Tanpa memperdulikan tatapan anak-anak Alvin berjalan menuju kelasnya yang berada tepat di samping kelas Sivia. Dia berjalan dengan cuek sambil melewati Sivia dan Gabriel.
Alvin meletakkan tasnya sembarangan kemudian duduk dan menelungkupkan kepalanya ke dalam kedua tangannya yang terlipat di atas meja. kepalanya terasa berdenyut sekarang. Terlalu banyek hal yang dia pikirkan hari ini memnuat kepalanya pusing. Rio yang baru datang langsung menghempaskan tubuhnya di samping Alvin. Wajahnya terlihat cemas.
“Vin, lo nggak apa-apa kan?”
“Hem..”
“Gue tau lo pasti sakit hati banget tuh sama Gabriel. Tapi lo jangan nangis gini dong! Malu gue.” Mario mengelus punggung Alvin pelan
Tas Alvin berhasil mendarat mulus di muka Rio.
“Apa-apaan sih, Vin? Ganteng gue bisa hancur nih!” Rio mengelus mukanya yang memerah
“Gue nggak nangis BEGO!” Alvin mengangkat kepalanya
“Vin, lo sakit?
“Hah? Nggaklah.”
“Muka lo pucet banget tuh. Gue anter ke UKS yuk!”
“Apaan sih, gue kan emang putih.”
“Tap…”
Perkataan Rio terputus saat melihat Gabriel berjalan kea rah mereka. Dengan canggung Gabriel menyapa Alvin dan Rio.
“Pa..pagi. mm sorry, Vin. Gue nggak bermaksut ngehianatin lo. Gue nggak bermaksud ngambil kesempatan dalam kesempitan. Tapi hati gue udah nggak sanggup membendung rasa suka gue ke Via. Dari pertama gue ketemu Sivia, gue langsung suka sama dia. Tapi ternyata dia udah jadi milik lo. Gue udah berusaha ngubur perasaan ini, tapi semakin gue berusaha, semakin perasaan itu tumbuh. Dan puncaknya saat gue ngeliat Sivia nangis karena lo. Waktu itu gue bener-bener marah sama lo. Gue mati-matian nahan perasaan gue buat Via demi kalian, tapi lo malah nyia-nyiain Via. Dan otak gue udah nggak bisa berpikir jernih lagi. 2 hari yang lalu gue nembak Via dengan ragu. Dan kemaren dia nerima gue, dia nerima gue karena dia pengen nglupain lo Vin. Gue udah cukup seneng walau Cuma jadi pelampiasan dia aja.”
BUGH
Sebuah tinju melayang ke perut Gabriel. Rio yang dari tadi berusaha diam mendeger penjelasan Gabriel akhirnya tidak kuasa menahan emosinya. Sampai akhirnya melayangkan tinjunya ke perut Gabriel, dan berhasil membuat Gabriel meringis. Alvin yang masih dalam posisinya, tidak menampakkan perubahan ekspresi saat mendengar penjelasan Gabriel. Hanya senyum yang ia keluarkan. Tapi spontan ia berteriak saat Rio berdiri dan meninju Gabriel.
“RIO, Lo kenapa sih!”
“LO ITU BEGO APA AUTIS SIH? DIA UDAH NUSUK LO DARI BELAKANG ALVIN!”
“Udah lah, gue nggak apa-apa. Lagian dia cocok buat sivia. Sivia pantes dapetin yang lebih baik dari gue, dan Gabriel emang lebih baik dalam segala hal daripada gue.udahlah yo, jangan rusak persahabatan kita Cuma gara-gara hal kayak gini. Gue beneran nggak apa-apa. Dan lo yel, gue minta maaf udah nyakitin Via. Lo emang lebih pantas buat Via daripada gue!”
Alvin berdiri dan membantu Gabriel berdiri, sementara Rio hanya bisa diam. Anak-anak yang tadinya berkumpul melihat pertengkaran Rio dan Gabriel kini kembali ke aktifitas mereka masing-masing. Bell jam pertama sudah berbunyi, tanpa menunggu waktu lama Pak Bobi guru Kimia memasuki kelas. Pelajaran berjalan begitu tenang. Bahkan begitu tenang. Hingga bell tanda pergantian jam ke 3-4 kepala Alvin semakin terasa berdenyut.
“Vin, lo nggak apa-apa? Muka lo semakin pucet tuh!” Alvin hanya menggeleng. “ Lo ke UKS aja deh, lagian jam kosong ini Miss Lina ijin nganterin anak OSIS nyari proposal!” lanjut Rio yang notabene anggota OSIS yang slengekan.
Alvin tidak menanggapi ucapan Rio. Dia berdiri mencoba berjalan tertatih ke luar kelas.
“Mau kemana lo? UKS? Gue temenin deh.” Lanjut Rio, yang hanya mendapat isyarat tanda Rio tidak perlu menemaninya.
 Alvin berjalan menuju UKS. Kepalanya berdenyut semakin kuat hingga membuatnya hamper terjatuh di pintu UKS. Saat itu Alvin datang UKS sepi, tidak ada yang menjaga. Alvin membaringkan tubuhnya di bangsal, mencoba memejamkan matanya. Tak butuh waktu lama Alvin sudah terlelap.

~TBC~

0 komentar:

Posting Komentar

My Blog List

Diberdayakan oleh Blogger.

 

Design by Amanda @ Blogger Buster