oke galau lagi. Gue mau curhat nih, kalo ada yang baca bisa dong kasih saran lewat komen.
Gue pinya satu masalah besar. Bisa dibilang masalah ini masalah batin.
Gue tau banyak orang yang bilang kalo gue ini selalu ceria. Emang bener, gue selalu berusaha ceria di depan mereka, mencoba selalu tersenyum, selalu ad buat mereka. Tapi tanpa gue sadari di sisi lain gue ngerasa tertekan. Gue ngerasa jadi orang palibg munafik yang pernah ada.
Gue selalu ngandelin dua kata keramat, katayang paling gue benci. kata itu mungkin terdengar biasa, tapi buat gue itu menyakitkan. 'NGGAK APA-APA' ya, kata itu yang selalu jadi topeng kekecewaan gue, sakit gue, baik itu sakit fisik atau psikis.
Gue pengn banget jujur tebtabg perasaan gue. Kalau ga suka bilang ga suka, kalau maeah bilang marah, kecewa bilang kecewa, dll. Tapi kenapa sulit banget bagi gue untuk nglakuin hal itu.
pokokny gue pengen cepat pergi dari keadaan kayak gini.
Ada yang punya sokusi??
Senin, 10 Oktober 2011
Selasa, 20 September 2011
Random Phisyk Time
Weis, lama ga ngeblog nih..
Tau nggak, hari ini bangku depan gue. yup, pasangan baru ISSAC NEWTON "Ryan Nurdianto VS Yuniar Safitri".
Lucu loh pacarannya. Gue aja ngiri, pengen pacaran kayak gitu. Tapi sayang si Ryan kurang romantis. Coba kalau lebih romantis, beh.. dijamin gue tambah ngiri.
Btw, Kak Pin tutup akun lagi. Knapa ya, tuh anak labil banget. Tapi kasian juga kalo inget curhat-curhat dia dulu *nih guru fisika curcol ya?*. Gue jadi kangen sama tuh anak. Bagaimana pun, dia kan asik diajak ngobrol.
Ngomongin Kak Pin ga akan enak kalo ga sekalian ngomongin Kak Uwi sama Kak Ra. "KAK RA GUE KANGEEEENNN!!!" *apa coba*. "KAK UWI< GUE MASIH MARAH SAMA LO". Jun 1000x lebih cakep daripada lo, inget itu.
WEs, cukup ngerandomin D'AVCOZ. now balik lagi ke "BANGKU DEPAN". Okke Yan, bagus.. lo mulai agresif. tapi kurang romantis *apa deh*.
Eh, eh, eh.. ngapain tuh "TETANGGA SEBELAH"? kasian nih guru Fisika. masak tuh tetangga sebelah malah ngePES -..-"
***
Sip, Agama kosong BI kososng..
udah ya, gue seneng" dulu :P
Tau nggak, hari ini bangku depan gue. yup, pasangan baru ISSAC NEWTON "Ryan Nurdianto VS Yuniar Safitri".
Lucu loh pacarannya. Gue aja ngiri, pengen pacaran kayak gitu. Tapi sayang si Ryan kurang romantis. Coba kalau lebih romantis, beh.. dijamin gue tambah ngiri.
Btw, Kak Pin tutup akun lagi. Knapa ya, tuh anak labil banget. Tapi kasian juga kalo inget curhat-curhat dia dulu *nih guru fisika curcol ya?*. Gue jadi kangen sama tuh anak. Bagaimana pun, dia kan asik diajak ngobrol.
Ngomongin Kak Pin ga akan enak kalo ga sekalian ngomongin Kak Uwi sama Kak Ra. "KAK RA GUE KANGEEEENNN!!!" *apa coba*. "KAK UWI< GUE MASIH MARAH SAMA LO". Jun 1000x lebih cakep daripada lo, inget itu.
WEs, cukup ngerandomin D'AVCOZ. now balik lagi ke "BANGKU DEPAN". Okke Yan, bagus.. lo mulai agresif. tapi kurang romantis *apa deh*.
Eh, eh, eh.. ngapain tuh "TETANGGA SEBELAH"? kasian nih guru Fisika. masak tuh tetangga sebelah malah ngePES -..-"
***
Sip, Agama kosong BI kososng..
udah ya, gue seneng" dulu :P
Senin, 22 Agustus 2011
Kakak dan Adik
Kakak dan Adik
Aku dilahirkan di sebuah dusun
pegunungan yang sangat terpencil .
Hari demi hari , orang tuaku membajak
tanah kering kuning , dan punggung
mereka menghadap ke langit . Aku
mempunyai seorang adik , tiga tahun
lebih muda dariku .
Suatu ketika, untuk membeli sebuah
sapu tangan yang mana semua gadis
di sekelilingku kelihatannya
membawanya , aku mencuri lima puluh
sen dari laci ayahku . Ayah segera
menyadarinya . Beliau membuat adikku
dan diriku berlutut di depan tembok,
dengan sebuah tongkat bambu di
tangannya .
"Siapa yang mencuri uang itu ?" Beliau
bertanya .Aku terpaku, terlalu takut
untuk berbicara. Ayah tidak mendengar
siapa pun mengaku, jadi Beliau
mengatakan , " Baiklah , kalau begitu ,
kalian berdua layak dipukul!" Dia
mengangkat tongkat bambu itu tingi-
tinggi .Tiba- tiba, adikku mencengkeram
tangannya dan berkata, "Ayah , aku
yang melakukannya !
"Tongkat panjang itu menghantam
punggung adikku bertubi -tubi. Ayah
begitu marahnya sehingga ia terus
menerus mencambukinya sampai
Beliau kehabisan nafas . Sesudahnya,
Beliau duduk di atas ranjang batu bata
kami dan memarahi , " Kamu sudah
belajar mencuri dari rumah sekarang ,
hal memalukan apa lagi yang akan
kamu lakukan di masa mendatang? . ..
Kamu layak dipukul sampai mati!
Kamu pencuri tidak tahu malu !
"Malam itu , ibu dan aku memeluk
adikku dalam pelukan kami . Tubuhnya
penuh dengan luka, tetapi ia tidak
menitikkan air mata setetes pun.Di
pertengahan malam itu , saya tiba-tiba
mulai menangis meraung -
raung.Adikku menutup mulutku
dengan tangan kecilnya dan berkata,
"Kak , jangan menangis lagi sekarang .
Semuanya sudah terjadi." Aku masih
selalu membenci diriku karena tidak
memiliki cukup keberanian untuk maju
mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat , tapi
insiden tersebut masih kelihatan
seperti baru kemarin. Aku tidak pernah
akan lupa tampang adikku ketika ia
melindungiku. Waktu itu , adikku
berusia 8 tahun. Aku berusia 11.Ketika
adikku berada pada tahun terakhirnya
di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di
pusat kabupaten . Pada saat yang
sama , saya diterima untuk masuk ke
sebuah universitas propinsi . Malam itu ,
ayah berjongkok di
halaman ,menghisap rokok
tembakaunya, bungkus demi bungkus .
Saya mendengarnya merengut, " Kedua
anak kita memberikan hasil yang
begitu baik... hasil yang begitu
baik.. ."Ibu mengusap air matanya yang
mengalir dan menghela nafas , "Apa
gunanya ?Bagaimana mungkin kita bisa
membiayai keduanya sekaligus ?"
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke
hadapan ayah dan berkata, "Ayah ,saya
tidak mau melanjutkan sekolah lagi ,
telah cukup membaca banyak
buku ."Ayah mengayunkan tangannya
dan memukul adikku pada
wajahnya." Mengapa kau mempunyai
jiwa yang begitu keparat lemahnya?
Bahkan jika berarti saya mesti
mengemis di jalanan , saya akan
menyekolahkan kamu berdua sampai
selesai!" Dan begitu kemudian ia
mengetuk setiap rumah di dusun itu
untuk meminjam uang . Aku
menjulurkan tanganku selembut yang
aku bisa ke muka adikku yang
membengkak, dan berkata, "Seorang
anak laki -laki harus meneruskan
sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan
pernah meninggalkan jurang
kemiskinan ini. "Aku, sebaliknya, telah
memutuskan untuk tidak lagi
meneruskan ke universitas .
Siapa sangka keesokan harinya,
sebelum subuh datang, adikku
meninggalkan rumah dengan
beberapa helai pakaian lusuh dan
sedikit kacang yang sudah mengering .
Dia menyelinap ke samping ranjangku
dan meninggalkan secarik kertas di atas
bantalku :"Kak , masuk ke universitas
tidaklah mudah . Saya akan pergi
mencari kerja dan mengirimkanmu
uang ."Aku memegang kertas tersebut
di atas tempat tidurku , dan menangis
dengan air mata bercucuran sampai
suaraku hilang .
Tahun itu, adikku berusia 17 tahun . Aku
20.Dengan uang yang ayahku pinjam
dari seluruh dusun, dan uang yang
adikku hasilkan dari mengangkut
semen pada punggungnya di lokasi
konstruksi, aku akhirnya sampai ke
tahun ketiga (di universitas ) .
Suatu hari, aku sedang belajar di
kamarku , ketika teman sekamarku
masuk dan memberitahukan, " Ada
seorang penduduk dusun
menunggumu di luar sana!" Mengapa
ada seorang penduduk dusun
mencariku ?Aku berjalan keluar, dan
melihat adikku dari jauh , seluruh
badannya kotor tertutup debu semen
dan pasir . Aku menanyakannya ,
"Mengapa kamu tidak bilang pada
teman sekamarku kamu adalah
adikku?"Dia menjawab , tersenyum ,
"Lihat bagaimana penampilanku. Apa
yang akan mereka pikir jika mereka
tahu saya adalah adikmu? Apa mereka
tidak akan menertawakanmu ? " Aku
merasa tersentuh, dan air mata
memenuhi mataku. Aku menyapu
debu -debu dari adikku semuanya, dan
tersekat-sekat dalam kata- kataku, "Aku
tidak perduli omongan siapa pun!
Kamu adalah adikku apa pun juga!
Kamu adalah adikku bagaimana pun
penampilanmu. ..
"Dari sakunya, ia mengeluarkan
sebuah jepit rambut berbentuk kupu -
kupu . Ia memakaikannya kepadaku,
dan terus menjelaskan , "Saya melihat
semua gadis kota memakainya . Jadi
saya pikir kamu juga harus memiliki
satu." Aku tidak dapat menahan diri
lebih lama lagi . Aku menarik adikku ke
dalam pelukanku dan menangis dan
menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku
23.
Kali pertama aku membawa pacarku
ke rumah , kaca jendela yang pecah
telah diganti , dan kelihatan bersih di
mana-mana. Setelah pacarku pulang ,
aku menari seperti gadis kecil di depan
ibuku." Bu, ibu tidak perlu
menghabiskan begitu banyak waktu
untuk membersihkan rumah
kita !" Tetapi katanya, sambil tersenyum ,
"Itu adalah adikmu yang pulang awal
untuk membersihkan rumah ini.
Tidakkah kamu melihat luka pada
tangannya ? Ia terluka ketika memasang
kaca jendela baru itu..
"Aku masuk ke dalam ruangan kecil
adikku. Melihat mukanya yang
kurus,seratus jarum terasa menusukku.
Aku mengoleskan sedikit saleb pada
lukanya dan membalut
lukanya." Apakah itu sakit?" Aku
menanyakannya ." Tidak, tidak sakit.
Kamu tahu , ketika saya bekerja di lokasi
konstruksi, batu- batu berjatuhan pada
kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak
menghentikanku bekerja dan ..." Di
tengah kalimat itu ia berhenti . Aku
membalikkan tubuhku
memunggunginya ,dan air mata
mengalir deras turun ke wajahku .
Tahun itu, adikku 23 . Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota .
Berkali- kali suamiku dan aku
mengundang orang tuaku untuk
datang dan tinggal bersama kami ,
tetapi mereka tidak pernah mau.
Mereka mengatakan , sekali
meninggalkan dusun, mereka tidak
akan tahu harus mengerjakan apa.
Adikku tidak setuju juga ,mengatakan ,
"Kak , jagalah mertuamu aja . Saya akan
menjaga ibu dan ayah disini .
"Suamiku menjadi direktur pabriknya.
Kami menginginkan adikku
mendapatkan pekerjaan sebagai
manajer pada departemen
pemeliharaan. Tetapi adikku menolak
tawaran tersebut. Ia bersikeras
memulai bekerja sebagai pekerja
reparasi. Suatu hari, adikku diatas
sebuah tangga untuk memperbaiki
sebuah kabel ,ketika ia mendapat
sengatan listrik , dan masuk rumah
sakit. Suamiku dan aku pergi
menjenguknya . Melihat gips putih
pada kakinya , saya menggerutu ,
"Mengapa kamu menolak menjadi
manajer? Manajer tidak akan pernah
harus melakukan sesuatu yang
berbahaya seperti ini. Lihat kamu
sekarang , luka yang begitu serius .
Mengapa kamu tidak mau mendengar
kami sebelumnya?"Dengan tampang
yang serius pada wajahnya, ia
membela keputusannya ." Pikirkan kakak
ipar-- ia baru saja jadi direktur, dan
saya hampir tidak berpendidikan . Jika
saya menjadi manajer seperti itu, berita
seperti apa yang akan menjadi buah
bibir orang?
"Mata suamiku dipenuhi air mata , dan
kemudian keluar kata- kataku yang
sepatah- sepatah: " Tapi kamu kurang
pendidikan juga karena aku !" Mengapa
membicarakan masa lalu ?"Adikku
menggenggam tanganku. Tahun itu, ia
berusia 26 dan aku 29 .
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia
menikahi seorang gadis petani dari
dusun itu. Dalam acara pernikahannya,
pembawa acara perayaan itu bertanya
kepadanya , " Siapa yang paling kamu
hormati dan kasihi?"Tanpa bahkan
berpikir ia menjawab, "Kakakku ." Ia
melanjutkan dengan menceritakan
kembali sebuah kisah yang bahkan
tidak dapat kuingat .
"Ketika saya pergi sekolah SD , ia
berada pada dusun yang berbeda.
Setiap hari kakakku dan saya berjalan
selama dua jam untuk pergi ke sekolah
dan pulang ke rumah . Suatu hari, saya
kehilangan satu dari sarung
tanganku.Kakakku memberikan satu
dari kepunyaannya . Ia hanya memakai
satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika
kami tiba di rumah , tangannya begitu
gemetaran karena cuaca yang begitu
dingin sampai ia tidak dapat
memegang sumpitnya .Sejak hari itu,
saya bersumpah, selama saya masih
hidup, saya akan menjaga kakakku dan
baik kepadanya . "Tepuk tangan
membanjiri ruangan itu . Semua tamu
memalingkan perhatiannya
kepadaku.Kata -kata begitu susah
kuucapkan keluar bibirku, " Dalam
hidupku, orang yang paling aku
berterima kasih kepadanya adalah
adikku. "Dan dalam kesempatan yang
paling berbahagia ini, di depan
kerumunan perayaan ini, air mata
bercucuran turun dari wajahku seperti
sungai.
Aku dilahirkan di sebuah dusun
pegunungan yang sangat terpencil .
Hari demi hari , orang tuaku membajak
tanah kering kuning , dan punggung
mereka menghadap ke langit . Aku
mempunyai seorang adik , tiga tahun
lebih muda dariku .
Suatu ketika, untuk membeli sebuah
sapu tangan yang mana semua gadis
di sekelilingku kelihatannya
membawanya , aku mencuri lima puluh
sen dari laci ayahku . Ayah segera
menyadarinya . Beliau membuat adikku
dan diriku berlutut di depan tembok,
dengan sebuah tongkat bambu di
tangannya .
"Siapa yang mencuri uang itu ?" Beliau
bertanya .Aku terpaku, terlalu takut
untuk berbicara. Ayah tidak mendengar
siapa pun mengaku, jadi Beliau
mengatakan , " Baiklah , kalau begitu ,
kalian berdua layak dipukul!" Dia
mengangkat tongkat bambu itu tingi-
tinggi .Tiba- tiba, adikku mencengkeram
tangannya dan berkata, "Ayah , aku
yang melakukannya !
"Tongkat panjang itu menghantam
punggung adikku bertubi -tubi. Ayah
begitu marahnya sehingga ia terus
menerus mencambukinya sampai
Beliau kehabisan nafas . Sesudahnya,
Beliau duduk di atas ranjang batu bata
kami dan memarahi , " Kamu sudah
belajar mencuri dari rumah sekarang ,
hal memalukan apa lagi yang akan
kamu lakukan di masa mendatang? . ..
Kamu layak dipukul sampai mati!
Kamu pencuri tidak tahu malu !
"Malam itu , ibu dan aku memeluk
adikku dalam pelukan kami . Tubuhnya
penuh dengan luka, tetapi ia tidak
menitikkan air mata setetes pun.Di
pertengahan malam itu , saya tiba-tiba
mulai menangis meraung -
raung.Adikku menutup mulutku
dengan tangan kecilnya dan berkata,
"Kak , jangan menangis lagi sekarang .
Semuanya sudah terjadi." Aku masih
selalu membenci diriku karena tidak
memiliki cukup keberanian untuk maju
mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat , tapi
insiden tersebut masih kelihatan
seperti baru kemarin. Aku tidak pernah
akan lupa tampang adikku ketika ia
melindungiku. Waktu itu , adikku
berusia 8 tahun. Aku berusia 11.Ketika
adikku berada pada tahun terakhirnya
di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di
pusat kabupaten . Pada saat yang
sama , saya diterima untuk masuk ke
sebuah universitas propinsi . Malam itu ,
ayah berjongkok di
halaman ,menghisap rokok
tembakaunya, bungkus demi bungkus .
Saya mendengarnya merengut, " Kedua
anak kita memberikan hasil yang
begitu baik... hasil yang begitu
baik.. ."Ibu mengusap air matanya yang
mengalir dan menghela nafas , "Apa
gunanya ?Bagaimana mungkin kita bisa
membiayai keduanya sekaligus ?"
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke
hadapan ayah dan berkata, "Ayah ,saya
tidak mau melanjutkan sekolah lagi ,
telah cukup membaca banyak
buku ."Ayah mengayunkan tangannya
dan memukul adikku pada
wajahnya." Mengapa kau mempunyai
jiwa yang begitu keparat lemahnya?
Bahkan jika berarti saya mesti
mengemis di jalanan , saya akan
menyekolahkan kamu berdua sampai
selesai!" Dan begitu kemudian ia
mengetuk setiap rumah di dusun itu
untuk meminjam uang . Aku
menjulurkan tanganku selembut yang
aku bisa ke muka adikku yang
membengkak, dan berkata, "Seorang
anak laki -laki harus meneruskan
sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan
pernah meninggalkan jurang
kemiskinan ini. "Aku, sebaliknya, telah
memutuskan untuk tidak lagi
meneruskan ke universitas .
Siapa sangka keesokan harinya,
sebelum subuh datang, adikku
meninggalkan rumah dengan
beberapa helai pakaian lusuh dan
sedikit kacang yang sudah mengering .
Dia menyelinap ke samping ranjangku
dan meninggalkan secarik kertas di atas
bantalku :"Kak , masuk ke universitas
tidaklah mudah . Saya akan pergi
mencari kerja dan mengirimkanmu
uang ."Aku memegang kertas tersebut
di atas tempat tidurku , dan menangis
dengan air mata bercucuran sampai
suaraku hilang .
Tahun itu, adikku berusia 17 tahun . Aku
20.Dengan uang yang ayahku pinjam
dari seluruh dusun, dan uang yang
adikku hasilkan dari mengangkut
semen pada punggungnya di lokasi
konstruksi, aku akhirnya sampai ke
tahun ketiga (di universitas ) .
Suatu hari, aku sedang belajar di
kamarku , ketika teman sekamarku
masuk dan memberitahukan, " Ada
seorang penduduk dusun
menunggumu di luar sana!" Mengapa
ada seorang penduduk dusun
mencariku ?Aku berjalan keluar, dan
melihat adikku dari jauh , seluruh
badannya kotor tertutup debu semen
dan pasir . Aku menanyakannya ,
"Mengapa kamu tidak bilang pada
teman sekamarku kamu adalah
adikku?"Dia menjawab , tersenyum ,
"Lihat bagaimana penampilanku. Apa
yang akan mereka pikir jika mereka
tahu saya adalah adikmu? Apa mereka
tidak akan menertawakanmu ? " Aku
merasa tersentuh, dan air mata
memenuhi mataku. Aku menyapu
debu -debu dari adikku semuanya, dan
tersekat-sekat dalam kata- kataku, "Aku
tidak perduli omongan siapa pun!
Kamu adalah adikku apa pun juga!
Kamu adalah adikku bagaimana pun
penampilanmu. ..
"Dari sakunya, ia mengeluarkan
sebuah jepit rambut berbentuk kupu -
kupu . Ia memakaikannya kepadaku,
dan terus menjelaskan , "Saya melihat
semua gadis kota memakainya . Jadi
saya pikir kamu juga harus memiliki
satu." Aku tidak dapat menahan diri
lebih lama lagi . Aku menarik adikku ke
dalam pelukanku dan menangis dan
menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku
23.
Kali pertama aku membawa pacarku
ke rumah , kaca jendela yang pecah
telah diganti , dan kelihatan bersih di
mana-mana. Setelah pacarku pulang ,
aku menari seperti gadis kecil di depan
ibuku." Bu, ibu tidak perlu
menghabiskan begitu banyak waktu
untuk membersihkan rumah
kita !" Tetapi katanya, sambil tersenyum ,
"Itu adalah adikmu yang pulang awal
untuk membersihkan rumah ini.
Tidakkah kamu melihat luka pada
tangannya ? Ia terluka ketika memasang
kaca jendela baru itu..
"Aku masuk ke dalam ruangan kecil
adikku. Melihat mukanya yang
kurus,seratus jarum terasa menusukku.
Aku mengoleskan sedikit saleb pada
lukanya dan membalut
lukanya." Apakah itu sakit?" Aku
menanyakannya ." Tidak, tidak sakit.
Kamu tahu , ketika saya bekerja di lokasi
konstruksi, batu- batu berjatuhan pada
kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak
menghentikanku bekerja dan ..." Di
tengah kalimat itu ia berhenti . Aku
membalikkan tubuhku
memunggunginya ,dan air mata
mengalir deras turun ke wajahku .
Tahun itu, adikku 23 . Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota .
Berkali- kali suamiku dan aku
mengundang orang tuaku untuk
datang dan tinggal bersama kami ,
tetapi mereka tidak pernah mau.
Mereka mengatakan , sekali
meninggalkan dusun, mereka tidak
akan tahu harus mengerjakan apa.
Adikku tidak setuju juga ,mengatakan ,
"Kak , jagalah mertuamu aja . Saya akan
menjaga ibu dan ayah disini .
"Suamiku menjadi direktur pabriknya.
Kami menginginkan adikku
mendapatkan pekerjaan sebagai
manajer pada departemen
pemeliharaan. Tetapi adikku menolak
tawaran tersebut. Ia bersikeras
memulai bekerja sebagai pekerja
reparasi. Suatu hari, adikku diatas
sebuah tangga untuk memperbaiki
sebuah kabel ,ketika ia mendapat
sengatan listrik , dan masuk rumah
sakit. Suamiku dan aku pergi
menjenguknya . Melihat gips putih
pada kakinya , saya menggerutu ,
"Mengapa kamu menolak menjadi
manajer? Manajer tidak akan pernah
harus melakukan sesuatu yang
berbahaya seperti ini. Lihat kamu
sekarang , luka yang begitu serius .
Mengapa kamu tidak mau mendengar
kami sebelumnya?"Dengan tampang
yang serius pada wajahnya, ia
membela keputusannya ." Pikirkan kakak
ipar-- ia baru saja jadi direktur, dan
saya hampir tidak berpendidikan . Jika
saya menjadi manajer seperti itu, berita
seperti apa yang akan menjadi buah
bibir orang?
"Mata suamiku dipenuhi air mata , dan
kemudian keluar kata- kataku yang
sepatah- sepatah: " Tapi kamu kurang
pendidikan juga karena aku !" Mengapa
membicarakan masa lalu ?"Adikku
menggenggam tanganku. Tahun itu, ia
berusia 26 dan aku 29 .
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia
menikahi seorang gadis petani dari
dusun itu. Dalam acara pernikahannya,
pembawa acara perayaan itu bertanya
kepadanya , " Siapa yang paling kamu
hormati dan kasihi?"Tanpa bahkan
berpikir ia menjawab, "Kakakku ." Ia
melanjutkan dengan menceritakan
kembali sebuah kisah yang bahkan
tidak dapat kuingat .
"Ketika saya pergi sekolah SD , ia
berada pada dusun yang berbeda.
Setiap hari kakakku dan saya berjalan
selama dua jam untuk pergi ke sekolah
dan pulang ke rumah . Suatu hari, saya
kehilangan satu dari sarung
tanganku.Kakakku memberikan satu
dari kepunyaannya . Ia hanya memakai
satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika
kami tiba di rumah , tangannya begitu
gemetaran karena cuaca yang begitu
dingin sampai ia tidak dapat
memegang sumpitnya .Sejak hari itu,
saya bersumpah, selama saya masih
hidup, saya akan menjaga kakakku dan
baik kepadanya . "Tepuk tangan
membanjiri ruangan itu . Semua tamu
memalingkan perhatiannya
kepadaku.Kata -kata begitu susah
kuucapkan keluar bibirku, " Dalam
hidupku, orang yang paling aku
berterima kasih kepadanya adalah
adikku. "Dan dalam kesempatan yang
paling berbahagia ini, di depan
kerumunan perayaan ini, air mata
bercucuran turun dari wajahku seperti
sungai.
Selasa, 09 Agustus 2011
nightmare (kegalauan tengah malam)
ok, ntah kenapa tiba-tiba aja gue jadi galau kayak gini. Mungkin gara-gara gue liat status 'Alvin' yg menjadi caracter cowok di cerpen gue 'Dream' sama skuelnya 'Special Story'. Gue bener-bener berharap tuh status dia tunjukin buat gue. Gue yang mungkin dulu sempat mempunyai rasa lebih kw dia, walau mungkin rasa itu bukan cinta.
Tapi ga salah kan kalau gue menharapkan dia, walaupun gue sendiri g tau apakah gue cinta dia atau kagak...
ah, bener-bener galau nih. Tapi curhat di blog gini beneran nyenengin loh. Kan gu ga tau ad yang baca apa kagak. Kalau ga ada Alhamdulillah, kalau ada pun ga papa (kan gue ga tau, jadi ga perlu malu) hehehe
cukup, udah malem ikan bobok.. jam 1:20
Tapi ga salah kan kalau gue menharapkan dia, walaupun gue sendiri g tau apakah gue cinta dia atau kagak...
ah, bener-bener galau nih. Tapi curhat di blog gini beneran nyenengin loh. Kan gu ga tau ad yang baca apa kagak. Kalau ga ada Alhamdulillah, kalau ada pun ga papa (kan gue ga tau, jadi ga perlu malu) hehehe
cukup, udah malem ikan bobok.. jam 1:20
Minggu, 07 Agustus 2011
With Eka
Mmmm...
Eka, she is my friend who have complate name Eka Kurnianingsih. Hari ini gue duduk bareng dia hari ini. Komentar gue tentang dia, mmm... gimana ya, asik, rame, lucu, imut-imut. Lumayan lah, asik ga garing.
Ngapain aja ya gue sama dia hari ini?
-duduk bareng
-ngrumpi
tapi yang jadi keberuntungan gue adalah gue ga jadi duduk sama "You Know Who". dan itu semua karena jasa besar Eka. Hagz hagz
Ya udah itu aja dulu, gue mau pulang (masih di sekolah, di tengah jam Phisic)
Babay, Bandus udah nunggu nih
Eka, she is my friend who have complate name Eka Kurnianingsih. Hari ini gue duduk bareng dia hari ini. Komentar gue tentang dia, mmm... gimana ya, asik, rame, lucu, imut-imut. Lumayan lah, asik ga garing.
Ngapain aja ya gue sama dia hari ini?
-duduk bareng
-ngrumpi
tapi yang jadi keberuntungan gue adalah gue ga jadi duduk sama "You Know Who". dan itu semua karena jasa besar Eka. Hagz hagz
Ya udah itu aja dulu, gue mau pulang (masih di sekolah, di tengah jam Phisic)
Babay, Bandus udah nunggu nih
Rabu, 20 Juli 2011
nggak sadarkah kalian nyakitin hati gw?
waktu kalian butuh gw aja, kalian deketin gw. Sekarang apa? Giliran gw butuh, kalian g ada. Gw berhak marah, berhak nangis. Kalian tau gw selalu merasa sendiri. Walau gw ada di antara kalian, gw tetep ngerasa sendiru. Tapi sebisa mungkin gw senyum, gw berusaha biasa aja. gw ga mau kalian ikut mikir.
Apa kalian tau tiap kata yg kalian ucapkan itu nyakitin hati gw. Tapi kalian lihat kan gw malah ketawa bareng kalian.
Kalian ga tau hati gw sakit. Gw ngerasa ga nyaman dalam situasi seperti itu. Bayangin aja gimana rasanya lo ada dalam posisi gw.
Kadang kalian nganggep gw ada, tapi lain waktu kalian nganggep gw ga ada. Sakit banget.
Kata teteh sih mungkin itu semua cuma perasaan gw. Tapi tetep aja rasanya sakit. Sakit banget sendiri di antara tawa orang-orang yg jelas-jelas ada di sekitar kita.
Satu lagi. Gw jug tau diri. inget itu, gw juga tau diri. Gw sadar kalian ga mau bareng gw. Oke gw ikhlas ngejaih dari kalian. Gw juga sadar gw selalu ngrepotin kalian.
Gw udah capek jadi orang munafik. Ngebohongi perasaan gw sendiri. Harusnya gw jujur. tapi gw ga mau nyakitin kalian.
GUE CAPEK!!!!!!
waktu kalian butuh gw aja, kalian deketin gw. Sekarang apa? Giliran gw butuh, kalian g ada. Gw berhak marah, berhak nangis. Kalian tau gw selalu merasa sendiri. Walau gw ada di antara kalian, gw tetep ngerasa sendiru. Tapi sebisa mungkin gw senyum, gw berusaha biasa aja. gw ga mau kalian ikut mikir.
Apa kalian tau tiap kata yg kalian ucapkan itu nyakitin hati gw. Tapi kalian lihat kan gw malah ketawa bareng kalian.
Kalian ga tau hati gw sakit. Gw ngerasa ga nyaman dalam situasi seperti itu. Bayangin aja gimana rasanya lo ada dalam posisi gw.
Kadang kalian nganggep gw ada, tapi lain waktu kalian nganggep gw ga ada. Sakit banget.
Kata teteh sih mungkin itu semua cuma perasaan gw. Tapi tetep aja rasanya sakit. Sakit banget sendiri di antara tawa orang-orang yg jelas-jelas ada di sekitar kita.
Satu lagi. Gw jug tau diri. inget itu, gw juga tau diri. Gw sadar kalian ga mau bareng gw. Oke gw ikhlas ngejaih dari kalian. Gw juga sadar gw selalu ngrepotin kalian.
Gw udah capek jadi orang munafik. Ngebohongi perasaan gw sendiri. Harusnya gw jujur. tapi gw ga mau nyakitin kalian.
GUE CAPEK!!!!!!
Selasa, 28 Juni 2011
yep, ini postingan gj gue. Gue mau crita tentang sesrorang, yah semacam share pendapat gue tentang orang ini.
Setelah sekin lama gue kenal dia, gue baru bisa mengidentifikasi apa yaang ngebuat dia jadi *ehem* agak ga di sukai temen sekelasnya dan yang bikin dia agak kaya orang depresi. Ok ga usah babibu langsung aja ini pendapat gue tentang si Tami (nama disamarkan)
Dia itu kayaknya ngesok gitu, pilih pillih temen. Dia terlalu tetobsesi sama somethink like... mmm you know lah *gue ga bisa jelasinnya*. kayakny orangnya juga susah bergaul sama orang biasa (re: biasa di mata dia). Trus dia teralu membesr besarkan masalah, jadi gue ga heran kalo dia gampang frustasi.
Gue juga berasumsi kalau hidup dia itu sangat menyedihkan dengan berbagi 'penyakit' yang dia punya.
Tapi gue rasa walau kadang gue rada kesel sama dia (you know guw orangnya moody banget) karena kadang mood dia nyolotin mood gue kalo lagi ngobrol (re: gue galau, eh ternyata dia juga galau. gye happy, eh ternyata dia tetep galau, ikutan galau deh gue) gue bisa tetep happy dan nyambung kalau ngobrol sama dia. Maklum sifat sama kebiasaan kita sama hehew
Ok, udah cukup. (Gue lupa ga tidur lagi nih hahha, tau tau jam 4.30) asik kuga curcol disini hhhehe
bubay.. Ja ne
Setelah sekin lama gue kenal dia, gue baru bisa mengidentifikasi apa yaang ngebuat dia jadi *ehem* agak ga di sukai temen sekelasnya dan yang bikin dia agak kaya orang depresi. Ok ga usah babibu langsung aja ini pendapat gue tentang si Tami (nama disamarkan)
Dia itu kayaknya ngesok gitu, pilih pillih temen. Dia terlalu tetobsesi sama somethink like... mmm you know lah *gue ga bisa jelasinnya*. kayakny orangnya juga susah bergaul sama orang biasa (re: biasa di mata dia). Trus dia teralu membesr besarkan masalah, jadi gue ga heran kalo dia gampang frustasi.
Gue juga berasumsi kalau hidup dia itu sangat menyedihkan dengan berbagi 'penyakit' yang dia punya.
Tapi gue rasa walau kadang gue rada kesel sama dia (you know guw orangnya moody banget) karena kadang mood dia nyolotin mood gue kalo lagi ngobrol (re: gue galau, eh ternyata dia juga galau. gye happy, eh ternyata dia tetep galau, ikutan galau deh gue) gue bisa tetep happy dan nyambung kalau ngobrol sama dia. Maklum sifat sama kebiasaan kita sama hehew
Ok, udah cukup. (Gue lupa ga tidur lagi nih hahha, tau tau jam 4.30) asik kuga curcol disini hhhehe
bubay.. Ja ne
Rabu, 08 Juni 2011
Special Story (Sequel Dream)
Special Story
Angin malam ini terasa begitu dingin, tapi entah mengapa dapat memberikan kesejukan. Kini aku duduk di teras rumahku, memandangi bintang yang bertabur indah menemani bulan, berbagi cerita. Aku mendesah pelan, ketika tanpa sengaja ingatan tentang hari itu berputar di kepalaku, memenuhi pikiranku. Hari dimana kami dipertemukan kembali oleh waktu, setelah sekian lama.
-₪-
Entah mengapa malam itu aku bersemangat saat ibu mengajakku ke rumah nenek yang kebetulan bersebelahan dengan rumah tanteku. Entahlah, aku merasa ada sesuatu yang besar akan terjadi hari ini. Tidak sampai 30 menit kami telah sampai. Saat memasuki pekarangan, aku melihat sebuah vespa kuning yang telah di modifikasi sedemikian rupa. Sepertinya aku sudah tidak asing lagi dengan kendaraan lawas itu. Saat aku melihat ke teras rumah tante, aku melihat sesosok lelaki berjamper abu-abu dengan tutup kepalanya yang ia kenakan.
‘Siapa ya?’ batinku penasaran. Tapi sepertinya rasa penasaranku itu harus ku tunda sejenak saat ibu mengajakku masuk ke rumah nenek terlebih dahulu. Saat aku asik memberi salam sambil sedikit berbincang dengan anggota keluargaku yang kebetulan malam itu semua sedang berkumpul, kakak sepupuku, anak tanteku yang katanya baru pulang dan masih mengenakan seragam pramuka mendatangiku, mengajakku ke teras rumah nenekku itu.
“Kenapa kak?”
“Itu, kamu ditunggu!”
“Hah? Ditunggu? Siapa?”
“Alvin.”
“What? Kak Alvin?” teriakku dalam hati. Alvin, kakak sepupuku yang juga merupakan cinta pertamaku. “Kok…” sebelum aku menyelesaikan kalimatku kakakku sudah menarikku ke teras rumahnya.
Lelaki berjemper abu-abu tadi menoleh saat kami mendatanginya. Dia melepas tutup kepalanya. Ku perhatikan wajahnya dalam-dalam. Dia tersenyum, senyum lembut yang selalu membawa kesejukan. Wajah tirus tapi memancarkan ketangguhan, hidung yang bisa dibilang lumayan mancung, bibir tipis yang selalu merekahkan senyum, semuanya masih sama seperti dulu.
“Hai..” sapanya
“Hai, udah lama?”
“Lumayan sih, nunggu kamu lama banget!” jawabnya yang sukses membuat pipiku memerah.
“Eh, kalian ngobrol duluan deh! Aku mau mandi.” Sela kakakku sambil mendorongku untuk duduk di kursi samping kak Davin duduk. Kesunyian tercipta diantara kami, sesekali aku melirik ke arahnya, dan tidak jarang pandangan kami bertemu. Tetapi hanya senyum kecil yang saling kami keluarkan.
“Kok diam?” Kak Alvin membuka pembicaraan
“Bingung!”
“Pegangan, atau balik aja bajunya.” Aku tertawa kecil mendengar ucapannya ini
“Apaan sih! Eh, kak tumben kesini?”
“Pengen ketemu kamu, udah lama nggak ketemu sih! Tapi aku Cuma bisa sebentar di sini.”
“Loh kok gitu?” kataku sambil sedikit menunduk menyembunyikan rona merah di pipiku
“Ada latihan basket.”
“Oh..”
Selanjutnya hanya permasalahan-permasalahan ringan yang kami bicarakan. Sambil sesekali diiringi ringtone hp, karena memang saat itu aku dan dia memang sedang senam jari. Aku yang saat itu sedang curhat nggak jelas bersama sahabatku Rizky Putri, dan dia entahlah dengan siapa aku tidak begitu mempermasalahkan hal itu. Keadaan ini berlangsung sampai kakakku datang mengagetkan kami dengan rambut basah yang masih berusaha dia keringkan dengan anduk. Dan tidak lama setelah itu kak Davin pamit pulang dengan alasan teman-temannya sudah menunggunya.
-₪-
Dan sekarang di sinilah aku, duduk sendirian di teras rumah sambil memperhatikan langit malam yang dihiasi bintang. Tenggelam dalam pemikiran-pemikiran randomku, sambil sesekali melakukan sedikit senam jari, membalas beberapa sms yang masuk ke HP ku. Sampai ayahku memanggilku dan menyuruhku untuk tidur.
Angin malam ini terasa begitu dingin, tapi entah mengapa dapat memberikan kesejukan. Kini aku duduk di teras rumahku, memandangi bintang yang bertabur indah menemani bulan, berbagi cerita. Aku mendesah pelan, ketika tanpa sengaja ingatan tentang hari itu berputar di kepalaku, memenuhi pikiranku. Hari dimana kami dipertemukan kembali oleh waktu, setelah sekian lama.
-₪-
Entah mengapa malam itu aku bersemangat saat ibu mengajakku ke rumah nenek yang kebetulan bersebelahan dengan rumah tanteku. Entahlah, aku merasa ada sesuatu yang besar akan terjadi hari ini. Tidak sampai 30 menit kami telah sampai. Saat memasuki pekarangan, aku melihat sebuah vespa kuning yang telah di modifikasi sedemikian rupa. Sepertinya aku sudah tidak asing lagi dengan kendaraan lawas itu. Saat aku melihat ke teras rumah tante, aku melihat sesosok lelaki berjamper abu-abu dengan tutup kepalanya yang ia kenakan.
‘Siapa ya?’ batinku penasaran. Tapi sepertinya rasa penasaranku itu harus ku tunda sejenak saat ibu mengajakku masuk ke rumah nenek terlebih dahulu. Saat aku asik memberi salam sambil sedikit berbincang dengan anggota keluargaku yang kebetulan malam itu semua sedang berkumpul, kakak sepupuku, anak tanteku yang katanya baru pulang dan masih mengenakan seragam pramuka mendatangiku, mengajakku ke teras rumah nenekku itu.
“Kenapa kak?”
“Itu, kamu ditunggu!”
“Hah? Ditunggu? Siapa?”
“Alvin.”
“What? Kak Alvin?” teriakku dalam hati. Alvin, kakak sepupuku yang juga merupakan cinta pertamaku. “Kok…” sebelum aku menyelesaikan kalimatku kakakku sudah menarikku ke teras rumahnya.
Lelaki berjemper abu-abu tadi menoleh saat kami mendatanginya. Dia melepas tutup kepalanya. Ku perhatikan wajahnya dalam-dalam. Dia tersenyum, senyum lembut yang selalu membawa kesejukan. Wajah tirus tapi memancarkan ketangguhan, hidung yang bisa dibilang lumayan mancung, bibir tipis yang selalu merekahkan senyum, semuanya masih sama seperti dulu.
“Hai..” sapanya
“Hai, udah lama?”
“Lumayan sih, nunggu kamu lama banget!” jawabnya yang sukses membuat pipiku memerah.
“Eh, kalian ngobrol duluan deh! Aku mau mandi.” Sela kakakku sambil mendorongku untuk duduk di kursi samping kak Davin duduk. Kesunyian tercipta diantara kami, sesekali aku melirik ke arahnya, dan tidak jarang pandangan kami bertemu. Tetapi hanya senyum kecil yang saling kami keluarkan.
“Kok diam?” Kak Alvin membuka pembicaraan
“Bingung!”
“Pegangan, atau balik aja bajunya.” Aku tertawa kecil mendengar ucapannya ini
“Apaan sih! Eh, kak tumben kesini?”
“Pengen ketemu kamu, udah lama nggak ketemu sih! Tapi aku Cuma bisa sebentar di sini.”
“Loh kok gitu?” kataku sambil sedikit menunduk menyembunyikan rona merah di pipiku
“Ada latihan basket.”
“Oh..”
Selanjutnya hanya permasalahan-permasalahan ringan yang kami bicarakan. Sambil sesekali diiringi ringtone hp, karena memang saat itu aku dan dia memang sedang senam jari. Aku yang saat itu sedang curhat nggak jelas bersama sahabatku Rizky Putri, dan dia entahlah dengan siapa aku tidak begitu mempermasalahkan hal itu. Keadaan ini berlangsung sampai kakakku datang mengagetkan kami dengan rambut basah yang masih berusaha dia keringkan dengan anduk. Dan tidak lama setelah itu kak Davin pamit pulang dengan alasan teman-temannya sudah menunggunya.
-₪-
Dan sekarang di sinilah aku, duduk sendirian di teras rumah sambil memperhatikan langit malam yang dihiasi bintang. Tenggelam dalam pemikiran-pemikiran randomku, sambil sesekali melakukan sedikit senam jari, membalas beberapa sms yang masuk ke HP ku. Sampai ayahku memanggilku dan menyuruhku untuk tidur.
Dream (Repost)
Dream
Aku mempercepat langkahku masuk ke kelas karena sebentar lagi kelas akan dimulai. Aku berhenti sejenak di depan kelas mencari bangku yang masih kosong. Terlihat 2 bangku di pojok belakang, bangku yang sangat tidak strategis bagiku. Aku berjalan gontai menuju bangku.
”Tumben telat!” tanya sahabatku Agni sambil menghampiriku
”semalem ngerjain tugas buat presentasi sampe’ malem. Telat bangun deh!” kataku manyun
Teet....... teet........ teeeeet..........
Pembicaraan kami terhenti karena bel tanda masuk tlah berbunyi. Teman-temanku sudah duduk di bangku masing-masing. Beberapa saat kemudian muncul Bu Ira memasuki kelas, beliau tampak begitu anggun dan berwibawa. Dibelakangnya terlihat anak cowok sebayaku mengikutinya masuk.
”Asalamualaikum Wr. Wb.” Kata guru itu mengawali pembelajaran
”Waalaikumsalam Wr.Wb.” jawab murid-murid serempak
”Anak-anak kita kedatangan murit baru pindahan dari SMA Bintang Harapan (ada nggak ea, ngarang dikit g pa2 dah??? ), ayo perkenalkan dirimu!”
Kupandang sekilas wajah anak itu. ’kayak pernah liat’ batinku.
”Perkenalkan nama saya Alvin Jhonatan Sindunata, panggil aja Alvin, pindahan dari SMA Bimyamg Harapan. Mohon bantuannya!”
Betapa kagetnya aku ketika mendengar namanya, yang mengingatkan aku pada seseorang yang sudah 8 tahun ini menjadi pujaan hatiku. Ya Alvin adalah saudaraku, tapi aku sangat menyukainya. Memang aku baru 4 kali bertemu dengannya. Terakhir kami kontak saat aku kelas 1 SMP, itupun melalui SMS.
”Ada yang mau bertanya????” suara itu membangunkan aku dari lamunan masa kecilku
”Ya, kalo’ tidak ada Alvin kamu bisa duduk mmm.......... yak disana ada bangku kosong di sebelah Zeva, kamu duduk disana!!!”kata Ira itu sambil menunjuk bangku kosong di sebelahku.
Betapa kagetnya aku mendengar perkataan Ira tadi, reflek aku langsung berdiri. Hal itu membuat semua pasang mata yang ada di kelas memandang kearahku dengan exspresi yang nggak bisa diungkapkan.
”Ada apa Zeva?????” tanya guru itu
”ah, nggak Bu.... Nggak ada apa-apa!!” jawabku sedikit gugub dan malu
Aku segera duduk. Tanpa kusadari, ternyata Alvin sudah berada di sampingku. Rasanya seperti ada Ray yang bermain drum di dekat jantungku, deg-degan banget.
”hai lama nggak ketemu, ya!” katanya menyunggingkan senyum mematikan
yang membuatku klepek-klepek.
”ha, hai...... Heeh lama nggak ketemu” jawabku gugub
Tiba-tiba kedia tangan Alvin memegang kadua bahuku dan dia mulai mendekatkan wajahnya ke samping telingaku dan kemudian berkata,
”BanGUnnnnnnnnn......... sayang sudah jam 5.30 kamu sekolah nggak??????
Nenti telat low!”
Betapa kagetnya aku saat kubuka mata ternyata bukan wajah Alvin yang tampak, tapi wajah Bundaku yang terlihat kesal. Ah, ternyata tadi hanya mimpi.....
Second To Remember 5
Second To Remember 5
Terlambat, Alvin terlambat menghindar. Bola itu mendarat mulus di mukanya. Semua pemain mengerumuni Alvin yang jatuh terduduk, menunduk, tangan sebelah kanannya menutupi wajahnya. Wasit segera meniupkan peluit tanda pertandingan di hentikan sejenak.
“Lo nggak apa-apa? Sorry, gue nggak sengaja!” tanya Cakka panic
Alvin hanya menggeleng. Tangan kanannya yang tadi memegang wajahnya mulai diturunkan. Pandangannya buram, kepalanya serasa berputar. Pening. Digelengkan kepalanya pelan, mengusir denyutan yang kini menyerang kepalanya.
“Bawa ke UKS aja Yo” kata Ify yang sudah berada di samping Rio
Rio dan Cakka membantu Alvin berdiri dan memapahnya ke UKS. Sementara yang lain melanjutkan permainan mereka kembali.
-₪-
“Gue nggak apa-apa!” Alvin berusaha menenangkan teman-temannya.
“tapi lo mimisan gini, Vin! Ke RS aja yuk, takutnya ada luka dalam lagi!” Ify nyerocos
“Lebai banget sih kalian! Gabriel mana?”
“Nyari Via katanya”
“Loh, kok bukan lo yang nyari Via?”
“Nggak tau, Vin! Dia maksa tadi!”
Alvin terdiam. Pikirannya melayang ntah kemana. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir semua pikiran negative yang muncul. Kemudian dia berdiri, beranjak kembali ke kelasnya. Niatnya itu sempat dicegah oleh Rio dan Ify, tapi akhirnya mereka luluh dengan bujuk rayu yang dilontarkan Alvin
-₪-
Di sudut lain, di taman belakang sekolah. Di saat murid-murid yang lain sedang menikmati berbagaimacam huruf dan angka, Sivia duduk menekuk lututnya. Di tempat ini, di bawah pohon ini Alvin selalu menghabiskan istirahat dan jam kosong bersamanya, dan di tempat ini juga Alvin mengkhianatinya dengan terang-terangan mencium Aren. Sivia menangis kala mengingat kejadian itu. Tanpa dia sadari Gabriel yang tadi menyusulnya, kini telah berdiri di belakangnya. Dengan takut-takut Gabriel menyentuh pundak Sivia. Sivia tersentak dan membalikkan badan melihat siapa yang menyentuhnya. ‘Alvin. Pasti Alvin’ batinnya. Tapi bukannya wajah Alvin yang Nampak, melainkan wajah cemas Gabriel. Saat itu juga lengkung indah dari bibirnya yang tadi sempat menghiasi wajah dan membentuk lesung di pipinya memudar. Dengan kecewa Sivia membalikkan badannya lagi membelakangi Gabriel.
“Vi, lo kenapa?”
Tak ada sahutan dari Sivia. Gabriel mengubeh posisinya berhadapan dengan Sivia. Dipegangnya kedua pundak Sivia.
“Vi, lihat mat ague! Mungkin gue memang bukan sahabat yang baik buat lo ataupun Alvin. Tapi gue udah nggak sanggup nahan perasaan ini. Mungkin sekarang bukan waktu yang tepat buat bilang kalau gue GABRIEL HADITYA suka sama lo SIVIA DWIKADARA. Sejak pertama kali gue lihat lo waktu daftar ulang SMA sampek akhirnya kita sekelas sampe sekarang”
Sejenak Gabriel berhenti. Menunggu respon dari Sivia yang tampak sangat shock dan tidak menyangka. Dia tidak habis piker Gabriel yang selama ini nyuekin dia ternyata memendam perasaan terhadapnya. Gabriel yang sangat menjunjung tinggi persahabatan, rela mengorbankan semua hanya demi dirinya. Sivia benar-benar tidak menyangka Gabriel senekat ini.
“Gu..gue..” Sivia salah tingkah. Tidak tahu apa yang harus dia katakana sekarang
“Gue nggak nutuh jawaban lo sekarang. Lo boleh jawab kalo lo memang bener-bener udah mikirin ini. Yang penting sekarang beban gue udah berkurang banyak banget. Gue lega udah ngungkapin semuanya ke elo.”
Sivia masih tertegun. Matanya menatap kosong kearah Gabriel. Gabriel perlahan mengajak Sivia berdiri dan mengajaknya kembali ke kelas.
-₪-
Bel bordering empat kali, tanda waktu pulang tiba. Bel dewa yang selalu dinanti. Tidak tersa parkiran yang seperempat jam lalu riuh dengan anak-anak yang mengambil kendaraan mereka kini mulai sepi. Terlihat seorang pemuda mondar-mandir mencari sesuatu di parkiran sepedah yang kini hanya menyisakan lima buah sepeda. Seorang temannya yang melihatnya dari tempat parker motor menghampirinya.
“Nyari apa lo Vin? Kayak orang bingung gitu?”
“Sepeda gue nggak ada Yo, masak iya ada yang nyuri sepeda gue?”
“Lah, bukannya sepeda lo bocor ya? Emang udah lo benerin? Perasaan tadi pagi lo jalan kaki deh?” Rio sedikit bingung dengan pertanyaan Alvin, dan malah balik bertanya kepadanya.
“Loh, emang iya ya? Hehehe gue lupa!” Alvin menjulurkan lidah. “Thanks Yo udah ngingetin gue! Lo sendiri ngapain jam segini belum pulang?”
“Biasa nunggu cewek gue.”
“Cewek?” Alvin tampak mengerutkan dahinya. “Ify, maksud lo?”
“Iya lah, siapa lagi.” Rio jengkel. “Udah dulu ya Vin, tuh si Ify udaah kelur. Gue duluan, lo pulang ati-ati, jangan sampek nyasar!” canda Rio
Alvin memandang aneh ke arah Rio dan Ify. Ada rasa takut yang menyelimutinya. Tiba-tiba Alvin berlari ke luar sekolah, menuju rumahnya.
-₪-
Sivia duduk di balkon kamarnya sambil memelut Boneka Kucing pemberian Alvin sebagai pengganti anak mereka (re: kucing) Alvia. Pikirannya benar-benar kacau sekarang. Bingung. Sivia tau kalau Gabriel benar-benar tulus mencintainya. Sivia tidak tega menolak, tetapi di sisi lain dia juga tidak mau menjadikan Gabriel sebagai pelampiasan. Jujur Sivia benar-benar tidak mempunyai perasaan lebih pada Gabriel, dia hanya menganggap Gabriel sebagai sahabat, sebagai kakak yang selalu ada untuk menghiburnya saat dia marahan sama Alvin. Tidak mau berpikir lagi. Sivia berdiri, beranjak menuju tempat tidurnya, mencoba memejamkan matanya sejenak, melupakan segala permasalahan yang silih berganti mendatangi hidupnya.
-₪-
BRAK
Alvin menutup pintu kamarnya kemudian mengunciny. Melempar tasnya sembarangan, kemudian membanting badannya ke kasur. Bersembunyi di balik selimutnya tanpa mengganti seragamnya terlebih dahulu. Tidak memperdulikan kakaknya yang dari tadi mengetuk pintu kamarnya dengan khawatir. Tubuhnya bergetar. Ketakutannya benar-benar terjadi. Perlahan tapi pasti dia mulai melupakan hal-hal kecil. Bagaimana jika kelak dia tidak mengingat apapun? Bagaimana jika kelak dia hanya tidak bisa melakukan apapun? Bagaimana jika dia hanya bisa menyusahkan orang-orang yang ada di sekitarnya?
“Vin, buka pintunya dong! Kamu kenapa?” suara kak Tasya yang sedari tadi terus mengetuk pintu kamar Alvin. Kakak mana yang tidak khawatir melihat adiknya yang berlarian masuk ke kamarnya dengan wajah pucat. Tasya terus menggedor pintu kamar Alvin
Klek
Pintu terbuka. Sosok Alvin Nampak di balik pintu. Matanya sembab. Alvin kembali menghampiri ranjangnya. Seakan mendarat isyarat, Tasya mengikuti Alvin dan duduk di samping Alvin. Tangnnya mengelus lembut rambut Alvin. Mencoba menenangkan adiknya yang masih sedikit bergetar.
“Alvin kenapa? Crita dong!”
“A.. akukut kak…” Alvin bercerita
“Alvin kamu lihat kakak.” Tasya menarik tubuh Alvin. “Tidak ada yang merasa terganggu, ataupun merasa terbebani dengan kondisi kamu! Lagi pula kamu harus Optimis, kakak nggak mau kamu pesimis gini! Alvin, adeknya kak Tasya orangnya kuat, selalu berpikir positif!” kata Tasya menyeka air mata yang tersisa di ujung mata Alvin.
“Hehehe, aku cengeng banget deh perasaan, jadi kayak cewek gini!”
“Hahahaha, makanya nggak usah sok-sokan nangis segala! Udah ah, ayo turun. Kamu belum makan kan!”
“Kayaknya sih belum, hehehehe, abis perutku keroncongan sih!”
-₪-
Manusia memang selalu munafik. Apapun bentuknya, bagaimanapun caranya mereka pasti akan berusaha agar bisa segera lepas, keluar dari kesedihan mereka. Dan sepertinya Sivia salah satu diantara mereka. Dia telah memutuskan sebuah pilihan yang mungkin akan mengubah hidupnya, mengubah takdir cintanya. Kini dia telah berada di taman sekolah menanti seseorang yang tadi pagi telah dia sms untuk bertemu di tempat itu. Dia ragu dengan keputusannya ini. Tapi dia terus meyakinkan hatinya kalau ini memang yang terbaik untuk nya, Alvin, maupun Gabriel. Tanpa di sadari, tiba-tiba ada yang menutup mata Sivia dengan tangan.
“Siapa sih, jangan rese ah!”
“Hahahaha, jangan sensi gitu dong.”
Gabriel melepas tangannya yang menutupi mata Sivia. Ya Gabriel. Lelaki yang sedari tadi ditunggu Sivia dengan perasaan galau. Gabriel mendudukkan dirinya di samping Sivia.
“Eh, elo Yel!”
“Ada apa Vi? Lo udah nemu jawabannya buat pertanyaan gue kemaren?” Sivia mengangguk. “Terus?” lanjut Gabriel
“Gue.. gue udah mutusin. Walau gue sempat bimbang sama keputusan gue ini, tapi gue yakin ini yang terbaik buat kita. Buat lo, gue, ataupun Alvin. Jujur gue belum bisa ngelupain Alvin, gue masih sayang sama Alvin. Tapi gue harus move on. Gue nggak boleh terus-terusan berharap. Dan gue tahu keputusan gue ini cukup egois…” Sivia berhenti sejenak mengambil nafas panjang. “Bantu gue lupain Alvin, dan ajari gue buat mencintai elo”
Seakan telah melepas beban yang sangat beraat. Sivia telah mengatakannya. Keputusan yang mungkin akan mengubah takdir cintanya yang selama ini telah di goreskan olehnya. Sedangkan Gabriel saat itu masih tercengang, tidak percaya. Di tidak menyangka bahwa Sivia akan menerimanya. Walau hati kecilnya terluka karena alasan Sivia menerimanya. Tapi entah mengapa rasa bahagia tidak bisa lepas darinya. Senyumnya terus terkembang di bibir kecilnya. Walaupun ada sedikit kekhawatiran di hatinya. Bagaimana sikapnya saat bertemu Alvin nanti. Apakah Alvin akan marah padanya. Semua pikiran tentang Alvin menyelimutinya saat ini. Tapi sudahlah, toh Alvinlah yang menyia-nyiakan Via. Jadi tidak salah kalau kini Sivia mencari pengganti Alvin.
“Terimakasih Vi, lo udah mau nerima gue. Gue pasti akan bantu lo nglupain Alvin!” Ucap Gabriel seraya menarik Sivia ke dalam dekapannya. “Gue nggak akan membiarkan lo nangis lagi. Gue akan berusaha menjadi yang terbaik bagi lo.” Lanjutnya.
Sivia hanya bisa menangis di dalam dekapan Gabriel. Tidak tahu apa yang dia tangisi, yang jelasw saat ini air matanya sudah berdesakan ingin keluar dari pelupuk matanya.
-₪-
Alvin berjalan santai menuju sekolahnya. Ntah mengapa hari ini ia merasa sangat kangen dengan Sivia. Ingin rasanya ia bermanja-manja kembali dengan Sivia. Tapi tiba-tiba dia ingat kalau hubungannya dengan Sivia telah dia akhiri. Saat itu juga rasa sesal mengisi rongga hatinya. Rasa sesal karena dia harus menyakiti Sivia. Dia telah menorehkan luka di hati Sivia. Tidak seharusnya dia memutuskan Sivia dengan cara seperti itu. Harusnya dia menjelaskan kepada Sivia alasan sebenarnya dia memutuskan Sivia. Tapi jika Alvin melakukan itu, ia yakin Sivia tidak akan mau putus dari dia. Pasti Sivia akan tetap keukuh menemani Alvin, menjaga Alvin, dan meminta untuk selalu berada di sampingnya.
Tanpa Alvin sadari, kini dia telah sampai di depan rumah Sivia. Alvin menghentikan kakinya sejenak, menatap ke jendela lantai dua, ya, itu kamar Sivia. Jendelanya sudah terbuka, lampunya sudah tidak menyala, berarti sudah dapat dipastikan kalau Sivia telah berangkat. Alvin hapal betul kebiasaan Sivia yang tidak akan mematikan lampu sebelum dia berangkat sekolah.
“Eh, mas Alvin.” Sebuah suara menyadarkan Alvin. “Mau jemput mbak Via ya? Mbak Via nya baru saja berangkat mas, di jemput cowok cakep, hitam manis gitu!” cerocos mbak Fera, pembantu di rumah Sivia. “Kemana aja mas? Kok jarang main ke sini sih?” lanjutnya
Alvin hanya tersenyum, kemudian berlalu meninggalkan halaman rumah Sivia. Dia tidak menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang di lontarkan mbak Fera tadi. Di sepanjang jalan, perkataan mbak Fera tadi terus terngiang di telinga Alvin ‘di jemput cowok cakep, hitam manis.‘ siapa cowok yang di maksud mbak Fera tadi. Apakah dia pacar baru Sivia. Siapa dia. Apakah Alvin mengenalnya. Semua pertanyaan itu memenuhi pikiran Alvin saat ini.
Alvin telah memasuki halaman sekolah. Kini matanya tertuju ke kerumunan anak-anak di depan Sivia. Ada apa ini. Anak-anak yang tadinya tertawa itu langsung terdiam begitu melihat Alvin datang. Hal itu semakin membuat Alvin bingung. Tapi, sepersekian detik kemudian Alvin mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Semua pertanyaan tentang Sivia, siapa cowok yang menjemput Sivia, Alvin tahu siapa orang itu. Gabriel, cowok yang dimaksud mbak Fera tadi adalah Gabriel, sahabat Alvin. Pertanyaan baru muncul di otak Alvin. Ada hubungan apa Gabriel dan Sivia. Benarkah mereka berpacaran. Alvin dapat menebak dari rona wajah Sivia yang memucat. Ya, mereka berdua memang sudah berpacaran.
Tanpa memperdulikan tatapan anak-anak Alvin berjalan menuju kelasnya yang berada tepat di samping kelas Sivia. Dia berjalan dengan cuek sambil melewati Sivia dan Gabriel.
Alvin meletakkan tasnya sembarangan kemudian duduk dan menelungkupkan kepalanya ke dalam kedua tangannya yang terlipat di atas meja. kepalanya terasa berdenyut sekarang. Terlalu banyek hal yang dia pikirkan hari ini memnuat kepalanya pusing. Rio yang baru datang langsung menghempaskan tubuhnya di samping Alvin. Wajahnya terlihat cemas.
“Vin, lo nggak apa-apa kan?”
“Hem..”
“Gue tau lo pasti sakit hati banget tuh sama Gabriel. Tapi lo jangan nangis gini dong! Malu gue.” Mario mengelus punggung Alvin pelan
Tas Alvin berhasil mendarat mulus di muka Rio.
“Apa-apaan sih, Vin? Ganteng gue bisa hancur nih!” Rio mengelus mukanya yang memerah
“Gue nggak nangis BEGO!” Alvin mengangkat kepalanya
“Vin, lo sakit?
“Hah? Nggaklah.”
“Muka lo pucet banget tuh. Gue anter ke UKS yuk!”
“Apaan sih, gue kan emang putih.”
“Tap…”
Perkataan Rio terputus saat melihat Gabriel berjalan kea rah mereka. Dengan canggung Gabriel menyapa Alvin dan Rio.
“Pa..pagi. mm sorry, Vin. Gue nggak bermaksut ngehianatin lo. Gue nggak bermaksud ngambil kesempatan dalam kesempitan. Tapi hati gue udah nggak sanggup membendung rasa suka gue ke Via. Dari pertama gue ketemu Sivia, gue langsung suka sama dia. Tapi ternyata dia udah jadi milik lo. Gue udah berusaha ngubur perasaan ini, tapi semakin gue berusaha, semakin perasaan itu tumbuh. Dan puncaknya saat gue ngeliat Sivia nangis karena lo. Waktu itu gue bener-bener marah sama lo. Gue mati-matian nahan perasaan gue buat Via demi kalian, tapi lo malah nyia-nyiain Via. Dan otak gue udah nggak bisa berpikir jernih lagi. 2 hari yang lalu gue nembak Via dengan ragu. Dan kemaren dia nerima gue, dia nerima gue karena dia pengen nglupain lo Vin. Gue udah cukup seneng walau Cuma jadi pelampiasan dia aja.”
BUGH
Sebuah tinju melayang ke perut Gabriel. Rio yang dari tadi berusaha diam mendeger penjelasan Gabriel akhirnya tidak kuasa menahan emosinya. Sampai akhirnya melayangkan tinjunya ke perut Gabriel, dan berhasil membuat Gabriel meringis. Alvin yang masih dalam posisinya, tidak menampakkan perubahan ekspresi saat mendengar penjelasan Gabriel. Hanya senyum yang ia keluarkan. Tapi spontan ia berteriak saat Rio berdiri dan meninju Gabriel.
“RIO, Lo kenapa sih!”
“LO ITU BEGO APA AUTIS SIH? DIA UDAH NUSUK LO DARI BELAKANG ALVIN!”
“Udah lah, gue nggak apa-apa. Lagian dia cocok buat sivia. Sivia pantes dapetin yang lebih baik dari gue, dan Gabriel emang lebih baik dalam segala hal daripada gue.udahlah yo, jangan rusak persahabatan kita Cuma gara-gara hal kayak gini. Gue beneran nggak apa-apa. Dan lo yel, gue minta maaf udah nyakitin Via. Lo emang lebih pantas buat Via daripada gue!”
Alvin berdiri dan membantu Gabriel berdiri, sementara Rio hanya bisa diam. Anak-anak yang tadinya berkumpul melihat pertengkaran Rio dan Gabriel kini kembali ke aktifitas mereka masing-masing. Bell jam pertama sudah berbunyi, tanpa menunggu waktu lama Pak Bobi guru Kimia memasuki kelas. Pelajaran berjalan begitu tenang. Bahkan begitu tenang. Hingga bell tanda pergantian jam ke 3-4 kepala Alvin semakin terasa berdenyut.
“Vin, lo nggak apa-apa? Muka lo semakin pucet tuh!” Alvin hanya menggeleng. “ Lo ke UKS aja deh, lagian jam kosong ini Miss Lina ijin nganterin anak OSIS nyari proposal!” lanjut Rio yang notabene anggota OSIS yang slengekan.
Alvin tidak menanggapi ucapan Rio. Dia berdiri mencoba berjalan tertatih ke luar kelas.
“Mau kemana lo? UKS? Gue temenin deh.” Lanjut Rio, yang hanya mendapat isyarat tanda Rio tidak perlu menemaninya.
Alvin berjalan menuju UKS. Kepalanya berdenyut semakin kuat hingga membuatnya hamper terjatuh di pintu UKS. Saat itu Alvin datang UKS sepi, tidak ada yang menjaga. Alvin membaringkan tubuhnya di bangsal, mencoba memejamkan matanya. Tak butuh waktu lama Alvin sudah terlelap.
~TBC~
Terlambat, Alvin terlambat menghindar. Bola itu mendarat mulus di mukanya. Semua pemain mengerumuni Alvin yang jatuh terduduk, menunduk, tangan sebelah kanannya menutupi wajahnya. Wasit segera meniupkan peluit tanda pertandingan di hentikan sejenak.
“Lo nggak apa-apa? Sorry, gue nggak sengaja!” tanya Cakka panic
Alvin hanya menggeleng. Tangan kanannya yang tadi memegang wajahnya mulai diturunkan. Pandangannya buram, kepalanya serasa berputar. Pening. Digelengkan kepalanya pelan, mengusir denyutan yang kini menyerang kepalanya.
“Bawa ke UKS aja Yo” kata Ify yang sudah berada di samping Rio
Rio dan Cakka membantu Alvin berdiri dan memapahnya ke UKS. Sementara yang lain melanjutkan permainan mereka kembali.
-₪-
“Gue nggak apa-apa!” Alvin berusaha menenangkan teman-temannya.
“tapi lo mimisan gini, Vin! Ke RS aja yuk, takutnya ada luka dalam lagi!” Ify nyerocos
“Lebai banget sih kalian! Gabriel mana?”
“Nyari Via katanya”
“Loh, kok bukan lo yang nyari Via?”
“Nggak tau, Vin! Dia maksa tadi!”
Alvin terdiam. Pikirannya melayang ntah kemana. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir semua pikiran negative yang muncul. Kemudian dia berdiri, beranjak kembali ke kelasnya. Niatnya itu sempat dicegah oleh Rio dan Ify, tapi akhirnya mereka luluh dengan bujuk rayu yang dilontarkan Alvin
-₪-
Di sudut lain, di taman belakang sekolah. Di saat murid-murid yang lain sedang menikmati berbagaimacam huruf dan angka, Sivia duduk menekuk lututnya. Di tempat ini, di bawah pohon ini Alvin selalu menghabiskan istirahat dan jam kosong bersamanya, dan di tempat ini juga Alvin mengkhianatinya dengan terang-terangan mencium Aren. Sivia menangis kala mengingat kejadian itu. Tanpa dia sadari Gabriel yang tadi menyusulnya, kini telah berdiri di belakangnya. Dengan takut-takut Gabriel menyentuh pundak Sivia. Sivia tersentak dan membalikkan badan melihat siapa yang menyentuhnya. ‘Alvin. Pasti Alvin’ batinnya. Tapi bukannya wajah Alvin yang Nampak, melainkan wajah cemas Gabriel. Saat itu juga lengkung indah dari bibirnya yang tadi sempat menghiasi wajah dan membentuk lesung di pipinya memudar. Dengan kecewa Sivia membalikkan badannya lagi membelakangi Gabriel.
“Vi, lo kenapa?”
Tak ada sahutan dari Sivia. Gabriel mengubeh posisinya berhadapan dengan Sivia. Dipegangnya kedua pundak Sivia.
“Vi, lihat mat ague! Mungkin gue memang bukan sahabat yang baik buat lo ataupun Alvin. Tapi gue udah nggak sanggup nahan perasaan ini. Mungkin sekarang bukan waktu yang tepat buat bilang kalau gue GABRIEL HADITYA suka sama lo SIVIA DWIKADARA. Sejak pertama kali gue lihat lo waktu daftar ulang SMA sampek akhirnya kita sekelas sampe sekarang”
Sejenak Gabriel berhenti. Menunggu respon dari Sivia yang tampak sangat shock dan tidak menyangka. Dia tidak habis piker Gabriel yang selama ini nyuekin dia ternyata memendam perasaan terhadapnya. Gabriel yang sangat menjunjung tinggi persahabatan, rela mengorbankan semua hanya demi dirinya. Sivia benar-benar tidak menyangka Gabriel senekat ini.
“Gu..gue..” Sivia salah tingkah. Tidak tahu apa yang harus dia katakana sekarang
“Gue nggak nutuh jawaban lo sekarang. Lo boleh jawab kalo lo memang bener-bener udah mikirin ini. Yang penting sekarang beban gue udah berkurang banyak banget. Gue lega udah ngungkapin semuanya ke elo.”
Sivia masih tertegun. Matanya menatap kosong kearah Gabriel. Gabriel perlahan mengajak Sivia berdiri dan mengajaknya kembali ke kelas.
-₪-
Bel bordering empat kali, tanda waktu pulang tiba. Bel dewa yang selalu dinanti. Tidak tersa parkiran yang seperempat jam lalu riuh dengan anak-anak yang mengambil kendaraan mereka kini mulai sepi. Terlihat seorang pemuda mondar-mandir mencari sesuatu di parkiran sepedah yang kini hanya menyisakan lima buah sepeda. Seorang temannya yang melihatnya dari tempat parker motor menghampirinya.
“Nyari apa lo Vin? Kayak orang bingung gitu?”
“Sepeda gue nggak ada Yo, masak iya ada yang nyuri sepeda gue?”
“Lah, bukannya sepeda lo bocor ya? Emang udah lo benerin? Perasaan tadi pagi lo jalan kaki deh?” Rio sedikit bingung dengan pertanyaan Alvin, dan malah balik bertanya kepadanya.
“Loh, emang iya ya? Hehehe gue lupa!” Alvin menjulurkan lidah. “Thanks Yo udah ngingetin gue! Lo sendiri ngapain jam segini belum pulang?”
“Biasa nunggu cewek gue.”
“Cewek?” Alvin tampak mengerutkan dahinya. “Ify, maksud lo?”
“Iya lah, siapa lagi.” Rio jengkel. “Udah dulu ya Vin, tuh si Ify udaah kelur. Gue duluan, lo pulang ati-ati, jangan sampek nyasar!” canda Rio
Alvin memandang aneh ke arah Rio dan Ify. Ada rasa takut yang menyelimutinya. Tiba-tiba Alvin berlari ke luar sekolah, menuju rumahnya.
-₪-
Sivia duduk di balkon kamarnya sambil memelut Boneka Kucing pemberian Alvin sebagai pengganti anak mereka (re: kucing) Alvia. Pikirannya benar-benar kacau sekarang. Bingung. Sivia tau kalau Gabriel benar-benar tulus mencintainya. Sivia tidak tega menolak, tetapi di sisi lain dia juga tidak mau menjadikan Gabriel sebagai pelampiasan. Jujur Sivia benar-benar tidak mempunyai perasaan lebih pada Gabriel, dia hanya menganggap Gabriel sebagai sahabat, sebagai kakak yang selalu ada untuk menghiburnya saat dia marahan sama Alvin. Tidak mau berpikir lagi. Sivia berdiri, beranjak menuju tempat tidurnya, mencoba memejamkan matanya sejenak, melupakan segala permasalahan yang silih berganti mendatangi hidupnya.
-₪-
BRAK
Alvin menutup pintu kamarnya kemudian mengunciny. Melempar tasnya sembarangan, kemudian membanting badannya ke kasur. Bersembunyi di balik selimutnya tanpa mengganti seragamnya terlebih dahulu. Tidak memperdulikan kakaknya yang dari tadi mengetuk pintu kamarnya dengan khawatir. Tubuhnya bergetar. Ketakutannya benar-benar terjadi. Perlahan tapi pasti dia mulai melupakan hal-hal kecil. Bagaimana jika kelak dia tidak mengingat apapun? Bagaimana jika kelak dia hanya tidak bisa melakukan apapun? Bagaimana jika dia hanya bisa menyusahkan orang-orang yang ada di sekitarnya?
“Vin, buka pintunya dong! Kamu kenapa?” suara kak Tasya yang sedari tadi terus mengetuk pintu kamar Alvin. Kakak mana yang tidak khawatir melihat adiknya yang berlarian masuk ke kamarnya dengan wajah pucat. Tasya terus menggedor pintu kamar Alvin
Klek
Pintu terbuka. Sosok Alvin Nampak di balik pintu. Matanya sembab. Alvin kembali menghampiri ranjangnya. Seakan mendarat isyarat, Tasya mengikuti Alvin dan duduk di samping Alvin. Tangnnya mengelus lembut rambut Alvin. Mencoba menenangkan adiknya yang masih sedikit bergetar.
“Alvin kenapa? Crita dong!”
“A.. akukut kak…” Alvin bercerita
“Alvin kamu lihat kakak.” Tasya menarik tubuh Alvin. “Tidak ada yang merasa terganggu, ataupun merasa terbebani dengan kondisi kamu! Lagi pula kamu harus Optimis, kakak nggak mau kamu pesimis gini! Alvin, adeknya kak Tasya orangnya kuat, selalu berpikir positif!” kata Tasya menyeka air mata yang tersisa di ujung mata Alvin.
“Hehehe, aku cengeng banget deh perasaan, jadi kayak cewek gini!”
“Hahahaha, makanya nggak usah sok-sokan nangis segala! Udah ah, ayo turun. Kamu belum makan kan!”
“Kayaknya sih belum, hehehehe, abis perutku keroncongan sih!”
-₪-
Manusia memang selalu munafik. Apapun bentuknya, bagaimanapun caranya mereka pasti akan berusaha agar bisa segera lepas, keluar dari kesedihan mereka. Dan sepertinya Sivia salah satu diantara mereka. Dia telah memutuskan sebuah pilihan yang mungkin akan mengubah hidupnya, mengubah takdir cintanya. Kini dia telah berada di taman sekolah menanti seseorang yang tadi pagi telah dia sms untuk bertemu di tempat itu. Dia ragu dengan keputusannya ini. Tapi dia terus meyakinkan hatinya kalau ini memang yang terbaik untuk nya, Alvin, maupun Gabriel. Tanpa di sadari, tiba-tiba ada yang menutup mata Sivia dengan tangan.
“Siapa sih, jangan rese ah!”
“Hahahaha, jangan sensi gitu dong.”
Gabriel melepas tangannya yang menutupi mata Sivia. Ya Gabriel. Lelaki yang sedari tadi ditunggu Sivia dengan perasaan galau. Gabriel mendudukkan dirinya di samping Sivia.
“Eh, elo Yel!”
“Ada apa Vi? Lo udah nemu jawabannya buat pertanyaan gue kemaren?” Sivia mengangguk. “Terus?” lanjut Gabriel
“Gue.. gue udah mutusin. Walau gue sempat bimbang sama keputusan gue ini, tapi gue yakin ini yang terbaik buat kita. Buat lo, gue, ataupun Alvin. Jujur gue belum bisa ngelupain Alvin, gue masih sayang sama Alvin. Tapi gue harus move on. Gue nggak boleh terus-terusan berharap. Dan gue tahu keputusan gue ini cukup egois…” Sivia berhenti sejenak mengambil nafas panjang. “Bantu gue lupain Alvin, dan ajari gue buat mencintai elo”
Seakan telah melepas beban yang sangat beraat. Sivia telah mengatakannya. Keputusan yang mungkin akan mengubah takdir cintanya yang selama ini telah di goreskan olehnya. Sedangkan Gabriel saat itu masih tercengang, tidak percaya. Di tidak menyangka bahwa Sivia akan menerimanya. Walau hati kecilnya terluka karena alasan Sivia menerimanya. Tapi entah mengapa rasa bahagia tidak bisa lepas darinya. Senyumnya terus terkembang di bibir kecilnya. Walaupun ada sedikit kekhawatiran di hatinya. Bagaimana sikapnya saat bertemu Alvin nanti. Apakah Alvin akan marah padanya. Semua pikiran tentang Alvin menyelimutinya saat ini. Tapi sudahlah, toh Alvinlah yang menyia-nyiakan Via. Jadi tidak salah kalau kini Sivia mencari pengganti Alvin.
“Terimakasih Vi, lo udah mau nerima gue. Gue pasti akan bantu lo nglupain Alvin!” Ucap Gabriel seraya menarik Sivia ke dalam dekapannya. “Gue nggak akan membiarkan lo nangis lagi. Gue akan berusaha menjadi yang terbaik bagi lo.” Lanjutnya.
Sivia hanya bisa menangis di dalam dekapan Gabriel. Tidak tahu apa yang dia tangisi, yang jelasw saat ini air matanya sudah berdesakan ingin keluar dari pelupuk matanya.
-₪-
Alvin berjalan santai menuju sekolahnya. Ntah mengapa hari ini ia merasa sangat kangen dengan Sivia. Ingin rasanya ia bermanja-manja kembali dengan Sivia. Tapi tiba-tiba dia ingat kalau hubungannya dengan Sivia telah dia akhiri. Saat itu juga rasa sesal mengisi rongga hatinya. Rasa sesal karena dia harus menyakiti Sivia. Dia telah menorehkan luka di hati Sivia. Tidak seharusnya dia memutuskan Sivia dengan cara seperti itu. Harusnya dia menjelaskan kepada Sivia alasan sebenarnya dia memutuskan Sivia. Tapi jika Alvin melakukan itu, ia yakin Sivia tidak akan mau putus dari dia. Pasti Sivia akan tetap keukuh menemani Alvin, menjaga Alvin, dan meminta untuk selalu berada di sampingnya.
Tanpa Alvin sadari, kini dia telah sampai di depan rumah Sivia. Alvin menghentikan kakinya sejenak, menatap ke jendela lantai dua, ya, itu kamar Sivia. Jendelanya sudah terbuka, lampunya sudah tidak menyala, berarti sudah dapat dipastikan kalau Sivia telah berangkat. Alvin hapal betul kebiasaan Sivia yang tidak akan mematikan lampu sebelum dia berangkat sekolah.
“Eh, mas Alvin.” Sebuah suara menyadarkan Alvin. “Mau jemput mbak Via ya? Mbak Via nya baru saja berangkat mas, di jemput cowok cakep, hitam manis gitu!” cerocos mbak Fera, pembantu di rumah Sivia. “Kemana aja mas? Kok jarang main ke sini sih?” lanjutnya
Alvin hanya tersenyum, kemudian berlalu meninggalkan halaman rumah Sivia. Dia tidak menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang di lontarkan mbak Fera tadi. Di sepanjang jalan, perkataan mbak Fera tadi terus terngiang di telinga Alvin ‘di jemput cowok cakep, hitam manis.‘ siapa cowok yang di maksud mbak Fera tadi. Apakah dia pacar baru Sivia. Siapa dia. Apakah Alvin mengenalnya. Semua pertanyaan itu memenuhi pikiran Alvin saat ini.
Alvin telah memasuki halaman sekolah. Kini matanya tertuju ke kerumunan anak-anak di depan Sivia. Ada apa ini. Anak-anak yang tadinya tertawa itu langsung terdiam begitu melihat Alvin datang. Hal itu semakin membuat Alvin bingung. Tapi, sepersekian detik kemudian Alvin mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Semua pertanyaan tentang Sivia, siapa cowok yang menjemput Sivia, Alvin tahu siapa orang itu. Gabriel, cowok yang dimaksud mbak Fera tadi adalah Gabriel, sahabat Alvin. Pertanyaan baru muncul di otak Alvin. Ada hubungan apa Gabriel dan Sivia. Benarkah mereka berpacaran. Alvin dapat menebak dari rona wajah Sivia yang memucat. Ya, mereka berdua memang sudah berpacaran.
Tanpa memperdulikan tatapan anak-anak Alvin berjalan menuju kelasnya yang berada tepat di samping kelas Sivia. Dia berjalan dengan cuek sambil melewati Sivia dan Gabriel.
Alvin meletakkan tasnya sembarangan kemudian duduk dan menelungkupkan kepalanya ke dalam kedua tangannya yang terlipat di atas meja. kepalanya terasa berdenyut sekarang. Terlalu banyek hal yang dia pikirkan hari ini memnuat kepalanya pusing. Rio yang baru datang langsung menghempaskan tubuhnya di samping Alvin. Wajahnya terlihat cemas.
“Vin, lo nggak apa-apa kan?”
“Hem..”
“Gue tau lo pasti sakit hati banget tuh sama Gabriel. Tapi lo jangan nangis gini dong! Malu gue.” Mario mengelus punggung Alvin pelan
Tas Alvin berhasil mendarat mulus di muka Rio.
“Apa-apaan sih, Vin? Ganteng gue bisa hancur nih!” Rio mengelus mukanya yang memerah
“Gue nggak nangis BEGO!” Alvin mengangkat kepalanya
“Vin, lo sakit?
“Hah? Nggaklah.”
“Muka lo pucet banget tuh. Gue anter ke UKS yuk!”
“Apaan sih, gue kan emang putih.”
“Tap…”
Perkataan Rio terputus saat melihat Gabriel berjalan kea rah mereka. Dengan canggung Gabriel menyapa Alvin dan Rio.
“Pa..pagi. mm sorry, Vin. Gue nggak bermaksut ngehianatin lo. Gue nggak bermaksud ngambil kesempatan dalam kesempitan. Tapi hati gue udah nggak sanggup membendung rasa suka gue ke Via. Dari pertama gue ketemu Sivia, gue langsung suka sama dia. Tapi ternyata dia udah jadi milik lo. Gue udah berusaha ngubur perasaan ini, tapi semakin gue berusaha, semakin perasaan itu tumbuh. Dan puncaknya saat gue ngeliat Sivia nangis karena lo. Waktu itu gue bener-bener marah sama lo. Gue mati-matian nahan perasaan gue buat Via demi kalian, tapi lo malah nyia-nyiain Via. Dan otak gue udah nggak bisa berpikir jernih lagi. 2 hari yang lalu gue nembak Via dengan ragu. Dan kemaren dia nerima gue, dia nerima gue karena dia pengen nglupain lo Vin. Gue udah cukup seneng walau Cuma jadi pelampiasan dia aja.”
BUGH
Sebuah tinju melayang ke perut Gabriel. Rio yang dari tadi berusaha diam mendeger penjelasan Gabriel akhirnya tidak kuasa menahan emosinya. Sampai akhirnya melayangkan tinjunya ke perut Gabriel, dan berhasil membuat Gabriel meringis. Alvin yang masih dalam posisinya, tidak menampakkan perubahan ekspresi saat mendengar penjelasan Gabriel. Hanya senyum yang ia keluarkan. Tapi spontan ia berteriak saat Rio berdiri dan meninju Gabriel.
“RIO, Lo kenapa sih!”
“LO ITU BEGO APA AUTIS SIH? DIA UDAH NUSUK LO DARI BELAKANG ALVIN!”
“Udah lah, gue nggak apa-apa. Lagian dia cocok buat sivia. Sivia pantes dapetin yang lebih baik dari gue, dan Gabriel emang lebih baik dalam segala hal daripada gue.udahlah yo, jangan rusak persahabatan kita Cuma gara-gara hal kayak gini. Gue beneran nggak apa-apa. Dan lo yel, gue minta maaf udah nyakitin Via. Lo emang lebih pantas buat Via daripada gue!”
Alvin berdiri dan membantu Gabriel berdiri, sementara Rio hanya bisa diam. Anak-anak yang tadinya berkumpul melihat pertengkaran Rio dan Gabriel kini kembali ke aktifitas mereka masing-masing. Bell jam pertama sudah berbunyi, tanpa menunggu waktu lama Pak Bobi guru Kimia memasuki kelas. Pelajaran berjalan begitu tenang. Bahkan begitu tenang. Hingga bell tanda pergantian jam ke 3-4 kepala Alvin semakin terasa berdenyut.
“Vin, lo nggak apa-apa? Muka lo semakin pucet tuh!” Alvin hanya menggeleng. “ Lo ke UKS aja deh, lagian jam kosong ini Miss Lina ijin nganterin anak OSIS nyari proposal!” lanjut Rio yang notabene anggota OSIS yang slengekan.
Alvin tidak menanggapi ucapan Rio. Dia berdiri mencoba berjalan tertatih ke luar kelas.
“Mau kemana lo? UKS? Gue temenin deh.” Lanjut Rio, yang hanya mendapat isyarat tanda Rio tidak perlu menemaninya.
Alvin berjalan menuju UKS. Kepalanya berdenyut semakin kuat hingga membuatnya hamper terjatuh di pintu UKS. Saat itu Alvin datang UKS sepi, tidak ada yang menjaga. Alvin membaringkan tubuhnya di bangsal, mencoba memejamkan matanya. Tak butuh waktu lama Alvin sudah terlelap.
~TBC~
Selasa, 26 April 2011
-Another End Of Fearless Of Love part 2-
-Another End Of Fearless Of Love part 2-
Sudah beberapa kali gabriel berusaha untuk menelpon Alvin, tapi nihil,
Alvin tak menjawab telponnya
“kemana sih nih anak satu? Bikin orang khawatir!” kata Gabriel kesal
Sementara itu…
drrt drrt drrt
Alvin yang dari tadi mengendarai mobilnya kesel setengah mati
gara-gara dari tadi handphoenya getar terus. Alvin akhirnya mencoba
mengambi handphonenya yang ada di knikkog jeansnya.
“Anjir, jatoh lagi!” rutuk Alvin, than, dia merogoh-rogoh handphonenya
sementara tangannya yang lain memegang setir kemudi, tiba tiba..
TIN TIN TIN….
“AHHH…”
Alvin membanting stir mobilnya lalu menginjak rem dengan keras,
beruntung tepat saat mobil Alvin hampir membentur pohon besar.
“BAWA MOBIL YANG BENER WOI!” rutuk pengendara truk tadi
“hah…hah…hah…RRRGGH hah..” napas Alvin terengah-engah jantungnya
serasa hampir lepas, sakit itu datang kembali, membuatnya meremas dada
kirinya dengan kuat
“Sial, nggak tepat banget sih waktunya!” rutuk Alvin
“hhh..sakit..sakit banget..”
Alvin memegang dadanya sambil terus berusaha menggapai hpnya. Akhirnya
setelah berusaha cukup lama akhirnya HP itu terjangkau olehnya. Dengan
sisa tenaga Alvin mengetikkan nomor seseorang.
Suara kereta api yang menjadi RBT orang yang ditujunya seirama dengan
deru napasnya yang begitu lambat. Setelah nunggu beberapa saat orang
yang dituju mengangkat telpon Alvin
sementara itu…
“Jadi norma itu adalah bla bla bla…”
drrt drrt
Aren membuka handphonenya yang ditaruh di atas meja dan di tutup
dengan LKS sosiologinya
-Alvin(kksb)’s calling-
Aren mengangkat telphon itu dengan sembunyi-sembunyi
“Hallo, kak, kenapa nelpon? Aren msih ada kelas sejam lagi!” kata Aren
“hah..hah..hah..gue..hh di deket hh rumah lo..aaaarrrgh..”
“Hallo! Hallo! Kak! Kak Alvin!” tanpa sadar Aren berteriak
“AREN!”
panggil guru itu marah. Aren menatap guru itu dengan mata berkaca-kaca
“Pak, saya harus pulang sekarang!” kata Aren hampir nangis
“Kamu kenapa Aren? Apa nggak enak badan?”
“Sa..saya harus pulang!” Air mata Aren mulai menetes.
Setelah membereskan bukunya Aren segera beranjak dari kursinya. Tanpa
berpamitan lagi Aren langsung meninggalkan kelas. Berlari menuju depan
sekolah, tanpa menunggu angkot dia berlari menuju rumahnya.
TIN TIN
“aww” rintih aren, karna ia tiba tiba jatuh lantaran ada mobil menyerempetnya
“Ren lo nggak papa? Maaf deh!” kata orang yang hampir menabrak Aren
“kak..kak Cakka.. Kak Alvin, kak Alvin” kata Aren
“Lo nggak papa kan? Alvin kenapa Ren?’ Tanya Cakka panik
“kakak kenapa keluar? Gue nggak papa kak! Gue juga belom tau kak Al
kenapaa, tapi gue takut banget” keta Aren sambil menangis
“Gue abis nganterin Agni pulang, itu bocor” kata Cakka nyengir. “Ya
udah, gue anteriin lo deh. Lu tau Al dimana?” Aren mengangguk pelan
disela tangisnya
“Cepet naik, Ren!” kata Cakka membukakan pintu mobilnya. “Al dimana
Ren?” lanjutnya
“ tadi dia bilang di telpon, dia lagi di dekat rumah gue,kak! Gue
takut kak Alvin kenapa-napa!” air mata Aren terus keluar
****
Alvin mengerjapkan matanya berusaha agar bisa dalam keadaan sadar,
perlahan ia mulai bisa mengatur nappasnya, tapi rasa sakit didadanya
tetap saja menyerang
“Al, buka!” Dengan susah payah Alvin membuka pintu mobilnya
“Kak Alvin, lo nggak papa kan? Kak Cakka, bantuin ngangkat kak Alvin dong!”
“Iya-iya, Ren ini baru mau gue kerjain!”
“Cak, tolong jangan bawa gue ke RS lagi” Kata Alvin pelan
“Tapi Vin…”
“Please Cak, gue Cuma butuh istirahat, itu doang”
“Oke fine, gue ngikut aja!” Cakka memutar stir mobil Alvin,
sekali lagi dari spion mobil yang sama dia bisa melihat sahabat yang
selalu terlihat kuat dimatanya kini menjadi lemah, dia memang tidak
pernah menaruh curiga, Alvin memang selalu mampu menyimpan masalahnya
dengan baik
“Kak Cakka, bawa ke rumah Aren aja kak! Deket kok!”
“Gimana Vin?”
“Terserah, yang penting bukan RS!” Akhirnya Al dibawa ke rumah Aren
“Ya ampun, nak Alvin kenapa?” Tanya mama Aren begitu Aren dan Cakka
masuk ke rumah membopong Alvin
“Kak Al sakit ma, aku bawa ke kamar dulu ya!” kata Aren. Mamanya
mengangguk lalu mengikuti ke kamar
“Baringin di kamar aja, kak!” setelah nidurin Al di kamar Aren, Cakka
balik buat ngambil mobilnya yang dia tinggal di tempat tadi
****
“Kakak sebenarnya sakit apa sih?” Tanya Aren lalu mengompres kepala
Alvin yang perbannya sudah di buka terlebih dahulu
“Lo udah tahu kan? Ngapain nanya?” kata Alvin, tangannya bergerak
menuju sumber sakitnya yang tampaknya akan tetap menyakiti tanpa ampun
“Masih sakit kak? Ke RS aja ya! Firasatku kakak nyembunyiin sesuatu dari kita!”
“Pokoknya gue nggak mau ke tempat laknat itu! Nyembunyiin apa coba?
Ada-ada aja lo!”
“Kakak jujur aja sama Aren” kata Aren tulus
“Jujur apa sih? HP gue mana?” Tanya Al, Aren mengambel hape Alvin yang
di taruh Cakka di meja. Dengan cepat Alvin mengetikkan sms
“Kka, ambilin obat gue di kamar rawat Iel ya”
Beberapa menit kemudian ada balesan
“obat apaan? Oke deh! Lo nggak papakan?”
“udah, lo Tanya Iel aja, not too bad lah! Lu cepetan ya!” balas Al
“siap bos”. Abis itu Alvin kembali memberikan hpnya ke Aren
“Makasih ya, Ren!”
“Oke kak, urwel! Lo istirahat aja dulu!” kata Aren sambil membetulkan selimut Al
“Lo mau kemana?” Tanya Alvin
“Dapur, sekalian ganti baju masa iya ganti baju disini! Udah kakak
istirahat aja!” kata Aren lalu keluar
“Ren, cepet balik kesini ya! Alvin meraih tangan Aren dengan muka memohon
“Oke, kak Alvin jadi manja deh!” Aren tersenyum manis
“Gue takut kehilangan lo!” ada semburat merah di pipi Aren
“Kayaknya panas kakak makin tinggi deh! Ngomongnya ngaco mulu!”
Kemudian tanpa basa-basi lagi Aren segera pergi.
Aren makin bingung dengan Alvin yang kadang baik, kadang ramah, kadang
cuek, kadang nggak bersahabat, dan kadang manja. Aren sampe
senyum-senyum sendiri mikirinnya.
Sepeninggal Aren Alvin kembali membiarkan rasa sakitnya menjalar
memenuhi tubuhnya, karena ia sudah tidak sanggup menahan sakit yang
teramat sangat itu. Alvin terus menekan dada kirinya hingga ia merasa
begitu panad, padahal AC di kamar Aren sudah 16°C.
“Arrgh..sial, sakit banget! Hh..aduh, A..Aren..ren, lo di mana? Sakit
banget Ren!” entah mengapa saat ini Alvin ingin Aren selalu
menemaninya. “Arrgh..Aren..” sakit itu semakin gencar menyerang
Cklek
“Kenapa kak? Kakak kenapa?” Tanya Aren yang langsung menghampiri Alvin
yang meringkuk di atas kasurnya.
Peluh bercucuran dari kepala Alvin membuat Aren jadi panik. Alvin
tidak memberikan respon apapun, ia hanya mengerang dan menggenggam
tangan Aren dengan kuat. Aren makin merasa aneh, Alvin terlihat begitu
kesakitan, terasa dari pegangan Alvin yang semakin kuat menggenggam
tangannya. Aren jadi bingung harus bagaimana, genggaman Alvin terasa
panas, dan begitu Aren menyentuh kening Alvin, juga terasa panas,
padahal kamarnya ber AC.
“Ya Tuhan, kakak demam! Aren ganti kompresnya dulu ya!” Aren berusaha
melepas genggaman tangan Al, tapi Al malah menggenggam tangannya makin
kuat
“Ja..jangan pergi, Ren! Temenin gue! Dingin banget!” Alvin menarik tangan Aren,
mengisyaratkan pada Aren agar memeluknya. Aren akhirnya menundukkan
kepalanya dan menyandarkan ke dada Alvin, tangannya yang tidak
digenggam Alvin memeluk sisi tubuh Alvin yang lain, ia kini merasakan
betapa panasnya tubuh Alvin, dan betapa lemahnya denyut jantung Alvin.
Tangan Alvin masih menggenggam erat tangan Aren, membuat Aren tambah
miris. Aren memeluk Alvin dengan erat, berharap sakit yang diderita
Alvin berkurang.
“hh makasih Ren!”
Cklekk
tiba-tiba pintu kamar Aren terbuka membuat Aren sedikit bangkit
“Ini, Al, o…”
Cakka tertegun melihat Aren dan Alvin.
Wajah Aren memerah melihat kedatangan Cakka, sementara Alvin hanya
diam lantaran rasa sakit itu telah mampu membungkamnya.
“Maaf ganggu, g..gue Cuma mau kasih obat, g..gue keluar ya!”
“Eh..oh, ma..makasih kak!”
“gu..gue langsung balik ya! Sekali lagi maaf ganggu kalian! GWS ya, Vin!”
Setelah kepergian Cakka Aren mengambil obat yang ditinggal Cakka di
atas meja Aren. ‘obat apaan ya? Ah, sabodo!’ kemudian Aren beranjak
mengambil air yang sudah di bawanya tadi.
“Kak, minum dulu obatnya!” Aren menjejalkan pil yang sangat kecil itu
ke mulut Alvin, lalu dia juga mencoba meminumkan air mineral ke Alvin.
Agak susah, karena Alvin hanya membuka mulutnya sedikit.
Setelah menegak obat tadi Alvin merasa kalau kepalanya hampir pecah,
itu membuatnya jadi tambah gelisah dan malah menjambaki rambutnya.
Aren jadi tambah panik dan khawatir, ia mencoba memegang tangan Alvin
dengan kuat. Sesaat kemudian rasa sakit itu perlahan menghilang. Aren
perlahan melepaskan genggaman tangannya saat merasa Alvin sudah mulai
tenang. Kemudian tangannya beralih mengelus kepala Alvin. Dia
mengambil beberapa tissue buat nyeka keringat Alvin.
“Kakak udah nggak papakan? Aren takut banget kak! Kakak kenapa sih?
Tiba-tiba kayak gini? Prasaan nggak pernah sampai kayak gini!” Aren
terus ngoceh, nggak ngebiarin Al ngejawab.
“Stop! Aren oke, gue jawab, gue nggak kenapa-kenapa, oke fine!”
“Nggak papa gimana, ngomong aja susah bilang nggak papa! Ayo kak,
kasih tau Aren!”
“Lebih baik lo nggak tau, Ren!”
“Plese kak, please, kakak justru tambah bikin Aren penasaran!”
“Kalau gue bilang, tadi gue sakau dan obat itu narkoba gimana?” Aren terbengong
“Hah? Aren nggak percaya! Lagian sakau mah nggak kayak gitu!”
“Sok tau lo, emang udah pernah?”
“Aren kan pernah baca di buku kak!
“Tapi kan belum pernah lihat langsung!”
“Udah ah, kak! Jujur dong, serius nih!”
“Gue sakau, puas?” Tanya Alvin kesal
“Kakak bohong, Aren tau kakak nggak mungkin sakau!”
“Lo nggak percaya banget sih? Kalau nggak ada obat itu gue udah mati
sekarang, kalau nggak minum obat itu gue sakit, itu sakau kan
namanya?” kata Alvin kesal
“Kak Alvin, jangan ngomong mati seenaknya aja dong! kakak nggak
mikirin perasaan Aren? Kakak sadar nggak sih kalau Aren sayang banget
sama Kakak? Aren nggak mau kehilangan Kakak! Aren takut banget tadi!”
Aren melampiaskan seluruh kekesalannya
****
Tok tok tok
“Masuk!”
“Hei Iel, gimana keadaan kamu?” Tanya Sivia lalu duduk di sebelah
ranjang Gabriel
“udah lumayan baikan, hehehe kamu gimana?” Tanya Gabriel balik
“Always fine beside you” kata Sivia dan tersenyum, mereka bertatapan,
perlahan wajah mereka mendekat…dan..
“ekhem, ekhem, dunia ini bukan Cuma milik lo bedua neng, mas!” ledek Rikko
“Adegan berikut untuk 17 tahun ke atas” kata Rio lalu ngakak parah
“hei hei gada kiss!!umur baru lima belas tahun juga! Enggak enggak
enggak!” kata Obiet sambil mengacungkan jari telunjuknya
“Apa sih? Kita sama sekali enggak berpikiran buat ngelakuin itu, yakan
Vi?” Tanya Iel. Sivia mengangguk malu
“Halah, ngeles”
“Mana Cakka Agni?” Tanya Iel mengalihkan pembicaraan
“Cakka tadi nganterin agni balik, rok putihnya merah hahahaha” Rikko
yang dari tadi ngejekin Agni sekarang malah ngomong gitu, dilirik
sinis deh sama Shilla
“Oh gitu ya, tadi dia ke sini sih sebentar, ngambil obat Alvin!” kata Iel lesu
“Al? kenapa lagi tuh anak?” Tanya Rikko
“Nggak, nggak ada apa-apa!” jawab iel menutupi
****
Alvin terdiam, terpaku kaget bercampur senang mendengar pengakuan Aren
“Maaf kak, Aren nggak ber…” sebelum Aren menyelesaikan kalimatnya
Alvin sudah terlebih dahulu menarik Aren ke dalam pelukannya, ya
hatinya senang. Ternyata perasaan Aren sama seperti dirinya.
“lo yakin mau sama gue yang kayak gini? Gue nggak seperti yang lo
bayangin lo!” kata Alvin terus memeluk Aren. Kali ini gentian Aren
yang diam
“If you are really think that I’m is your dear, I just want spending
my last time with you!” kata Alvin lagi
“Kakak ngomong apa sih? Kakak masih bisa sembuh kan!” kata Aren
setengah berbisik di telinga Alvin
“Just a miracle my girl, kalau rumah sakit aja udah angkat tangan apa
lagi yang mesti aku pertahanin? Aku jenuh minum sesuatu yang Cuma
memperpanjang penderitaanku” jawab alvin pelan. Aren melepas
pelukannya
“Tapi kak..”
“Kanker darah Ren, aku beda dengan Iel yang masih bisa kemoterapi”
desah Alvin pean, mendengar itu perlahan air mata menetes dari mata
Aren
“Apa!? Kenapa kakak bilang kakak kena elje? Kenapa kakak nggak kasih
tau kita yang sebenarnya?” Tanya Aren disela tangisnya
“sst, gue emang punya elje dari kecil. Please jangan nagisin gue,
jangan bikin gue nyesel kasih tau ini ke elo. Cukup Gabriel aja yang
ketahuan, jangan gue juga. Kasihan mereka Ren, gue nggak mau lihat
mereka down” kata Alvin lalu menghapus air mata di ujung mata Aren
“Aren akan slalu jagain kakak! Aren nggak akan biarin kakak
kenapa-napa! Tapi kakak harus janji!”
“Janji apa sayang?” Alvin tersenyum manis sambil menyeka sisa-sisa air mata Aren
“Kakak harus berjanji akan bertahan demi Aren, demi kakak, dan demi
semuanya! Kakak juga harus lebih terbuka sama Aren!” Alvin hanya
tersenyum dan kembali menarik Aren ke dalam pelukannya
‘Maaf, aku nggak bisa Ren” Batin Alvin. Aren melepaskan pelukannya
“Kakak makan ya? Aren buatin bubur!” Alvin tersenyum lalu mengangguk.
Sementara itu Agni dan Cakka sedang menuju ke rumah sakit
“Kka, lu kenapa? Kok diem dari tadi?”
Cakka nggak ngerespon
“Kka, Cakka!”
“Ah enggak, udah, turun yuk” ajak Cakka. Mereka berdua lalu berjalan
beriringan ke kamar Iel
****
“Yel, kemaren lo nggak ngrasa ada yang aneh dari Al?” Tanya Rio, Iel
bingung mau jawab apa, beruntung sekali dia, pertanyaan itu dialihkan
oleh seseorang yang mengetuk pintu kamar rawatnya
Tok tok tok
cakka masuk bersama Agni
“Eh, elo Kka!” Iel mengalihkan pembicaraan
“Eh, Agni juga ada! Benderanya sudah bersih neng?” Canda Rikko yang
langsung diacungi bogeman oleh Agni
“Peace..” Rikko meringis
“Al mana? Kok nggak bareng?” Tanya Via
“Al masih berduaan sama Aren!” Cakka cekikian
“Maksud lo?” Iel bingung
“Iya, berduaan di kamar, pelukan gitu!”
“Lo semakin ngaco Cak! Ag, lo apain cowok lo?”
“Apa? Apa lo bilang? Mereka pelukan di kamar Aren? Sialan! Nyari
masalah tu anak!” Rio geram
“Wow, sabar yo! Gue nggak yakin Alvin begitu” kata Obiet diiringi anggukan Oik
“Kolau Cakka yang begitu, gue baru percaya!” celetuk Rikko
“Terserah!” Rio langsung mengambil kunci mobil lalu keluar, Ify
langsung mengikutinya
****
“Yo, tahan emosi kamu! Alvin nggak mungkin gitu, gue tau dia Yo!” kata
Ify mencoba menenangkan Rio yang masuk ke rumahnya dengan kasar.
Selama di mobil mereka hanya diam karena Ify ketakutan
“Bullshit!”
Rio menaiki tangga dan langsung menuju ke kamar adik tirinya itu,
BRAK
Rio langsung kaget mendapati adiknya yang tertidur dengan kepala yang
bersandar di dada Alvin. Sedangkan Alvin juga tidur. Langsung saja
dengan bringas Rio bersiap menonjok Alvin
“Yo, sabar yo!” Ify menenangkan Rio
“Kak Rio, jangan! Teriak aren begitu terbangun dari tidurnya dan
mendapati kakaknya hendak memukun Alvin. Alvin terbangun mendengar
teriakan Aren. Baru saja ia membenarkan posisinya tiba-tiba
BUGGH
“Aaarrrrrgh..”
Alvin mengerang ketika serangan Rio memukul telak tepat di jantungnya.
Alvin terduduk, tanpa sadar ia telah memuntahkan begitu banyak darah.
Aren berteriak, dengan cepat dia merengkuh Alvin yang mulai hilang
kesadarannya.
Sementara Rio hanya bisa tertegun. Dia tidak menyangka kalau akhirnya
akan seperti ini. Dia tidak bermaksud melakukan sampai sejauh ini
“Kak, kak! Kak Alvin bangun kak! Kak, jangan tinggalin Aren!” Aren
menangis dalam rengkuhannya ia dapat mendengar sayup-sayup detak
jantung Alvin yang berdetak begitu pelan
“Kita bawa Alvin ke RS aja ya Ren!” bujuk Ify. Aren tidak menjawab,
dia hanya mengangguk sambil terus menangis.
“Yo, jangan diam aja! Cepet bantuin angkat Al ke mobil!” teriak Ify
membangunkan Rio dari lamunannya.
Kemudian Rio menaikkan Alvin ke punggungnya dan bergegas membawa Alvin
ke mobilnya. Aren terus menangis dalam pelukan Ify. Kemudian Rio
bergegas melajukan mobilnya ke RS. Aren memeluk Alvin erat di
sepanjang perjalanan
“Kak, bangun kak, berhenti bikin Aren takut” bisik Aren disela
tangisnya “kakak janji sama Aren kakak akan bertahan, kenapa kakak
malah begini?”
“Maaf, Ren!” ucap Alvin begitu pelan membuat hanya Aren yang
mendengarnya. Namun akibat perbuatan itu mulutnya kembali memutahkan
darah, namun kali ini hanya sedikit
“Maaf” ucap Alvin lagi
“Kakak jangan ngomong lagi kak!” pinta Aren
“Di..ngin banget Ren, dadaku sa..kit!”
“kak Alvinn tahan ya, bentar lagi sampai! Kak Rio cepetan kak!” kata
Aren memeluk Alvin semakin kuat, berharap dapat memberi sedikit
kehangatan buat Alvin. Rio menambah speed mobilnya.
“Ren, aku mau tidur” kata Alvin pelan
“kakak, tetaplah sadar kak” pinta Aren takut
“Ma……af”
“Kak! Kak! Bangun kak!”
“Ren, tenang dulu! Al Cuma pingsan kok!” Kata Ify yang notabene
anggota PMR sambil memeriksa nadi Alvin. Aren hanya memeluk Alvin
sampai RS. Rio hanya terdiam di sepanjang perjalanan, dia sangat
merasa bersalah.
****
Cakka dan Agni memutuskan keluar dari obrolan ribet Obiet feat Iel,
mereka tiba-tiba menemukan Rio yang tengah membungkuk dan
memohon-mohon kepada aren yang hanya duduk diam dengan tatapan kosong
“Ada apa Fy?” Tanya Agni
“Jangan di sini!” kata Ify mengajak Cagni ke pojokan lalu
mencceritakan semuanya. Cakka geram, memang tidak bisa dipungkiri awal
dari masalah ini adalah dirinya.
“Cakka, jangan lakukan kesalahan yang Rio lakukan!” pinta Agni
“Maafin Rio, cak! Dia Cuma terlaluu sayang sma Aren, dan dia tidak
pernah bermaksud buat ngelakuin itu” kata Ify
“Oke, gue maafin. Lagipula salah gue juga pake ngomong kayak tadi!”
“Trus Alvin gimana Fy? Aren kayaknya marah banget?” Tanya Agni
“Aren shock banget, tadi gue aja sampek takut! Alvin muntah darah,
banyak banget lagi!”
“muntah darah lo bilang? Gue nggak salah denger?” Tanya Cakka
“Siapa yang muntah darah?” Tanya Obiet yang muncul di sebelah Cakka,
di belakangnya ada Rikko, Shilla dan Oik
“Via mana?” Tanya Agni
“Masih sama Iel, tadi siapa yang muntah darah?” Tanya Rikko
“i-itu..”
“keluarga Alvin?” Tanya seorang dokter yang keluar dari UGD. Aren
segera berdiri dan menghampiri dokter
“Kak Al gimana dok? Dia baik-baik saja kan?” Rio berdiri disamping
Aren berusaha menenangkan Aren, tapi ditepis oleh Aren. Sementara
lainnya masih bingung berrtanya-tanya
‘Alvin?’
Belum sempet dokter itu berkata , seopang pria dan dua orang wanita
datang menghampiri mereka, wanita itu adalah mama Aren dan oma alvin ,
dia langsung merengkuh pundak anaknya
“Bagaimana anak saya dok?” Tanya lelaki tadi
“Ah Pak Nikko, sebaiknya kita bicara di kantor saya!” Pak Nikko
menatap wajah teman-teman Alvin yang menunjukkan tamping bingung
“Sebaiknya mereka juga tahu” kata Pak Nikko
“Baiklah, anak anda mengalami pendarahan di dalam tubuhnya maka dari
itu terjadi muntah darah dan mimisan, selebihnya dia baik-baik saja!
Namun tampaknya kankernya sudah menjalar ke organ tubuh yang lain, dan
soal jantungnya, kerjanya semakin melemah!”
“Kanker?” Tanya Obiet kaget.
Pak Nikko terdiam
“Hah.. Al memang sudah mengidap leukemia sejak tiga tahun yang lalu”
“Tapi om, Al bilang dia Cuma lemah jantung” kata Rikko tidak terima
“Jantungnya memang sudah lemah sejak lahir, dan leukemia itu memang
benar juga” jawab pak Nikko lesu,
semua diam.
“Dia sengaja tidak pernah member tahu kalian, saya pun baru
mengetahuinya saat dia drop satu tahun yang lalu, saat dia dan teamnya
memenangkan kejuaraan foodsal dan olimpiade” jelas pak Nikko melihat
wajah bingung dari teman-teman Alvin.
Aren hanya menunduk
“Ren, jangan bilang lo juga tahu!” Cakka geram
“Gu..gue baru tahu tadi waktu kak Al nyritain semuanya ke gue! Maaf
kak!” Aren menangis lagi.
Rio yang tak tega melihat adiknya, kemudian memeluknya. Aren pasrah,
dia benar-benar butuh tempat untuk mencurahkan air matanya. Semua yang
ada di situ menunduk mengingat semua yang telah mereka lalui bersama
Alvin. Alvin adalah sosok anak yang berarti di mata mereka. Alvin
memang anak yang cuek, tapi di balik itu semua Alvin selalu ngertiin
mereka lebih baik dari siapapun.
“Apa kita harus kasih tau Iel sama Via Kka?” Tanya Agni disela tangisnya
“….”
“Gue rasa jangan kasih tahu mereka dulu, terutama Iel yang masih dalam
masa penyembuhan! Takutnya ntar Iel malah down, Via juga!” kata Obiet
bijak
“Apa yang nggak boleh gue sama Via tahu?” Tanya seseorang yang muncul
dengan kursi rodanya
“Iel? Via?”
“Ada apa sih? Kenapa kalian nangis? Ada apa?” Tanya Iel
“Itu, anu..” semuanya mendadak gagap
“Tadi gue nonjok Al sampek sekarat” kata Rio akhirnya
“Hah? Lo bego Yo, Al sakit bego! Mikir dong!”
“Lo tau itu Yel?” Tanya Rikko
“KENAPA LO NGGAK CERITA?” teriak Rikko hampir mengeluarkan emosinya
“Gue juga tahunya bukan dari dia! Gue tahu dari obat yang dia pake dan
itu sama kayak obat gue!” Kata Iel ikutan teriak
“Udah-udah, nggak usah teriak-teriak ini tuh rumah sakit” kata Obie
mencoba menetralisir suasana
“Ini salah gue, gue bego, nggak bisa ngontrol emosi gue!” kata Rio
yang sudah jatuh terduduk
“Gue yang salah, gue yang salah paham gara-gara gue asal ngomong lo
jadi kayak gitu!” kata Cakka ikut merasa bersalah
Sekarang bukan waktunya nentuin siapa yang bersalah!” Aren mulai buka suara
“Benar kata Aren, lebih baik kita semua berdoa buat Alvin” kata Via
menahan tangis
<SKIP>
“Vi, lo boleh nangis kok!” kata Iel yang kini sedang duduk-duduk di
pinggir bednya dengan Sivia disampingnya
“Nggak yel, gue nggak boleh nangis!” ‘karna gue tahu lo pasti akan
tambah sedih’ batin Via
“Lo nggak usah mikirin gue Vi! Gue nggak papa kok, gue nggak akan sedih!”
****
“Rikko merengkuh pundak Shilla , dan Shilla pun menyandarkan pundaknya
di bahu Rikko
“Gue banyak slah sama koko” Kata Shilla lirih. Rikko diam bersiap
mendengarkan kekasihnya. Tak dapat dipungkiri Alvin memang sosok yang
sangat dekt sengan Shilla
“Waktu gue masih jadi manager futsal, gue pernah nyuruh dia latihan
gara-gara pelatih marahin gue karna gue nggak becus ngatur jadwal
padahal gue tahu dia lagi demam waktu itu, tapi dia tetp mau nurutin
permintaan gue samapai akhirnya dia hampir pingsan gara-gara nggak
fokus dan kepalanya kebentur bola”
“Gue juga banyak salah sama dia, gue pernah nemenin dia main bola dan
waktu itu dia juga lagi sakit, dan gue malah marah sama dia.”
“Dulu dia selalu bantu gue ngajarin anak basket cewek bareng Cakka,
padahal dia udah capek ngajarin anak futsal” kenang Agni
“Al juga slalu ngajak gue sparing kalau gue lagi stress, padahal
jelas-jelas dia udah capek banget! Ah sial, kenapa harus dia sih!”
Cakka mendecak,
kemudian sunyi hanya terdengar isakan Aren yang masih dalam pelukan Rio.
Sementara Ify menenangkan Oma.
Obiet mungkin yang terlihat paling normal tapi siapa sangka hatinya
sangat terpuruk dengan keadaan ini.
“Gue inget waktu dia nemenin gue debat soal pelajaran bio bab kemaren,
dia sempet keceplosan bilang kalau dia punya pennyakit itu, karna itu
dia tahu jawabannya, begonya gue Cuma nganggep itu main-main. Oik
mempererat genggaman tangannya dengan tangan Obiet
“Kalian pasti nggak akan pernah nyangka kalau dulu sebelum gue jadian
sama Obiet tiap malem gue nelponin dia ngajakin ketemu!” Obiet dan
yang lain membelalakkanmatanya
“Gue curhat tentang lo, Biet, lo yang kayaknya nggak care sama gue!
kadang malah sampek pagi, dan dia nggak keberatan sama sekali
ngedengerinnya, gue biasa nangis di depannya! Rasanya tenang banget
kalau udah crita sama dia!” Oik menitikkan air matanya lagi. ”Meski
dia hanya respon sesimpel mungkin tapi tetep aja dia bisa bikin gue
tengang” lanjut Oik
“Meski gue baru kenal sama dia, tapi gue ngerasa dia emang baik
banget, adil bijak, meski dia cuek, dia tetep temen gue yang
pertama..dan gue malah nyelakain dia” kata Rio lalu memukuli kepalanya
sendiri
“Rio udah, jangan nyalahin diri lo terus!” kata Ify yang kini telah
menggantikan posisi Aren yang duduk di dekat Rio
“Tapi Fy…” ucap Rio terhenti saat jari Ify menyentuh bibirnya
“Hush.. udah, jangan diterusin lagi! Gue inget dulu waktu kamu tanding
sama Alvin buat ngerebutin Aren, abis itu gue lihat dia tiduran di
UKS. Waktu gue temuin dia bilang sama gue kalau dia berterimakasih
sama lo yang udah nantangin dia. Karena dengan adanya tantangan dari
lo dia tambah yakin dengan tekatnya buat melindungi Aren!”
“waktu itu gue kira Al pacaran sama Aren, gue nggak rela, gue takut
kehilangan Aren!”
“Dan lo mengulang kesalahan itu Yo, lo udah tahu kan! Al itu selalu
pengen ngebuat Aren bahagia, merasa terlindungi jadi nggak mungkinkan
dia mau nyelakain Aren” kata Ify
“Gue khilaf Fy” kata Rio lalu tertunduk
“udahlah, kita ambil sisi plus nya Yo, seenggaknya kita jadi tau kan
kalau Al sakit keras, coba kita tahunya waktu Al udah nggak ada, itu
bakal lebih nyakitin” kata Ify. Rio tersenyum pada Ify
“Makasih fy, tapi kalau Alvin pergi gue nggak akan maafin diri gue sendiri”
tiba-tiba ada seorang suster yang berteriak dari depan ruang ICU
tempat Alvin dirawat
“Dokter, pasien bernama Alvin menghilang dok!” Semua yang mendengar tersentak
“ Hah? Kak Alvin..” Desah Aren pelan, air matanya mulai berontak lagi.
Sementara dokter langsung memeriksa ke dalam, tapi nihil, tak ada Al
disana.
“Dasar Al, maunya dia apa sih!” Cakka terus ngedumel.
“Kita cari dulu dia!” Kata Obiet berusaha menenangkan yang lain dan
dirinya. Semuanya berpencar, termasuk Iel dan Via yang memaksa ikut
mencari.
“Keadaan Alvin itu masih lemah dia tidak mungkin jauh dari rumah sakit
ini.” Jelas dokternya.
“Lo kemana sih Al?” Gerutu Cakka. “Nggak bisa apa satu hari aja diem
nggag bikin masalah, nggak buat orang khawatir!” lanjutnya.
Jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi, semua mulai pasrah karena Alvin
belum ditemukan sampai beberapa dokter dan suster tiba-tiba datang dan
mendorong sebuah ranjang masuk ke ICU. Sesaat kemudian suster-suster
itu keluar dengan mendorong sebuah ranjang. Riko berdiri lalu mencegat
dokter yang hendak keluar dari ICU.
“apa yang terjadi dok?” Tanya Iel yang ikut mendekat.
“kami menemukan dia di belakang kamar jenazah dengan banyak luka lebam
di tubuhnya”. Kata dokter tersebut, seseorang di antara mereka
tersenyum dengan licik dan menggumam pada seseorang di sebelahnya.
“Sukses” orang di sebelahnya ikut tersenyum dan menyeka air mata bohongnya.
“Apa!” kata Rikobiet tidak terima.
“siapa yang melakukan itu dok? Siapa? Tanya Iel makin tidak sabar.
“kami tidak tahu siapa yang melakukannya yang pasti dia tadi dengan
takut menyebut nama… Rio” Rio mendelik. Semua mata memandangnya dengan
pandangan menuduh.
“Ha? Apa? Bukan gue! Gue gak tau apa – apa!” Rio membela diri.
“SHIT LO! MAU LO APA HAH?” kata Cakka emosi.
“Sumpah Kka, gue nggak ngapa-ngapain” kata rio takut, ia menatap Ify
meminta bantuan, namun Ify malah menggeleng.
“Gue gak nyangka lo picik Yo! Saiko! Gila!”
‘PLAK’ Aren menampar pipi Rio.
“Gue benci lo, kak! Gue nggak akan pernah maafin lo!” Kata Aren
kemudian berlari meninggalkan yang lainnya. Agni berlari menyusulnya.
Rio terpaku sambil memegangi pipinya. Dia tidak tahu kenapa tak
seorang pun mempercayai dia. Semua menuduhnya tanpa bukti.
“Gue beneran gak ngapa-ngapain Al, gue gak sekeji itu.” Katanya lirih
sambil menahan emosinya.
“Tapi Al sendiri yang bilang Yo! Sialan banget sih lo!” Kata Cakka,
lalu mengambil ancang-ancang buat menonjok Rio.
“Jangan Kka” pinta Via.
“Alvin gak bakalan suka kalau dia tau ini.” Lanjutnya.
“Tapi Vi…”
Gabriel memutar roda kursinya.
“Gak ada gunanya lo mukulan dia, itu gak bakalan buat Alvin cepet
sadar” Kata Gabriel lalu ngeloyor pergi.
“Yel, mau kemana?” Tanya Via mengikuti Iel.
“Mau balik ke kamar!”
“Gue temenin ya”
“Lo nungguin Al aja!”
“Udah banyak yang nungguin Al, gue nemenin lo aja!”
“Ya udah, terserah lo!” kemudian Via mendorong kursi roda Iel ke kamarnya.
****
“Lo kenapa Yel?” Tanya Via.
Gabriel menyandarkan kepalanya di bahu Via.
“Gue takut Vi, gue takut kehilangan Alvin, dia udah kayak saudara
kandung bagi gue, gue beneran nggak mau kehilangan dia” kata Gabriel.
Via merasa bahunya mulai basah oleh air mata.
“Yel, inget janji lo Yel!” Kata Via.
“Maaf!” Iel menyeka air matanya.
“Lebih baik lo istirahat Yel! Lo harus percaya kalau Al kuat, Al pasti
bisa bertahan”. Via meyakinkan Iel. Iel memejamkan matanya, meyakinkan
dirinya bahwa Alvin baik – baik saja.
****
Sinar matahari mencercah dunia memaksa mata – mata yang mengantuk itu
untuk terbuka, membuat terlihatnya gurat sembab dimata mereka, ingin
rasanya mereka menjadi Iel yang masih dalam perawatan jadi mereka
tidak perlu sekolah dan mereka tetap bisa disana dan menanti kesadaran
Alvin. Seharian Obiet, Oik, Cakka, Agni, Rikko, Shilla dan Via benar –
benar menjauhi Rio, membuat Rio jadi mencak-mencak sendiri.
“Kondisi al memburuk, Vi” Kata Iel ditelepon.
“Jadi gimana Yel?”
“Dokter masih berusaha nyelametin dia, kondisinya makin gak stabil,
dia kritis” Via mematung, dia tak tahu apa yang harus dia katakana.
“Vi, Via…lo masih disitu kan?” teriak Gabriel di seberang telpon.
Cakka yang melihat ekspresi aneh Via langsung mengambil Hp Via.
“Hallo, Yel! Ada kabar apa?”
“Cakka? Al kritis, keadaannya memburuk”.
“hahahapa? Jangan bercanda Yel, ini buka April Mop” kata Cakka terkekeh.
“Gue serius bego!”
“Gue bolos kesana, awas lo bohong”
“Cak, Al kenapa?” Tanya Rio.
“emang lo masih peduli sama Al?”
“Gimana lagi sih ngejelasin biar kalian percaya kalau bukan gue yang
mukulin Al waktu itu”.
“Oh iya mungkin emang bukan lo! Bisa aja kan suruhan lo yang
ngelakuinnya?” kata Cakka manas.
“Gue nggak setega itu Cak! Oke, emang waktu itu gue mukul Al sampek
dia muntah darah, tapi itu Cuma karena salah paham, gue nggak mungkin
nyakitin sahabat gue sendiri!”
“Ah, shit lo!” teriak Rikko.
BUGGH
Akhirnya emosi Rikko yang tertahan sejak kemarin meluap, ia
melancarkan bogemnya tepat pada perut Rio, membuat Rio terjengkang ke
belakang, sedikit darah muncul di sela bibir merahnya
“Itu hadiah dari gue atas perbuatan lo ke Alvin!” kata Rikko.
Saat nama orang yang sering menghilang itu disebut, anak-anak sekelas
dan di luar kelas langsung melihat ke arah Rio.
“Rikko! Lo apaan sih? Gue yakin Alvin bakal nampar lo bolak-balik
kalau dia lihat lo gitu!” kata Obiet yang langsung menjauhkan Rikko
dari Rio.
“Gue ragu Al masih nganggap lo sahabat setelah tahu setelah apa yang
lo lakuin ke dia!”
“Udah Ko, kalian ikutan cabut kagak?” kata Cakka sambil menjinjing tasnya.
“Cabut kemana? Ngapain?”
“Ke RS! Al kritis!” Jawab Agni kemudian mengikuti Cakka keluar kelas.
Rikko memandang Rio penuh amarah sebelum dia juga ikut nyusulin Cakka.
Cakka, Rikko, Agni, Via, Shilla, Oik, Obiet, menghampiri Iel yang
terduduk lemas di ruang tunggu ICU.
“Gimana Yel?” Tanya Rikko. Gabriel tidak menjawab hanya menggeleng.
“Gue nggak tahu ko! Dari tadi dokternya belum keluar” jawab Gabriel lemas.
Sivia menempelkan mukanya di jendela ICU, dia melihat tubuh Alvin yang
terangkat-angkat akibat penggunaan Alat pemacu jantung, entah mengapa
hatinya miris melihat itu, apalagi alat dictator jantung menunjukkan
garis zigzag yang diselangi oleh garis lurus yang cukup panjang. Mata
Sivia terbelalak saat alat itu tak lagi memberikan signal zigzag, dan
hanya member signal lurus.
“Al…Al, nggak! Nggak!” teriakan Sivia membuat Agni Shilla dan yang
lainnya mendekat,
dokter-dokter itu terus menggunakan alat pemacu jantung itu di daerah
jantung Alvin, hingga tubuh Alvin terus-terusan berguncang. Dokter
telah member signal tidak mungkin dengan menggeleng-gelengkan
kepalanya, Shilla dan Sivia menutup mata mereka, tak sanggup melihat
sahabatnya meregang nyawa di mata mereka sendiri.
Namun seorang dokter yang lain memberi isyarat dengan telunjuknya,
dokter tadi pun mengangguk, ia kembali menggosok alat itu satu sama
lain, dan langsung menempelkan kedua alat itu ke dada Alvin, hingga
sekali lagi, tubuhnya berguncang,
Tiiiiiiiiit tit tit tit….
Garis panjang itupun terputus oleh garis zigzag yang tiba-tiba muncul.
Dokter itu meletakkan kembali alatnya, tersenyum dan bernapas lega, ia
mengusap mukanya yang penuh dengan keringat, begitu pun dengan Shilla
dkk, mereka bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena mereka tidak
jadi melihat sahabat mereka pergi begitu saja di depan mata mereka.
“Kak Alvin gimana, Kak?” Tanya Aren yang baru saja muncul bersama Rio
“Hampir aja, Ren!” kata Shilla yang masih belum bisa menghentikan air matanya
“Ngapain lo kesini?” teriak Rikko yang melihat Rio di samping Aren
“Stop Rikko! Lo niat bunuh Alvin? Dia bisa kena serangan jantung liat
lo emosional gini!” kata Obiet mulai kesel.
“Maaf, yang namanya Mario, Alvin dari tadi memanggil nama anda” kata
dokter yang keluar dari ICU. “Dia sudah sadar, tapi jangan mengajaknya
bicara terlalu lama” peringat dokter itu
Setelah mengganti bajunya dengan baju ICU Rio melangkah masuk. Hatinya
miris melihat Alvin terbaring di sana walau Al tersenyum lemah saat
melihat dirinya
“Gue minta maaf Al!” kata Rio pelan
“Lfo ghak shalah kok” kata alvin pelan, suaranya tak terdengar begitu
jelas karena ada selang yang menyumpal mulutnya
“Kenapa lo nyebut nama gue?” Tanya Rio
“Karfna..huk..huk..” Alvin mengerjapkan matanya, tangan kanannya
memencet-mencet alat pemanggil dokter. Rio yang melihat itu langsung
keluar dan berteriak
“Dok, Dokter!”
Beberapa dokter langsung masuk dan kemudian menyuruh Rio keluar.
Teman-temannya langsung menyerbunya
“Yo, Al kenapa?” Tanya Ify, Rio menggeleng
“Lo apain lagi Al?” Rikko emosi
“Belum puas lo bikin Al hampir mati?” tambah cakka.
Agni dan Shilla segera nenangin mereka berdua.
Cakka menghela nafas berat
“Oke, gue khilaf”
Iel menunduk lesu dan memutar kursi rodanya menghadap ke jendela, udah
nggak ada lagi Gabriel yang dewasa, ia merasa seperti anak kecil yang
akan kehilangan sosok kakak yang akan melindunginya, ia menitikkan air
mata melihat sosok tubuh itu terguncang berkali-kali, naik dan turun.
‘Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit.....’
Mata Gabriel melotot melihat garis lurus itu, para dokter mengusap
wajah mereka, berucap Inalillahi.. Salah satu dari mereka menutup mata
sosok itu, ia mengguanakan lap steril untuk mengelap bercak darah yang
berhamburan disekitar mulut dan leher Alvin.
Setelah itu, dokter pun menutup wajah Alvin dengan kain putih, sivia
menutup matanya, air mata menetes mengaliri pipinya, Gabriel pun
begitu, ia tak sanggup melihat sosok yang sudah dia anggap sebagai
kakak itu meregang nyawa di depan matanya sendiri. Dokter keluar dari
ICU, ia menatap mata sahabat – sahabat Alvin satu persatu.
“kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi tuhan berkehendak lain,
pembuluh aortanya pecah, dan…maaf saya harus kembali ke kantor saya”.
“Kak…Al…Vin” Aren melangkah pelan mendekati Alvin yang sudah tidak
bernyawa diikuti teman-temannya. Aren membuka selimut yang menutupi
wajah Alvin.
BRUKK tiba-tiba Aren limbung, tapi berhasil di tangkap Rio.
Wajah putih Alvin terlihat snagat amat pucat, bibirnya yang merah kini
menjadi pucat masih dengan beberapa bercak darah yang menghiasi bantal
dan seprai, semua alat-alat telah di cabut, Gabriel tidak tahan
melihatnya, mereka semua larut dalam kesedihan yang begitu dalam,
terutama Rio, ia tak menyangka, kebodohannya telah membunuh sahabatnya
sendiri, tanpa sadar ia mengantuk-antukan kepalanya ke dinding.
Dugg, dug, dugg
“Rio…stop!” Ify menjauhkan Rio dari dinding.
“Ini salah gue Fy! SALAH GUE! Kalau aja gue bisa ngontrol emosi gue,
Alvin nggak bakal meninggal Fy, nggak bakalan!” teriak Rio gak tahan.
Rikko mengangkat kerah baju Rio.
“Percuma Yo! Lo tuh udah ngebunuh Alvin! PERCUMA!” rikko menghempaskan
Rio begitu saja.
Semua keluar dari ruangan itu kecuali Rio dan raga tak bernyawa Alvin.
Rio berlutut di depan ranjang itu. Perlahan air matanya menetes,
penyesalan yang begitu dalam menghampirinya.
“Gu…gue mau minta maaf Vin…gue salah…gue nggak bisa ngontrol emosi
gue…gue bego nggak percaya sama lo, gue…” Rio menghentikan omongannya
untuk menarik nafas.
“Gue janji Vin, gue janji bakal jagain Aren, samapi dia bisa dapetin
cowok yang bisa gantiin lo di hati dia…dan andai lo masih hidup Vin,
gue pengen lo tau, gue tenang kalau Aren sama lo, walau memang emosi
gue gak bisa terkontrol”
“Fuuh, ternyata emang bener ya? Manusia itu emang nyeselnya pas akhir
cerita mulu Hahaha” kata seseorang. Rio menengadahkan wajahnya, lalu
mengucek-ngucek matanya tak percaya, ia menunjuk-menunjuk sosok yang
tengah duduk di atas ranjang Alvin itu hingga jatuh terduduk
“Lo! Lo hantu? Tolong!” teriak Rio sambil mundur-mundur. Suara rio
yang cukup besar membuat orang orang di luar ICU itu mendekat
Semua orang berhamburan masuk dan menatap sosok itu tak percaya.
“Lo? Kok, kok lo?” kata Iel menunujuk-nunjuk sosok itu.
“hai, apa kabar?” kata orang itu melambai-lambaikan tangannya.
“Al! lo Alvin? Atau hantu Alvin?” Kata Rikko. gagap
“Gue Alvin lah” kata Alvin sambil melambai-lambaikan sapu tangan yang
tadi menutupi wajahnya.
“kok bisa?”
“happy birthday Rio! happy birthday Rio! happy birthday, happy
birthday, happy birthday Rio! Hahaha, kena lo gue kerjain” ledek Cakka
yang masuk dengan membawa kue bertuliskan SELAMAT ULANG TAHUN, Aren
yang baru datang langsung memeluk Rio yang masih bingung.
“Happy Birthday kak, Love u Forever” kata Aren
“Aren selingkuh” Kata Alvin tiba – tiba. Aren tersenyum dan berkata
“ You’ll always my best love”
“Hah?!” Rio lemas
“Jadi ini semua Cuma mau ngerjain Rio? Kok gue nggak dikasih tahu?”
Iel protes diikuti anggukan Ify, Shilla, Rikko, Via, Obiet, Oik
“Sejak kapan nih?” Tanya Rio sambil menahan air mata senang + haru
“Ee ini idenya Al, kita gak ngasih tau biar kalian lebih natural aja
hahaha” cakka tertawa
“Ya jadi waktu Cakka mergoki Aren meluk gue, eh jangan panas Yo ada
alesannye. Aren langsung ngejar Cakka dan jelasin semuanya, karena
Cakka ngejekin gue sama Aren terus, gue kepikiran buat ngebungkam tu
anak dengan rencana gue hehehe”
“Jadi lo beneran pelukan sama Aren?” Tanya Iel
“Apaseeh, itu juga gara-gara gue sakit, wuu”
Alvin melempar saputangannya pada Iel
“Jeeh bercanda juge” kata iel sok kesel
“ sebenernya gue bingung, si shilla kan calon dokter, masa dia enggak
bingung sih sama penjelasan dokternya? Padahal jelas banget
penjelasannya itu ngawur” kata alvin sambil ngakak
“yeee gue kan enggak kepikiran lagi sama itu, lo tuh aktingnya bagus
banget!” kata shilla kesal
“Jadi? Lo juga bohong soal penyakit lo?” Tanya Iel lagi
“Ya nggak sepenuhnya bohong, gue emang kena leukemia, gue emang punya
elje dari bayi. Dan kemaren gue emang drop di depan rumah Aren”
“Leuk?” Tanya yang lain
“Bukannya udah tahu? Eits jangan nangisin gue lagi ya, gue udah
operasi cangkok sumsum tulang kemaren” kata Al
“Kemaren?”
“Iya, yang gue ngilang itu loh”
“Jadi, bukan Rio yang gebukin lo?”
“Hahahaha, bukan lah! Mana bisa dia gebukin gue” kata alvin yang masih
ngakak, lantaran keliatan banget tampang rio udah nunjukin tampang
super kesel
“Tuh kan, pada nggak percaya sama gue sih! Lo juga Ko, main bogem gue
aja!” kata Rio sambil mengelus-elus perutnya yang tadi kena bogem
mentah dari Rikko.
Rikko nyengir
“Eh elu main bogem aje, sakit nggak Yo?” Tanya Alvin
“Ya sakit lah! Bego lo” kata Rio
“Ah tau lo, sakitan gue tau nggak! Bogeman lo beneran kena goblok! Lo
mukulnya udah kayak orang kesetanan dasar bego! Untung pembuluh darah
gue nggak beneran pecah, gue bisa mati!” kata Alvin sambil menahan
marah nggak jelas
“Oh itu salah lo! Kenapa ngerencanain yang aneh-aneh!”
“Yee ini kan buat lo juga! Dada gue ampek senek nggak bisa napas
gara-gara bogeman lo!”
“Yee gue ampek mundar gara-gara Rikko”
“Itu mah derita lo!”
“Ya udah, itu derita lo juga!”
Alvin turun dari ranjang lalu mengambil ancang-ancang nonjok
“”Lo tuh ya!”
“Apa?apa? mau nonjok?” Tanya Rio siap-siap
“KAK RIO! KAK ALVIN! APA-APAAN SIH KAYA ANAK KECIL TAU NGGAK! APA-APA
BERANTEM” marah Aren
“Siapa yang berantem?” Tanya Rio
“Ih, kamu sotoy” kata Alvin lalu merangkul Rio
“kita kan bercanda, week” Rio dan Alvin berlari menghindari Aren yang
kesal gara-gara dikerjain.
-TAMAT-
Sudah beberapa kali gabriel berusaha untuk menelpon Alvin, tapi nihil,
Alvin tak menjawab telponnya
“kemana sih nih anak satu? Bikin orang khawatir!” kata Gabriel kesal
Sementara itu…
drrt drrt drrt
Alvin yang dari tadi mengendarai mobilnya kesel setengah mati
gara-gara dari tadi handphoenya getar terus. Alvin akhirnya mencoba
mengambi handphonenya yang ada di knikkog jeansnya.
“Anjir, jatoh lagi!” rutuk Alvin, than, dia merogoh-rogoh handphonenya
sementara tangannya yang lain memegang setir kemudi, tiba tiba..
TIN TIN TIN….
“AHHH…”
Alvin membanting stir mobilnya lalu menginjak rem dengan keras,
beruntung tepat saat mobil Alvin hampir membentur pohon besar.
“BAWA MOBIL YANG BENER WOI!” rutuk pengendara truk tadi
“hah…hah…hah…RRRGGH hah..” napas Alvin terengah-engah jantungnya
serasa hampir lepas, sakit itu datang kembali, membuatnya meremas dada
kirinya dengan kuat
“Sial, nggak tepat banget sih waktunya!” rutuk Alvin
“hhh..sakit..sakit banget..”
Alvin memegang dadanya sambil terus berusaha menggapai hpnya. Akhirnya
setelah berusaha cukup lama akhirnya HP itu terjangkau olehnya. Dengan
sisa tenaga Alvin mengetikkan nomor seseorang.
Suara kereta api yang menjadi RBT orang yang ditujunya seirama dengan
deru napasnya yang begitu lambat. Setelah nunggu beberapa saat orang
yang dituju mengangkat telpon Alvin
sementara itu…
“Jadi norma itu adalah bla bla bla…”
drrt drrt
Aren membuka handphonenya yang ditaruh di atas meja dan di tutup
dengan LKS sosiologinya
-Alvin(kksb)’s calling-
Aren mengangkat telphon itu dengan sembunyi-sembunyi
“Hallo, kak, kenapa nelpon? Aren msih ada kelas sejam lagi!” kata Aren
“hah..hah..hah..gue..hh di deket hh rumah lo..aaaarrrgh..”
“Hallo! Hallo! Kak! Kak Alvin!” tanpa sadar Aren berteriak
“AREN!”
panggil guru itu marah. Aren menatap guru itu dengan mata berkaca-kaca
“Pak, saya harus pulang sekarang!” kata Aren hampir nangis
“Kamu kenapa Aren? Apa nggak enak badan?”
“Sa..saya harus pulang!” Air mata Aren mulai menetes.
Setelah membereskan bukunya Aren segera beranjak dari kursinya. Tanpa
berpamitan lagi Aren langsung meninggalkan kelas. Berlari menuju depan
sekolah, tanpa menunggu angkot dia berlari menuju rumahnya.
TIN TIN
“aww” rintih aren, karna ia tiba tiba jatuh lantaran ada mobil menyerempetnya
“Ren lo nggak papa? Maaf deh!” kata orang yang hampir menabrak Aren
“kak..kak Cakka.. Kak Alvin, kak Alvin” kata Aren
“Lo nggak papa kan? Alvin kenapa Ren?’ Tanya Cakka panik
“kakak kenapa keluar? Gue nggak papa kak! Gue juga belom tau kak Al
kenapaa, tapi gue takut banget” keta Aren sambil menangis
“Gue abis nganterin Agni pulang, itu bocor” kata Cakka nyengir. “Ya
udah, gue anteriin lo deh. Lu tau Al dimana?” Aren mengangguk pelan
disela tangisnya
“Cepet naik, Ren!” kata Cakka membukakan pintu mobilnya. “Al dimana
Ren?” lanjutnya
“ tadi dia bilang di telpon, dia lagi di dekat rumah gue,kak! Gue
takut kak Alvin kenapa-napa!” air mata Aren terus keluar
****
Alvin mengerjapkan matanya berusaha agar bisa dalam keadaan sadar,
perlahan ia mulai bisa mengatur nappasnya, tapi rasa sakit didadanya
tetap saja menyerang
“Al, buka!” Dengan susah payah Alvin membuka pintu mobilnya
“Kak Alvin, lo nggak papa kan? Kak Cakka, bantuin ngangkat kak Alvin dong!”
“Iya-iya, Ren ini baru mau gue kerjain!”
“Cak, tolong jangan bawa gue ke RS lagi” Kata Alvin pelan
“Tapi Vin…”
“Please Cak, gue Cuma butuh istirahat, itu doang”
“Oke fine, gue ngikut aja!” Cakka memutar stir mobil Alvin,
sekali lagi dari spion mobil yang sama dia bisa melihat sahabat yang
selalu terlihat kuat dimatanya kini menjadi lemah, dia memang tidak
pernah menaruh curiga, Alvin memang selalu mampu menyimpan masalahnya
dengan baik
“Kak Cakka, bawa ke rumah Aren aja kak! Deket kok!”
“Gimana Vin?”
“Terserah, yang penting bukan RS!” Akhirnya Al dibawa ke rumah Aren
“Ya ampun, nak Alvin kenapa?” Tanya mama Aren begitu Aren dan Cakka
masuk ke rumah membopong Alvin
“Kak Al sakit ma, aku bawa ke kamar dulu ya!” kata Aren. Mamanya
mengangguk lalu mengikuti ke kamar
“Baringin di kamar aja, kak!” setelah nidurin Al di kamar Aren, Cakka
balik buat ngambil mobilnya yang dia tinggal di tempat tadi
****
“Kakak sebenarnya sakit apa sih?” Tanya Aren lalu mengompres kepala
Alvin yang perbannya sudah di buka terlebih dahulu
“Lo udah tahu kan? Ngapain nanya?” kata Alvin, tangannya bergerak
menuju sumber sakitnya yang tampaknya akan tetap menyakiti tanpa ampun
“Masih sakit kak? Ke RS aja ya! Firasatku kakak nyembunyiin sesuatu dari kita!”
“Pokoknya gue nggak mau ke tempat laknat itu! Nyembunyiin apa coba?
Ada-ada aja lo!”
“Kakak jujur aja sama Aren” kata Aren tulus
“Jujur apa sih? HP gue mana?” Tanya Al, Aren mengambel hape Alvin yang
di taruh Cakka di meja. Dengan cepat Alvin mengetikkan sms
“Kka, ambilin obat gue di kamar rawat Iel ya”
Beberapa menit kemudian ada balesan
“obat apaan? Oke deh! Lo nggak papakan?”
“udah, lo Tanya Iel aja, not too bad lah! Lu cepetan ya!” balas Al
“siap bos”. Abis itu Alvin kembali memberikan hpnya ke Aren
“Makasih ya, Ren!”
“Oke kak, urwel! Lo istirahat aja dulu!” kata Aren sambil membetulkan selimut Al
“Lo mau kemana?” Tanya Alvin
“Dapur, sekalian ganti baju masa iya ganti baju disini! Udah kakak
istirahat aja!” kata Aren lalu keluar
“Ren, cepet balik kesini ya! Alvin meraih tangan Aren dengan muka memohon
“Oke, kak Alvin jadi manja deh!” Aren tersenyum manis
“Gue takut kehilangan lo!” ada semburat merah di pipi Aren
“Kayaknya panas kakak makin tinggi deh! Ngomongnya ngaco mulu!”
Kemudian tanpa basa-basi lagi Aren segera pergi.
Aren makin bingung dengan Alvin yang kadang baik, kadang ramah, kadang
cuek, kadang nggak bersahabat, dan kadang manja. Aren sampe
senyum-senyum sendiri mikirinnya.
Sepeninggal Aren Alvin kembali membiarkan rasa sakitnya menjalar
memenuhi tubuhnya, karena ia sudah tidak sanggup menahan sakit yang
teramat sangat itu. Alvin terus menekan dada kirinya hingga ia merasa
begitu panad, padahal AC di kamar Aren sudah 16°C.
“Arrgh..sial, sakit banget! Hh..aduh, A..Aren..ren, lo di mana? Sakit
banget Ren!” entah mengapa saat ini Alvin ingin Aren selalu
menemaninya. “Arrgh..Aren..” sakit itu semakin gencar menyerang
Cklek
“Kenapa kak? Kakak kenapa?” Tanya Aren yang langsung menghampiri Alvin
yang meringkuk di atas kasurnya.
Peluh bercucuran dari kepala Alvin membuat Aren jadi panik. Alvin
tidak memberikan respon apapun, ia hanya mengerang dan menggenggam
tangan Aren dengan kuat. Aren makin merasa aneh, Alvin terlihat begitu
kesakitan, terasa dari pegangan Alvin yang semakin kuat menggenggam
tangannya. Aren jadi bingung harus bagaimana, genggaman Alvin terasa
panas, dan begitu Aren menyentuh kening Alvin, juga terasa panas,
padahal kamarnya ber AC.
“Ya Tuhan, kakak demam! Aren ganti kompresnya dulu ya!” Aren berusaha
melepas genggaman tangan Al, tapi Al malah menggenggam tangannya makin
kuat
“Ja..jangan pergi, Ren! Temenin gue! Dingin banget!” Alvin menarik tangan Aren,
mengisyaratkan pada Aren agar memeluknya. Aren akhirnya menundukkan
kepalanya dan menyandarkan ke dada Alvin, tangannya yang tidak
digenggam Alvin memeluk sisi tubuh Alvin yang lain, ia kini merasakan
betapa panasnya tubuh Alvin, dan betapa lemahnya denyut jantung Alvin.
Tangan Alvin masih menggenggam erat tangan Aren, membuat Aren tambah
miris. Aren memeluk Alvin dengan erat, berharap sakit yang diderita
Alvin berkurang.
“hh makasih Ren!”
Cklekk
tiba-tiba pintu kamar Aren terbuka membuat Aren sedikit bangkit
“Ini, Al, o…”
Cakka tertegun melihat Aren dan Alvin.
Wajah Aren memerah melihat kedatangan Cakka, sementara Alvin hanya
diam lantaran rasa sakit itu telah mampu membungkamnya.
“Maaf ganggu, g..gue Cuma mau kasih obat, g..gue keluar ya!”
“Eh..oh, ma..makasih kak!”
“gu..gue langsung balik ya! Sekali lagi maaf ganggu kalian! GWS ya, Vin!”
Setelah kepergian Cakka Aren mengambil obat yang ditinggal Cakka di
atas meja Aren. ‘obat apaan ya? Ah, sabodo!’ kemudian Aren beranjak
mengambil air yang sudah di bawanya tadi.
“Kak, minum dulu obatnya!” Aren menjejalkan pil yang sangat kecil itu
ke mulut Alvin, lalu dia juga mencoba meminumkan air mineral ke Alvin.
Agak susah, karena Alvin hanya membuka mulutnya sedikit.
Setelah menegak obat tadi Alvin merasa kalau kepalanya hampir pecah,
itu membuatnya jadi tambah gelisah dan malah menjambaki rambutnya.
Aren jadi tambah panik dan khawatir, ia mencoba memegang tangan Alvin
dengan kuat. Sesaat kemudian rasa sakit itu perlahan menghilang. Aren
perlahan melepaskan genggaman tangannya saat merasa Alvin sudah mulai
tenang. Kemudian tangannya beralih mengelus kepala Alvin. Dia
mengambil beberapa tissue buat nyeka keringat Alvin.
“Kakak udah nggak papakan? Aren takut banget kak! Kakak kenapa sih?
Tiba-tiba kayak gini? Prasaan nggak pernah sampai kayak gini!” Aren
terus ngoceh, nggak ngebiarin Al ngejawab.
“Stop! Aren oke, gue jawab, gue nggak kenapa-kenapa, oke fine!”
“Nggak papa gimana, ngomong aja susah bilang nggak papa! Ayo kak,
kasih tau Aren!”
“Lebih baik lo nggak tau, Ren!”
“Plese kak, please, kakak justru tambah bikin Aren penasaran!”
“Kalau gue bilang, tadi gue sakau dan obat itu narkoba gimana?” Aren terbengong
“Hah? Aren nggak percaya! Lagian sakau mah nggak kayak gitu!”
“Sok tau lo, emang udah pernah?”
“Aren kan pernah baca di buku kak!
“Tapi kan belum pernah lihat langsung!”
“Udah ah, kak! Jujur dong, serius nih!”
“Gue sakau, puas?” Tanya Alvin kesal
“Kakak bohong, Aren tau kakak nggak mungkin sakau!”
“Lo nggak percaya banget sih? Kalau nggak ada obat itu gue udah mati
sekarang, kalau nggak minum obat itu gue sakit, itu sakau kan
namanya?” kata Alvin kesal
“Kak Alvin, jangan ngomong mati seenaknya aja dong! kakak nggak
mikirin perasaan Aren? Kakak sadar nggak sih kalau Aren sayang banget
sama Kakak? Aren nggak mau kehilangan Kakak! Aren takut banget tadi!”
Aren melampiaskan seluruh kekesalannya
****
Tok tok tok
“Masuk!”
“Hei Iel, gimana keadaan kamu?” Tanya Sivia lalu duduk di sebelah
ranjang Gabriel
“udah lumayan baikan, hehehe kamu gimana?” Tanya Gabriel balik
“Always fine beside you” kata Sivia dan tersenyum, mereka bertatapan,
perlahan wajah mereka mendekat…dan..
“ekhem, ekhem, dunia ini bukan Cuma milik lo bedua neng, mas!” ledek Rikko
“Adegan berikut untuk 17 tahun ke atas” kata Rio lalu ngakak parah
“hei hei gada kiss!!umur baru lima belas tahun juga! Enggak enggak
enggak!” kata Obiet sambil mengacungkan jari telunjuknya
“Apa sih? Kita sama sekali enggak berpikiran buat ngelakuin itu, yakan
Vi?” Tanya Iel. Sivia mengangguk malu
“Halah, ngeles”
“Mana Cakka Agni?” Tanya Iel mengalihkan pembicaraan
“Cakka tadi nganterin agni balik, rok putihnya merah hahahaha” Rikko
yang dari tadi ngejekin Agni sekarang malah ngomong gitu, dilirik
sinis deh sama Shilla
“Oh gitu ya, tadi dia ke sini sih sebentar, ngambil obat Alvin!” kata Iel lesu
“Al? kenapa lagi tuh anak?” Tanya Rikko
“Nggak, nggak ada apa-apa!” jawab iel menutupi
****
Alvin terdiam, terpaku kaget bercampur senang mendengar pengakuan Aren
“Maaf kak, Aren nggak ber…” sebelum Aren menyelesaikan kalimatnya
Alvin sudah terlebih dahulu menarik Aren ke dalam pelukannya, ya
hatinya senang. Ternyata perasaan Aren sama seperti dirinya.
“lo yakin mau sama gue yang kayak gini? Gue nggak seperti yang lo
bayangin lo!” kata Alvin terus memeluk Aren. Kali ini gentian Aren
yang diam
“If you are really think that I’m is your dear, I just want spending
my last time with you!” kata Alvin lagi
“Kakak ngomong apa sih? Kakak masih bisa sembuh kan!” kata Aren
setengah berbisik di telinga Alvin
“Just a miracle my girl, kalau rumah sakit aja udah angkat tangan apa
lagi yang mesti aku pertahanin? Aku jenuh minum sesuatu yang Cuma
memperpanjang penderitaanku” jawab alvin pelan. Aren melepas
pelukannya
“Tapi kak..”
“Kanker darah Ren, aku beda dengan Iel yang masih bisa kemoterapi”
desah Alvin pean, mendengar itu perlahan air mata menetes dari mata
Aren
“Apa!? Kenapa kakak bilang kakak kena elje? Kenapa kakak nggak kasih
tau kita yang sebenarnya?” Tanya Aren disela tangisnya
“sst, gue emang punya elje dari kecil. Please jangan nagisin gue,
jangan bikin gue nyesel kasih tau ini ke elo. Cukup Gabriel aja yang
ketahuan, jangan gue juga. Kasihan mereka Ren, gue nggak mau lihat
mereka down” kata Alvin lalu menghapus air mata di ujung mata Aren
“Aren akan slalu jagain kakak! Aren nggak akan biarin kakak
kenapa-napa! Tapi kakak harus janji!”
“Janji apa sayang?” Alvin tersenyum manis sambil menyeka sisa-sisa air mata Aren
“Kakak harus berjanji akan bertahan demi Aren, demi kakak, dan demi
semuanya! Kakak juga harus lebih terbuka sama Aren!” Alvin hanya
tersenyum dan kembali menarik Aren ke dalam pelukannya
‘Maaf, aku nggak bisa Ren” Batin Alvin. Aren melepaskan pelukannya
“Kakak makan ya? Aren buatin bubur!” Alvin tersenyum lalu mengangguk.
Sementara itu Agni dan Cakka sedang menuju ke rumah sakit
“Kka, lu kenapa? Kok diem dari tadi?”
Cakka nggak ngerespon
“Kka, Cakka!”
“Ah enggak, udah, turun yuk” ajak Cakka. Mereka berdua lalu berjalan
beriringan ke kamar Iel
****
“Yel, kemaren lo nggak ngrasa ada yang aneh dari Al?” Tanya Rio, Iel
bingung mau jawab apa, beruntung sekali dia, pertanyaan itu dialihkan
oleh seseorang yang mengetuk pintu kamar rawatnya
Tok tok tok
cakka masuk bersama Agni
“Eh, elo Kka!” Iel mengalihkan pembicaraan
“Eh, Agni juga ada! Benderanya sudah bersih neng?” Canda Rikko yang
langsung diacungi bogeman oleh Agni
“Peace..” Rikko meringis
“Al mana? Kok nggak bareng?” Tanya Via
“Al masih berduaan sama Aren!” Cakka cekikian
“Maksud lo?” Iel bingung
“Iya, berduaan di kamar, pelukan gitu!”
“Lo semakin ngaco Cak! Ag, lo apain cowok lo?”
“Apa? Apa lo bilang? Mereka pelukan di kamar Aren? Sialan! Nyari
masalah tu anak!” Rio geram
“Wow, sabar yo! Gue nggak yakin Alvin begitu” kata Obiet diiringi anggukan Oik
“Kolau Cakka yang begitu, gue baru percaya!” celetuk Rikko
“Terserah!” Rio langsung mengambil kunci mobil lalu keluar, Ify
langsung mengikutinya
****
“Yo, tahan emosi kamu! Alvin nggak mungkin gitu, gue tau dia Yo!” kata
Ify mencoba menenangkan Rio yang masuk ke rumahnya dengan kasar.
Selama di mobil mereka hanya diam karena Ify ketakutan
“Bullshit!”
Rio menaiki tangga dan langsung menuju ke kamar adik tirinya itu,
BRAK
Rio langsung kaget mendapati adiknya yang tertidur dengan kepala yang
bersandar di dada Alvin. Sedangkan Alvin juga tidur. Langsung saja
dengan bringas Rio bersiap menonjok Alvin
“Yo, sabar yo!” Ify menenangkan Rio
“Kak Rio, jangan! Teriak aren begitu terbangun dari tidurnya dan
mendapati kakaknya hendak memukun Alvin. Alvin terbangun mendengar
teriakan Aren. Baru saja ia membenarkan posisinya tiba-tiba
BUGGH
“Aaarrrrrgh..”
Alvin mengerang ketika serangan Rio memukul telak tepat di jantungnya.
Alvin terduduk, tanpa sadar ia telah memuntahkan begitu banyak darah.
Aren berteriak, dengan cepat dia merengkuh Alvin yang mulai hilang
kesadarannya.
Sementara Rio hanya bisa tertegun. Dia tidak menyangka kalau akhirnya
akan seperti ini. Dia tidak bermaksud melakukan sampai sejauh ini
“Kak, kak! Kak Alvin bangun kak! Kak, jangan tinggalin Aren!” Aren
menangis dalam rengkuhannya ia dapat mendengar sayup-sayup detak
jantung Alvin yang berdetak begitu pelan
“Kita bawa Alvin ke RS aja ya Ren!” bujuk Ify. Aren tidak menjawab,
dia hanya mengangguk sambil terus menangis.
“Yo, jangan diam aja! Cepet bantuin angkat Al ke mobil!” teriak Ify
membangunkan Rio dari lamunannya.
Kemudian Rio menaikkan Alvin ke punggungnya dan bergegas membawa Alvin
ke mobilnya. Aren terus menangis dalam pelukan Ify. Kemudian Rio
bergegas melajukan mobilnya ke RS. Aren memeluk Alvin erat di
sepanjang perjalanan
“Kak, bangun kak, berhenti bikin Aren takut” bisik Aren disela
tangisnya “kakak janji sama Aren kakak akan bertahan, kenapa kakak
malah begini?”
“Maaf, Ren!” ucap Alvin begitu pelan membuat hanya Aren yang
mendengarnya. Namun akibat perbuatan itu mulutnya kembali memutahkan
darah, namun kali ini hanya sedikit
“Maaf” ucap Alvin lagi
“Kakak jangan ngomong lagi kak!” pinta Aren
“Di..ngin banget Ren, dadaku sa..kit!”
“kak Alvinn tahan ya, bentar lagi sampai! Kak Rio cepetan kak!” kata
Aren memeluk Alvin semakin kuat, berharap dapat memberi sedikit
kehangatan buat Alvin. Rio menambah speed mobilnya.
“Ren, aku mau tidur” kata Alvin pelan
“kakak, tetaplah sadar kak” pinta Aren takut
“Ma……af”
“Kak! Kak! Bangun kak!”
“Ren, tenang dulu! Al Cuma pingsan kok!” Kata Ify yang notabene
anggota PMR sambil memeriksa nadi Alvin. Aren hanya memeluk Alvin
sampai RS. Rio hanya terdiam di sepanjang perjalanan, dia sangat
merasa bersalah.
****
Cakka dan Agni memutuskan keluar dari obrolan ribet Obiet feat Iel,
mereka tiba-tiba menemukan Rio yang tengah membungkuk dan
memohon-mohon kepada aren yang hanya duduk diam dengan tatapan kosong
“Ada apa Fy?” Tanya Agni
“Jangan di sini!” kata Ify mengajak Cagni ke pojokan lalu
mencceritakan semuanya. Cakka geram, memang tidak bisa dipungkiri awal
dari masalah ini adalah dirinya.
“Cakka, jangan lakukan kesalahan yang Rio lakukan!” pinta Agni
“Maafin Rio, cak! Dia Cuma terlaluu sayang sma Aren, dan dia tidak
pernah bermaksud buat ngelakuin itu” kata Ify
“Oke, gue maafin. Lagipula salah gue juga pake ngomong kayak tadi!”
“Trus Alvin gimana Fy? Aren kayaknya marah banget?” Tanya Agni
“Aren shock banget, tadi gue aja sampek takut! Alvin muntah darah,
banyak banget lagi!”
“muntah darah lo bilang? Gue nggak salah denger?” Tanya Cakka
“Siapa yang muntah darah?” Tanya Obiet yang muncul di sebelah Cakka,
di belakangnya ada Rikko, Shilla dan Oik
“Via mana?” Tanya Agni
“Masih sama Iel, tadi siapa yang muntah darah?” Tanya Rikko
“i-itu..”
“keluarga Alvin?” Tanya seorang dokter yang keluar dari UGD. Aren
segera berdiri dan menghampiri dokter
“Kak Al gimana dok? Dia baik-baik saja kan?” Rio berdiri disamping
Aren berusaha menenangkan Aren, tapi ditepis oleh Aren. Sementara
lainnya masih bingung berrtanya-tanya
‘Alvin?’
Belum sempet dokter itu berkata , seopang pria dan dua orang wanita
datang menghampiri mereka, wanita itu adalah mama Aren dan oma alvin ,
dia langsung merengkuh pundak anaknya
“Bagaimana anak saya dok?” Tanya lelaki tadi
“Ah Pak Nikko, sebaiknya kita bicara di kantor saya!” Pak Nikko
menatap wajah teman-teman Alvin yang menunjukkan tamping bingung
“Sebaiknya mereka juga tahu” kata Pak Nikko
“Baiklah, anak anda mengalami pendarahan di dalam tubuhnya maka dari
itu terjadi muntah darah dan mimisan, selebihnya dia baik-baik saja!
Namun tampaknya kankernya sudah menjalar ke organ tubuh yang lain, dan
soal jantungnya, kerjanya semakin melemah!”
“Kanker?” Tanya Obiet kaget.
Pak Nikko terdiam
“Hah.. Al memang sudah mengidap leukemia sejak tiga tahun yang lalu”
“Tapi om, Al bilang dia Cuma lemah jantung” kata Rikko tidak terima
“Jantungnya memang sudah lemah sejak lahir, dan leukemia itu memang
benar juga” jawab pak Nikko lesu,
semua diam.
“Dia sengaja tidak pernah member tahu kalian, saya pun baru
mengetahuinya saat dia drop satu tahun yang lalu, saat dia dan teamnya
memenangkan kejuaraan foodsal dan olimpiade” jelas pak Nikko melihat
wajah bingung dari teman-teman Alvin.
Aren hanya menunduk
“Ren, jangan bilang lo juga tahu!” Cakka geram
“Gu..gue baru tahu tadi waktu kak Al nyritain semuanya ke gue! Maaf
kak!” Aren menangis lagi.
Rio yang tak tega melihat adiknya, kemudian memeluknya. Aren pasrah,
dia benar-benar butuh tempat untuk mencurahkan air matanya. Semua yang
ada di situ menunduk mengingat semua yang telah mereka lalui bersama
Alvin. Alvin adalah sosok anak yang berarti di mata mereka. Alvin
memang anak yang cuek, tapi di balik itu semua Alvin selalu ngertiin
mereka lebih baik dari siapapun.
“Apa kita harus kasih tau Iel sama Via Kka?” Tanya Agni disela tangisnya
“….”
“Gue rasa jangan kasih tahu mereka dulu, terutama Iel yang masih dalam
masa penyembuhan! Takutnya ntar Iel malah down, Via juga!” kata Obiet
bijak
“Apa yang nggak boleh gue sama Via tahu?” Tanya seseorang yang muncul
dengan kursi rodanya
“Iel? Via?”
“Ada apa sih? Kenapa kalian nangis? Ada apa?” Tanya Iel
“Itu, anu..” semuanya mendadak gagap
“Tadi gue nonjok Al sampek sekarat” kata Rio akhirnya
“Hah? Lo bego Yo, Al sakit bego! Mikir dong!”
“Lo tau itu Yel?” Tanya Rikko
“KENAPA LO NGGAK CERITA?” teriak Rikko hampir mengeluarkan emosinya
“Gue juga tahunya bukan dari dia! Gue tahu dari obat yang dia pake dan
itu sama kayak obat gue!” Kata Iel ikutan teriak
“Udah-udah, nggak usah teriak-teriak ini tuh rumah sakit” kata Obie
mencoba menetralisir suasana
“Ini salah gue, gue bego, nggak bisa ngontrol emosi gue!” kata Rio
yang sudah jatuh terduduk
“Gue yang salah, gue yang salah paham gara-gara gue asal ngomong lo
jadi kayak gitu!” kata Cakka ikut merasa bersalah
Sekarang bukan waktunya nentuin siapa yang bersalah!” Aren mulai buka suara
“Benar kata Aren, lebih baik kita semua berdoa buat Alvin” kata Via
menahan tangis
<SKIP>
“Vi, lo boleh nangis kok!” kata Iel yang kini sedang duduk-duduk di
pinggir bednya dengan Sivia disampingnya
“Nggak yel, gue nggak boleh nangis!” ‘karna gue tahu lo pasti akan
tambah sedih’ batin Via
“Lo nggak usah mikirin gue Vi! Gue nggak papa kok, gue nggak akan sedih!”
****
“Rikko merengkuh pundak Shilla , dan Shilla pun menyandarkan pundaknya
di bahu Rikko
“Gue banyak slah sama koko” Kata Shilla lirih. Rikko diam bersiap
mendengarkan kekasihnya. Tak dapat dipungkiri Alvin memang sosok yang
sangat dekt sengan Shilla
“Waktu gue masih jadi manager futsal, gue pernah nyuruh dia latihan
gara-gara pelatih marahin gue karna gue nggak becus ngatur jadwal
padahal gue tahu dia lagi demam waktu itu, tapi dia tetp mau nurutin
permintaan gue samapai akhirnya dia hampir pingsan gara-gara nggak
fokus dan kepalanya kebentur bola”
“Gue juga banyak salah sama dia, gue pernah nemenin dia main bola dan
waktu itu dia juga lagi sakit, dan gue malah marah sama dia.”
“Dulu dia selalu bantu gue ngajarin anak basket cewek bareng Cakka,
padahal dia udah capek ngajarin anak futsal” kenang Agni
“Al juga slalu ngajak gue sparing kalau gue lagi stress, padahal
jelas-jelas dia udah capek banget! Ah sial, kenapa harus dia sih!”
Cakka mendecak,
kemudian sunyi hanya terdengar isakan Aren yang masih dalam pelukan Rio.
Sementara Ify menenangkan Oma.
Obiet mungkin yang terlihat paling normal tapi siapa sangka hatinya
sangat terpuruk dengan keadaan ini.
“Gue inget waktu dia nemenin gue debat soal pelajaran bio bab kemaren,
dia sempet keceplosan bilang kalau dia punya pennyakit itu, karna itu
dia tahu jawabannya, begonya gue Cuma nganggep itu main-main. Oik
mempererat genggaman tangannya dengan tangan Obiet
“Kalian pasti nggak akan pernah nyangka kalau dulu sebelum gue jadian
sama Obiet tiap malem gue nelponin dia ngajakin ketemu!” Obiet dan
yang lain membelalakkanmatanya
“Gue curhat tentang lo, Biet, lo yang kayaknya nggak care sama gue!
kadang malah sampek pagi, dan dia nggak keberatan sama sekali
ngedengerinnya, gue biasa nangis di depannya! Rasanya tenang banget
kalau udah crita sama dia!” Oik menitikkan air matanya lagi. ”Meski
dia hanya respon sesimpel mungkin tapi tetep aja dia bisa bikin gue
tengang” lanjut Oik
“Meski gue baru kenal sama dia, tapi gue ngerasa dia emang baik
banget, adil bijak, meski dia cuek, dia tetep temen gue yang
pertama..dan gue malah nyelakain dia” kata Rio lalu memukuli kepalanya
sendiri
“Rio udah, jangan nyalahin diri lo terus!” kata Ify yang kini telah
menggantikan posisi Aren yang duduk di dekat Rio
“Tapi Fy…” ucap Rio terhenti saat jari Ify menyentuh bibirnya
“Hush.. udah, jangan diterusin lagi! Gue inget dulu waktu kamu tanding
sama Alvin buat ngerebutin Aren, abis itu gue lihat dia tiduran di
UKS. Waktu gue temuin dia bilang sama gue kalau dia berterimakasih
sama lo yang udah nantangin dia. Karena dengan adanya tantangan dari
lo dia tambah yakin dengan tekatnya buat melindungi Aren!”
“waktu itu gue kira Al pacaran sama Aren, gue nggak rela, gue takut
kehilangan Aren!”
“Dan lo mengulang kesalahan itu Yo, lo udah tahu kan! Al itu selalu
pengen ngebuat Aren bahagia, merasa terlindungi jadi nggak mungkinkan
dia mau nyelakain Aren” kata Ify
“Gue khilaf Fy” kata Rio lalu tertunduk
“udahlah, kita ambil sisi plus nya Yo, seenggaknya kita jadi tau kan
kalau Al sakit keras, coba kita tahunya waktu Al udah nggak ada, itu
bakal lebih nyakitin” kata Ify. Rio tersenyum pada Ify
“Makasih fy, tapi kalau Alvin pergi gue nggak akan maafin diri gue sendiri”
tiba-tiba ada seorang suster yang berteriak dari depan ruang ICU
tempat Alvin dirawat
“Dokter, pasien bernama Alvin menghilang dok!” Semua yang mendengar tersentak
“ Hah? Kak Alvin..” Desah Aren pelan, air matanya mulai berontak lagi.
Sementara dokter langsung memeriksa ke dalam, tapi nihil, tak ada Al
disana.
“Dasar Al, maunya dia apa sih!” Cakka terus ngedumel.
“Kita cari dulu dia!” Kata Obiet berusaha menenangkan yang lain dan
dirinya. Semuanya berpencar, termasuk Iel dan Via yang memaksa ikut
mencari.
“Keadaan Alvin itu masih lemah dia tidak mungkin jauh dari rumah sakit
ini.” Jelas dokternya.
“Lo kemana sih Al?” Gerutu Cakka. “Nggak bisa apa satu hari aja diem
nggag bikin masalah, nggak buat orang khawatir!” lanjutnya.
Jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi, semua mulai pasrah karena Alvin
belum ditemukan sampai beberapa dokter dan suster tiba-tiba datang dan
mendorong sebuah ranjang masuk ke ICU. Sesaat kemudian suster-suster
itu keluar dengan mendorong sebuah ranjang. Riko berdiri lalu mencegat
dokter yang hendak keluar dari ICU.
“apa yang terjadi dok?” Tanya Iel yang ikut mendekat.
“kami menemukan dia di belakang kamar jenazah dengan banyak luka lebam
di tubuhnya”. Kata dokter tersebut, seseorang di antara mereka
tersenyum dengan licik dan menggumam pada seseorang di sebelahnya.
“Sukses” orang di sebelahnya ikut tersenyum dan menyeka air mata bohongnya.
“Apa!” kata Rikobiet tidak terima.
“siapa yang melakukan itu dok? Siapa? Tanya Iel makin tidak sabar.
“kami tidak tahu siapa yang melakukannya yang pasti dia tadi dengan
takut menyebut nama… Rio” Rio mendelik. Semua mata memandangnya dengan
pandangan menuduh.
“Ha? Apa? Bukan gue! Gue gak tau apa – apa!” Rio membela diri.
“SHIT LO! MAU LO APA HAH?” kata Cakka emosi.
“Sumpah Kka, gue nggak ngapa-ngapain” kata rio takut, ia menatap Ify
meminta bantuan, namun Ify malah menggeleng.
“Gue gak nyangka lo picik Yo! Saiko! Gila!”
‘PLAK’ Aren menampar pipi Rio.
“Gue benci lo, kak! Gue nggak akan pernah maafin lo!” Kata Aren
kemudian berlari meninggalkan yang lainnya. Agni berlari menyusulnya.
Rio terpaku sambil memegangi pipinya. Dia tidak tahu kenapa tak
seorang pun mempercayai dia. Semua menuduhnya tanpa bukti.
“Gue beneran gak ngapa-ngapain Al, gue gak sekeji itu.” Katanya lirih
sambil menahan emosinya.
“Tapi Al sendiri yang bilang Yo! Sialan banget sih lo!” Kata Cakka,
lalu mengambil ancang-ancang buat menonjok Rio.
“Jangan Kka” pinta Via.
“Alvin gak bakalan suka kalau dia tau ini.” Lanjutnya.
“Tapi Vi…”
Gabriel memutar roda kursinya.
“Gak ada gunanya lo mukulan dia, itu gak bakalan buat Alvin cepet
sadar” Kata Gabriel lalu ngeloyor pergi.
“Yel, mau kemana?” Tanya Via mengikuti Iel.
“Mau balik ke kamar!”
“Gue temenin ya”
“Lo nungguin Al aja!”
“Udah banyak yang nungguin Al, gue nemenin lo aja!”
“Ya udah, terserah lo!” kemudian Via mendorong kursi roda Iel ke kamarnya.
****
“Lo kenapa Yel?” Tanya Via.
Gabriel menyandarkan kepalanya di bahu Via.
“Gue takut Vi, gue takut kehilangan Alvin, dia udah kayak saudara
kandung bagi gue, gue beneran nggak mau kehilangan dia” kata Gabriel.
Via merasa bahunya mulai basah oleh air mata.
“Yel, inget janji lo Yel!” Kata Via.
“Maaf!” Iel menyeka air matanya.
“Lebih baik lo istirahat Yel! Lo harus percaya kalau Al kuat, Al pasti
bisa bertahan”. Via meyakinkan Iel. Iel memejamkan matanya, meyakinkan
dirinya bahwa Alvin baik – baik saja.
****
Sinar matahari mencercah dunia memaksa mata – mata yang mengantuk itu
untuk terbuka, membuat terlihatnya gurat sembab dimata mereka, ingin
rasanya mereka menjadi Iel yang masih dalam perawatan jadi mereka
tidak perlu sekolah dan mereka tetap bisa disana dan menanti kesadaran
Alvin. Seharian Obiet, Oik, Cakka, Agni, Rikko, Shilla dan Via benar –
benar menjauhi Rio, membuat Rio jadi mencak-mencak sendiri.
“Kondisi al memburuk, Vi” Kata Iel ditelepon.
“Jadi gimana Yel?”
“Dokter masih berusaha nyelametin dia, kondisinya makin gak stabil,
dia kritis” Via mematung, dia tak tahu apa yang harus dia katakana.
“Vi, Via…lo masih disitu kan?” teriak Gabriel di seberang telpon.
Cakka yang melihat ekspresi aneh Via langsung mengambil Hp Via.
“Hallo, Yel! Ada kabar apa?”
“Cakka? Al kritis, keadaannya memburuk”.
“hahahapa? Jangan bercanda Yel, ini buka April Mop” kata Cakka terkekeh.
“Gue serius bego!”
“Gue bolos kesana, awas lo bohong”
“Cak, Al kenapa?” Tanya Rio.
“emang lo masih peduli sama Al?”
“Gimana lagi sih ngejelasin biar kalian percaya kalau bukan gue yang
mukulin Al waktu itu”.
“Oh iya mungkin emang bukan lo! Bisa aja kan suruhan lo yang
ngelakuinnya?” kata Cakka manas.
“Gue nggak setega itu Cak! Oke, emang waktu itu gue mukul Al sampek
dia muntah darah, tapi itu Cuma karena salah paham, gue nggak mungkin
nyakitin sahabat gue sendiri!”
“Ah, shit lo!” teriak Rikko.
BUGGH
Akhirnya emosi Rikko yang tertahan sejak kemarin meluap, ia
melancarkan bogemnya tepat pada perut Rio, membuat Rio terjengkang ke
belakang, sedikit darah muncul di sela bibir merahnya
“Itu hadiah dari gue atas perbuatan lo ke Alvin!” kata Rikko.
Saat nama orang yang sering menghilang itu disebut, anak-anak sekelas
dan di luar kelas langsung melihat ke arah Rio.
“Rikko! Lo apaan sih? Gue yakin Alvin bakal nampar lo bolak-balik
kalau dia lihat lo gitu!” kata Obiet yang langsung menjauhkan Rikko
dari Rio.
“Gue ragu Al masih nganggap lo sahabat setelah tahu setelah apa yang
lo lakuin ke dia!”
“Udah Ko, kalian ikutan cabut kagak?” kata Cakka sambil menjinjing tasnya.
“Cabut kemana? Ngapain?”
“Ke RS! Al kritis!” Jawab Agni kemudian mengikuti Cakka keluar kelas.
Rikko memandang Rio penuh amarah sebelum dia juga ikut nyusulin Cakka.
Cakka, Rikko, Agni, Via, Shilla, Oik, Obiet, menghampiri Iel yang
terduduk lemas di ruang tunggu ICU.
“Gimana Yel?” Tanya Rikko. Gabriel tidak menjawab hanya menggeleng.
“Gue nggak tahu ko! Dari tadi dokternya belum keluar” jawab Gabriel lemas.
Sivia menempelkan mukanya di jendela ICU, dia melihat tubuh Alvin yang
terangkat-angkat akibat penggunaan Alat pemacu jantung, entah mengapa
hatinya miris melihat itu, apalagi alat dictator jantung menunjukkan
garis zigzag yang diselangi oleh garis lurus yang cukup panjang. Mata
Sivia terbelalak saat alat itu tak lagi memberikan signal zigzag, dan
hanya member signal lurus.
“Al…Al, nggak! Nggak!” teriakan Sivia membuat Agni Shilla dan yang
lainnya mendekat,
dokter-dokter itu terus menggunakan alat pemacu jantung itu di daerah
jantung Alvin, hingga tubuh Alvin terus-terusan berguncang. Dokter
telah member signal tidak mungkin dengan menggeleng-gelengkan
kepalanya, Shilla dan Sivia menutup mata mereka, tak sanggup melihat
sahabatnya meregang nyawa di mata mereka sendiri.
Namun seorang dokter yang lain memberi isyarat dengan telunjuknya,
dokter tadi pun mengangguk, ia kembali menggosok alat itu satu sama
lain, dan langsung menempelkan kedua alat itu ke dada Alvin, hingga
sekali lagi, tubuhnya berguncang,
Tiiiiiiiiit tit tit tit….
Garis panjang itupun terputus oleh garis zigzag yang tiba-tiba muncul.
Dokter itu meletakkan kembali alatnya, tersenyum dan bernapas lega, ia
mengusap mukanya yang penuh dengan keringat, begitu pun dengan Shilla
dkk, mereka bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena mereka tidak
jadi melihat sahabat mereka pergi begitu saja di depan mata mereka.
“Kak Alvin gimana, Kak?” Tanya Aren yang baru saja muncul bersama Rio
“Hampir aja, Ren!” kata Shilla yang masih belum bisa menghentikan air matanya
“Ngapain lo kesini?” teriak Rikko yang melihat Rio di samping Aren
“Stop Rikko! Lo niat bunuh Alvin? Dia bisa kena serangan jantung liat
lo emosional gini!” kata Obiet mulai kesel.
“Maaf, yang namanya Mario, Alvin dari tadi memanggil nama anda” kata
dokter yang keluar dari ICU. “Dia sudah sadar, tapi jangan mengajaknya
bicara terlalu lama” peringat dokter itu
Setelah mengganti bajunya dengan baju ICU Rio melangkah masuk. Hatinya
miris melihat Alvin terbaring di sana walau Al tersenyum lemah saat
melihat dirinya
“Gue minta maaf Al!” kata Rio pelan
“Lfo ghak shalah kok” kata alvin pelan, suaranya tak terdengar begitu
jelas karena ada selang yang menyumpal mulutnya
“Kenapa lo nyebut nama gue?” Tanya Rio
“Karfna..huk..huk..” Alvin mengerjapkan matanya, tangan kanannya
memencet-mencet alat pemanggil dokter. Rio yang melihat itu langsung
keluar dan berteriak
“Dok, Dokter!”
Beberapa dokter langsung masuk dan kemudian menyuruh Rio keluar.
Teman-temannya langsung menyerbunya
“Yo, Al kenapa?” Tanya Ify, Rio menggeleng
“Lo apain lagi Al?” Rikko emosi
“Belum puas lo bikin Al hampir mati?” tambah cakka.
Agni dan Shilla segera nenangin mereka berdua.
Cakka menghela nafas berat
“Oke, gue khilaf”
Iel menunduk lesu dan memutar kursi rodanya menghadap ke jendela, udah
nggak ada lagi Gabriel yang dewasa, ia merasa seperti anak kecil yang
akan kehilangan sosok kakak yang akan melindunginya, ia menitikkan air
mata melihat sosok tubuh itu terguncang berkali-kali, naik dan turun.
‘Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit.....’
Mata Gabriel melotot melihat garis lurus itu, para dokter mengusap
wajah mereka, berucap Inalillahi.. Salah satu dari mereka menutup mata
sosok itu, ia mengguanakan lap steril untuk mengelap bercak darah yang
berhamburan disekitar mulut dan leher Alvin.
Setelah itu, dokter pun menutup wajah Alvin dengan kain putih, sivia
menutup matanya, air mata menetes mengaliri pipinya, Gabriel pun
begitu, ia tak sanggup melihat sosok yang sudah dia anggap sebagai
kakak itu meregang nyawa di depan matanya sendiri. Dokter keluar dari
ICU, ia menatap mata sahabat – sahabat Alvin satu persatu.
“kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi tuhan berkehendak lain,
pembuluh aortanya pecah, dan…maaf saya harus kembali ke kantor saya”.
“Kak…Al…Vin” Aren melangkah pelan mendekati Alvin yang sudah tidak
bernyawa diikuti teman-temannya. Aren membuka selimut yang menutupi
wajah Alvin.
BRUKK tiba-tiba Aren limbung, tapi berhasil di tangkap Rio.
Wajah putih Alvin terlihat snagat amat pucat, bibirnya yang merah kini
menjadi pucat masih dengan beberapa bercak darah yang menghiasi bantal
dan seprai, semua alat-alat telah di cabut, Gabriel tidak tahan
melihatnya, mereka semua larut dalam kesedihan yang begitu dalam,
terutama Rio, ia tak menyangka, kebodohannya telah membunuh sahabatnya
sendiri, tanpa sadar ia mengantuk-antukan kepalanya ke dinding.
Dugg, dug, dugg
“Rio…stop!” Ify menjauhkan Rio dari dinding.
“Ini salah gue Fy! SALAH GUE! Kalau aja gue bisa ngontrol emosi gue,
Alvin nggak bakal meninggal Fy, nggak bakalan!” teriak Rio gak tahan.
Rikko mengangkat kerah baju Rio.
“Percuma Yo! Lo tuh udah ngebunuh Alvin! PERCUMA!” rikko menghempaskan
Rio begitu saja.
Semua keluar dari ruangan itu kecuali Rio dan raga tak bernyawa Alvin.
Rio berlutut di depan ranjang itu. Perlahan air matanya menetes,
penyesalan yang begitu dalam menghampirinya.
“Gu…gue mau minta maaf Vin…gue salah…gue nggak bisa ngontrol emosi
gue…gue bego nggak percaya sama lo, gue…” Rio menghentikan omongannya
untuk menarik nafas.
“Gue janji Vin, gue janji bakal jagain Aren, samapi dia bisa dapetin
cowok yang bisa gantiin lo di hati dia…dan andai lo masih hidup Vin,
gue pengen lo tau, gue tenang kalau Aren sama lo, walau memang emosi
gue gak bisa terkontrol”
“Fuuh, ternyata emang bener ya? Manusia itu emang nyeselnya pas akhir
cerita mulu Hahaha” kata seseorang. Rio menengadahkan wajahnya, lalu
mengucek-ngucek matanya tak percaya, ia menunjuk-menunjuk sosok yang
tengah duduk di atas ranjang Alvin itu hingga jatuh terduduk
“Lo! Lo hantu? Tolong!” teriak Rio sambil mundur-mundur. Suara rio
yang cukup besar membuat orang orang di luar ICU itu mendekat
Semua orang berhamburan masuk dan menatap sosok itu tak percaya.
“Lo? Kok, kok lo?” kata Iel menunujuk-nunjuk sosok itu.
“hai, apa kabar?” kata orang itu melambai-lambaikan tangannya.
“Al! lo Alvin? Atau hantu Alvin?” Kata Rikko. gagap
“Gue Alvin lah” kata Alvin sambil melambai-lambaikan sapu tangan yang
tadi menutupi wajahnya.
“kok bisa?”
“happy birthday Rio! happy birthday Rio! happy birthday, happy
birthday, happy birthday Rio! Hahaha, kena lo gue kerjain” ledek Cakka
yang masuk dengan membawa kue bertuliskan SELAMAT ULANG TAHUN, Aren
yang baru datang langsung memeluk Rio yang masih bingung.
“Happy Birthday kak, Love u Forever” kata Aren
“Aren selingkuh” Kata Alvin tiba – tiba. Aren tersenyum dan berkata
“ You’ll always my best love”
“Hah?!” Rio lemas
“Jadi ini semua Cuma mau ngerjain Rio? Kok gue nggak dikasih tahu?”
Iel protes diikuti anggukan Ify, Shilla, Rikko, Via, Obiet, Oik
“Sejak kapan nih?” Tanya Rio sambil menahan air mata senang + haru
“Ee ini idenya Al, kita gak ngasih tau biar kalian lebih natural aja
hahaha” cakka tertawa
“Ya jadi waktu Cakka mergoki Aren meluk gue, eh jangan panas Yo ada
alesannye. Aren langsung ngejar Cakka dan jelasin semuanya, karena
Cakka ngejekin gue sama Aren terus, gue kepikiran buat ngebungkam tu
anak dengan rencana gue hehehe”
“Jadi lo beneran pelukan sama Aren?” Tanya Iel
“Apaseeh, itu juga gara-gara gue sakit, wuu”
Alvin melempar saputangannya pada Iel
“Jeeh bercanda juge” kata iel sok kesel
“ sebenernya gue bingung, si shilla kan calon dokter, masa dia enggak
bingung sih sama penjelasan dokternya? Padahal jelas banget
penjelasannya itu ngawur” kata alvin sambil ngakak
“yeee gue kan enggak kepikiran lagi sama itu, lo tuh aktingnya bagus
banget!” kata shilla kesal
“Jadi? Lo juga bohong soal penyakit lo?” Tanya Iel lagi
“Ya nggak sepenuhnya bohong, gue emang kena leukemia, gue emang punya
elje dari bayi. Dan kemaren gue emang drop di depan rumah Aren”
“Leuk?” Tanya yang lain
“Bukannya udah tahu? Eits jangan nangisin gue lagi ya, gue udah
operasi cangkok sumsum tulang kemaren” kata Al
“Kemaren?”
“Iya, yang gue ngilang itu loh”
“Jadi, bukan Rio yang gebukin lo?”
“Hahahaha, bukan lah! Mana bisa dia gebukin gue” kata alvin yang masih
ngakak, lantaran keliatan banget tampang rio udah nunjukin tampang
super kesel
“Tuh kan, pada nggak percaya sama gue sih! Lo juga Ko, main bogem gue
aja!” kata Rio sambil mengelus-elus perutnya yang tadi kena bogem
mentah dari Rikko.
Rikko nyengir
“Eh elu main bogem aje, sakit nggak Yo?” Tanya Alvin
“Ya sakit lah! Bego lo” kata Rio
“Ah tau lo, sakitan gue tau nggak! Bogeman lo beneran kena goblok! Lo
mukulnya udah kayak orang kesetanan dasar bego! Untung pembuluh darah
gue nggak beneran pecah, gue bisa mati!” kata Alvin sambil menahan
marah nggak jelas
“Oh itu salah lo! Kenapa ngerencanain yang aneh-aneh!”
“Yee ini kan buat lo juga! Dada gue ampek senek nggak bisa napas
gara-gara bogeman lo!”
“Yee gue ampek mundar gara-gara Rikko”
“Itu mah derita lo!”
“Ya udah, itu derita lo juga!”
Alvin turun dari ranjang lalu mengambil ancang-ancang nonjok
“”Lo tuh ya!”
“Apa?apa? mau nonjok?” Tanya Rio siap-siap
“KAK RIO! KAK ALVIN! APA-APAAN SIH KAYA ANAK KECIL TAU NGGAK! APA-APA
BERANTEM” marah Aren
“Siapa yang berantem?” Tanya Rio
“Ih, kamu sotoy” kata Alvin lalu merangkul Rio
“kita kan bercanda, week” Rio dan Alvin berlari menghindari Aren yang
kesal gara-gara dikerjain.
-TAMAT-
Another End Of Fearless Of Love part 1
Randoman gue bareng Rizky Putri Utami nih!
Diangkat dari FEARLESS OF LOVE nya kak Anindhiya Putri
kalo bingung sama awalnya baca dulu FOL :)
Check this out
Another End Of Fearless Of Love (fearless of death :p)
”Terserah lo mau bilang gue egois atau apa, terserah lo mau pukul gue sampek gue koma juga nggak apa-apa, tapi apa lo lupa Cak? Gue satu-satunya yang pernah kehilangan disini!” kata Alvin lirih
“Maafin gue vin, gue ga bermaksud ….. Tapi harusnya lu share sama kita-kita. Jangan simpen semuanya sendiri!”
“Hah, gue Cuma berusaha sekuat tenaga biar kalian nggak perlu takut dan ngrasain sakitnya kehilangan, terlebih dia, sahabat kita sendiri!” peringat Alvin pelan
“Lo salah, Vin! Dengan loo ngerahasiain ini semua, itu malah bisa bikin kita ngerasa jadi sahabat yang nggak berguna!” kilah rikko
“Gabriel Stevent Damanik,….. ya dia yang minta gue ngerahasiain ini!”
“Apa maunya si Iel? Apa dia nggak mikirin perasaan kita? Nggak kasihan sama Via?” kata rikko lagi
“Dia Cuma nggak mau kalian—”
BRUKK
“Alvin..! Vin, lu kenapa? Vin, bangun!”
“Kayaknya kita harus gotong Al masuk, dia pingsan!” kata Obiet lalu berdua dengan Riko berusaha membawa Al masuk, meninggalkan Cakka yang masih berdiri terdiam ditengah hujan. Cakka tersadar saat tanngan rikko kembali dan menyentuh pundaknya
“Kka, masuk yuk! Gue khawatir sama Al!”
*****
“Apa? Lemah jantung? Sejak kapan dok?” Tanya obiet panik. Dokter itu menghela nafas berat
“Tiga tahun yang lalu!” Cakka tertegun, nafasnya serasa inginberhenti. Semuanya sudah di luar kendalu.
“Apa yang mereka berdua pikirin sih?” obiet menggumam.
Dua sahabat mereka diambang kematian, manusia mana yang sanggupmenghadapinya? Agni dan yang lain dating menghampiri Cakka cs yang duduk tertunduk di ruang tunggu.
“Al mana?” Semua diam, tak ada satupun kata yang bisa keluar dari kerongkongan mereka. Hanya tangan Obiet. Tangan itu menunjuk ke sebuah pintu yang dibaliknya terbaring sahabat mereka, Alvin.
Rasanya seperti ada yang menusuk jantung mereka begitu dalam, mata Shilla tak lepas dari dictator jantung yang bergerak sangat lambat itu, baru saja dia mencoba menghapus air mata melihat benda itu menyentuh kulit Gabriel, kini, benda itu benda itu menempel lekat ke tubuh sahabatnya yang lain, Alvin.
Cakka yang masih shock memperhatikan gerakan kecil dari tangan Alvin. Dia langsung menghampiri tempat tidur Alvin.
“ Al, lu udah sadar? Maafin gue, Al, gue nggak tau kalau semuanya bakal jadi kayak gini!”
Mata Alvin berputar menatap mereka yang melihatnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
“Gue ketahuan juga ya?” tanyanya, lalu tersenyum lemah. “ Iel udah sadar?” lanjutnya
“Cengar cengir, lu pikir ini lucu?! Iel udahh stabil, tadi udah stadar, trus skarang malah tidur dia!” terlihat kelegaan di wajah Siviia
“Dan kenapa lo sembunyiin ini dari kita?” Tanya Rikko.
Alvin membuka selang Oksigennya. “karna gue tau, kalian nggak akan ngijinin gue main bola lagi!” jawab Alvin santai
“Lo gila, Vin! Ortu lo tau lu sakit?” Tanya Cakka
“Papa? Hahaha bercanda lo, Ka? Mama tau kali, dia liat gue ngenes gini dari surge!” Cakka menutup mulutnya, begonya dia!
Alvin mencabut diktator jantungnya, lalu mengenakan seragamnya lagi, diirringi tatapan heran bercampur marah oleh yang lain.
“Kalau gue nggak pake baju ntar gue masuk angin, udah ya, gue mau pulang. Mau ganti baju ntar kalo sempet gue balik lagi!” kata Alvin
*Siput mulai kumat saikonya, harap maklum kalau abis ini ngelantur banget*
“Vin, lu bener-bener nggak waras. Sakit lo! Sadar nggak sih kita khawatir sama lo! Eh lunya malah kayak gini!” Kata rio (anggep aje udah ade di fol 1 udah keburu keketik sih :P) kesel setengah marah
“Kunci mobil gue mana?” Tanya Al tanpa menghiraukan pertanyaan Rio, karena nggak di respon Al bilang “kalo kalian enggak mau ngasih kunci mobil, gue naik ojek nih”
“Lari aja sekalian biar langsung mati!” Via mulai nggondok
“Oke” Alvin bener-bener keluar dari kamar itu dan meninggalkan mereka disana. Sambil memegang dada kirinya ia tetap berusaha pergi dari tempat laknat itu, well kekuatan manusia ada batasnya, tepat saat ia menemukan sebuah taxi dia masuk dan limbung didalamnya. “Jalan Kelingi, pak!” kata Alvin dengan napas terengah-engah.
“Hoi, Al!” Ria berusaha mengejar Alvin, tapi terlambat Alvin sudah masuk taxi
“Alvin mana, Yo? Cakka, Via cs nyusul
“Dia beneran balik!” Kata Rio panic.
“Duh, salah gue! Gimana dong?” kata via ikutan panic.
“Biar gue yang bawa mobil Al, Yo lo bawa motor gue ya!” kata Cakka
“Oke, kita susulin Al ini?! Trus, yang jaga Iel siapa?”
“Yang cewek aja!” kata Obet, dan kemudian letsgo
“Di dalam taxi Alvin terus menekan dada kirinya. ‘Sial, sakit banget sih’ batin Al.
“Mas nggak apa-apa?” Tanya supir taxi
“U..udah mas jalan aja!” kata Alvin tetap berusaha mengabaikan sakitnya
@RS
Gabriel mulai bangun. Matanya berkeliling ke setiap sudut ruangan. Bersamaan dengan itu cewek-cewek masuk.
“ Lu udah bangun, Yel?” kata Via sambil mendekat ke ranjang Iel. Iel mengangguk kemudian balik bertanya
“Mana cowok-cowok?”
“ngejar Alvin!” kata Oik akhirnya setelah beberapa menit terdiam.
“Al? kenapa dia?” Tanya Iel.
“Dia…” Oik pun menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, kecuali penyakit Alvin.
****
“rrgh…” Alvin mengerang, rasa sakit itu muncul bertubi-tubi jelas membuat si supir jadi takut.
“Kita puter balik ke RS ya, mas?” kata supir itu parno.
“jangan!” kata Alvin dengan suara melemah.
“tok.. tok..” si supir menengok ke kaca pintunya dan ternyata ada sebuah motor yang berjalan beriringan dengan taksinya. Tampang Rio yang lagi marah bikin si supir mikir kalau dia lagi ngebawa seorang anak yang baru lolos dari penculikan, ya jadi dia ngebutin mobilnya.
“Eh, dasar supir taksi sialan! Ngajak rebut dia?” Rio menambah kecepatan motornya. ‘udah kayak dikejar setan aja si Rio’ batin Cakka yang ngikut di belakang pake mobil Alvin. Dia juga mulai menambah speednya
“Woi, berhenti lo! Temen gue sekarat! Lo nggak liat!” teriak Rio sambil tetap mukul-mukulin kaca pintu taxi itu
*untunggnya polisi nggak dibayar ekstra buat nilang orang yang nglanggar lewat sms -,-* .
Supir itu dengan lola mikir “Temen ya? Berenti dong!”
Supir taxi kemudian meminggirkan taxinya.
”ken..hh..napa berhenti..hh?” kata Alvin sambil terus meremas dadanya
“Itu ada temennya mas!” kata supirnya takut ngeliat Riko dan Rio yang turun dari motornya.
“ JALAN PAK!” teriak Alvin dengan sisa tenaganya, reflek supirnya menginnjak gas dan ngeeng, asap mengepul di depan muka RikoRio
“Eh, sh*t.. sialan banget tu sopir!” RioRiko langsung balik ke motor, sementara Cakka masih setia ngikutin si pak Taxi
Saking semangatnya nginjek gas, mobil langsung melunjak dan berjalan dengan kecepatan tinggi. Tanpa disadari si supir, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melaju dari arah berlawanan
“WAAAAAA…..” si supir berteriak, ia membanting stir mobil menabrak pembatas jalan.
“PAK, KELUAR! Mobilnya nanti meledak!” kata Alvin
*Putri mulai lagi*
Dengan cepat pak supir keluar, Alvin yang sedikit limbung juga berusaha untuk keluar. Namun sialnya Alvin yang keluar dari pintu kiri yang menabrak pembetas jalanjatuh ke jurang yang berada di balik pembatas jalan itu. Alvin yang hampir jatuh, berusaha berpegangan pada batu yang cukup menonjol. Tapi sialnya tenaganya sudah terkuras habis oleh rasa sakit di tubuhnya. Saat Alvin mulai pasrah ada tangan yang tiba-tiba meraih lengannya dan membentunya naik. Dengan susah payah Cakka menarik tangan Alvin, kesadaran Alvin yang makin menipis ditambah lagi dengan rasa sakit yang masih menusuk membuat Alvin kehilangan tenagannya. Begitu Alvin berhasil diangkat Rio cs membantu cakka membawa Alvin ke mobil
*pak taxi dicuekin*
kemudian bergegas membawanya ke RS.
*gue berusaha nyelametin lo dari si Siput, Vin*
*Nggak asik ni kak Janie :p*
*wkwkwkwk gwe menang :D*
“Bukannya hh kalian hh mau hh gue mati?!” Tanya Alvin bingung, kali ini dia diimpit oleh rio dan obiet supaya nggak kabur, sementara riko naek mottornye cakka.
“Bego, mana ada sahabat yang mau sahabatnya sendiri mati?!” kata cakka sambil nyetir.
“Kita khawatir tau. Kalau lu mati siapa yang bakal nyumbang piala-piala juara ke sekolah kita” kata Rio sedikit emosi.
“Lucu..” respon Alvin pelan. Tanpa disadari dua sungai merah kecil mengalir dari hidung Alvin, Cakka yang melihat itu dari spion tambah panic begitu Alvin menuttup mata.
“Eh Yo, Biet, tuh si Al knapa?” Cakka panic
Tanpa basa-basi Cakka langsung tancap gas menuju RS
@RS
Alvin segera ditangani dokter. Sementara Cakka, Rio, Obiet, Riko harap-harap cemas di luar.
“Rrrt..rrt..” hp Rio bergetar.
“Hallo.. oh, kita udah ada di RS.. dia lagi ditanganin.. Iel sadar? Oke, kita kesana”. Rio mengakhiri . “Bro, Iel sadar!” kata Rio.
“Kalian kesana duluan, gue nungguin Alvin disini! Ntar kita gentian!” kata cakka diikuti anggukan dari teman-temannya
“Alnya gimana?” Tanya Iel begitu Rio cs dateng.
“Al masih ditangani dokter, tu anak nekat sih!” kata Rio.
“Bukannya memang itu gitu, udah gue bilang jangan dilawan” kata Iel dengan nada tidak setuju. “Gue mau liat dia!”
“Tapi Yel..” Via khawatir.
“Udah Via, gue nggak papa!” Gabriel tetep maksa.
“JAngan nekat, gue panggil dokter dulu!”
Atas izin dokter. Gabriel boleh keluar kamar. Alvin telah dipindah ke ICU, keadaannya benar-benar gawat. Mereka memutuskan Iel dan Via yang menjenguk duluan. Gabriel awalnya begitu semangat pengen ketemu Alvin, setelah melihat keadaan Alvin dia menjadi tidak tega. Bahkan Sivia pun sampai nangis nyesek di pelukan Iel.
“Gue kecewa sama lo, Vin, lo munafik! Kenapa lo nggak bilang soal keadaan lo? Gue bener-bener kecewa, tapi gue tetep pengen lo sembuhVin, inget janji lo!”
“Vin, bangun dong. Tanpa ada lo anak-anak jadi nggak semangat tuh! Bentar lagi masuk sekolah, Vin. Guru-guru pasti pada nggak semangat ngajar tanpa lo!”
Lima hari berlalu, keadaan Iel semakin membaik, bahkan terapi yang dilakukan berjalan dengan sangat lancer, namun kondisi ini bernbanding terbalik dengan Alvin, keadaannya tidak setabil dan bertambah buruk. Lima hari juga Aren selalu setia menemani Alvin, meskipun ia bukan siapa-siapa Alvin, tapi ia tetap selalu mengunjungi Alvin.
“Kak Alvin bangun dong, ini Aren kak.. kak Alvin, memang Aren bukan siapa-siapanya kakak, tapi Aren sayang kakak, Aren cinta kakak. Kasih Aren kesempatan buat buktiin itu semua!”
“Ren, udahlah Al juga pasti sedih lihat lo kayak gini, lo istirahat dulu lah, dari kemaren lo di sini terus” kata Rio
*inget FOL yang ke 2? Disini Rio jadi kakak tirinya Aren*
“Tapi Aren mau jagain kak Alvin!”
****
@RS
“Kapan sih gue dah boleh pulang? Bosen disini, kerjaannya disuruh tidur, makan! Mending boleh keluar, jagain Al aja nggak boleh!” Iel ngedumel
“Ada saatnya, Yel. Terapi kamu tinggal 2 minggu lagi, tahan ya!” kata Sivia
“Gue udah nggak betah, Via! Gue pengen nemenin Alvin!”
Sivia menatap Gabriel bingung “Yel, kalo Al sembuh dan lihat lo nggak sembuh-sembuh, dia bisa bantai kita semua!”
“Ya udah deh, terserah kamu aja, Vi! Gue boleh maen ke kamar Al nggak?”
“Ngapain? Ada Aren disana, Yel!”
“Gue kasihan sama Aren, Udah beberapa hari dia terus jagain Alvin terus!”
“Dan dengan gitu lo nggak kasian sama diri lo sendiri? Jangan gini lagi dong, Yel! Kita udah bahas ini dari kemaren!”
“Ya udah, terserah. Trus skarang gue harus ngapain?”
“Kamu tidur aja, istirahat Yel, aku mau check Aren, takut dia sakit kayak kemaren gara-gara nggak makan!”
“Heuh” Iel mendengus pelan. Sivia tersenyum meledek lalu pergi ke ruangan Alvin.
“Assalamualaikum!” katta Sivia sembari mengetuk pintu ICU
“Waalaikumsalam, eh kak Via! Masuk kak!”
“gimana Al?” Tanya sivi, lalu duduk di samping Aren, mata Sivia tak berpindah menatap kearah wajah putih pucat Alvin. Wajah yang dulunya s3elalu membantunya dari belakang.
“Masih sama, kak! Naik turun terus.Gue takut banget, kak! Takut kak Alvin nggak akan bangun lagi!”
“Aren, yang sabar ya! Alvin kuat kok, buktinya dia selalu bisa bawain kita piala kan?! Itu artinya dia bener-bener ngerti sakitnya, dan dia bisa ngeredam itu!”
“Tapi kak, Aren takut!”
“jangan perrnah takut, Ren, Karena Alvin nggak pernah takut sama kematian, yang penting kamu doa’in Alvin, sugest dia, dia pasti sembuh!”
Aren menngangguk “Kak Iel gimana, Kak?”
“He’s better, don’t worried bout his condition, okey I think I must back, before Gabriel came in, jaga Al ya!” kata Sivia lalu tersenyum
Setelah mengantar Sivia keluar, Aren mendekat ke tempat tidur Alvin lagi. Aren menggenggam tangan Alvin
“Kak,, bangun dong! Nggak capek tidur terus?”
Satu gerakan kecil Alvin membuat Aren terkejut, jari yang terjepit infuse itu bergerak perlahan, antara rasa haru, senang, bahagia dia berlarikeluar dengan semangat memanggil dokter yang lewat.
“Dokter, dokter.. kak Alvin sadar!”
Dokter segera masuk memeriksa keadaan Alvin. Aren hanya bisa menunggu di luar.
Aren masuk ke dalam begitu dokter selesai menjelaskan,
“keadaan Alvin sudah membaik, tapi kondisinya masih sangat lemah, jadi tetap buat dia selalu istirahat!”
***
Setelah mengantar dokter keluar, Aren menghampiri Alvin.
“KakAlvin gimana keadaannya? Udah baikan?”
“Always fine” kata Alvin lalu ia lanjutkan dalam hati ‘for you’. “Yang lain mana?” lanjutnya.
“sekolah lah kak! Kak Riko nggak mungkin ninggalin acara sekolah!”
“Gabriel gimana? Udah sehat? Apa malah udah pulang?”
“kak Gabriel masih harus terapi kak!”
“Ren, gue pengen makan sate!” pinta Alvin. Tiba tiba
“Kak Alvin bercanda? Sate nggak baik buat jantung kakak!” kata Aren
Alvin beranjak dari tempat tidurnya mencoba untuk duduk. Tubuhnya terasa kaku. “gue koma berapa hari?” Tanya Alvin sambil merenggangkan tubuhnya
“19 hari kak! Eh kak, tuh infuse jangan dilepas!” kata Aren yang melihat Alvin hendak melepas infuse yang menjepit tangannya.
“Mangkanya beliin sate, kalo nggak mau beneran gue lepas ni infuse!” ancam Alvin
“Yaudah, tunggu bentar gue panggil dokter buat nanya dulu!”aren berlalu,
didepan pintu dia bertabrakan dengan seseorang
“Aww..” rintih Aren.
“Aren? Alvin gimana?” Tanya orang itu setelah melihat Aren
“Kak Al di dalem, udah sadar! Udah dulu ya kak!”
“Ren,.. Aren. Mau kemana?” teriak Cakka, tapi tampaknya Aren tak mendengarnya. “Dasar, mau kemana sih buru-buru banget!” Cakka ngedumel gj sambil memasuki kamar Al.
“ngapain lu ngommel sendiri?” Tanya Al.
“Itu calon cewek lo mau kemana?” Alvin mengedikkan bahunya.
“bagus deh, kaloo lu dah sembuh, kita nggak harus bujuk-bujuk Iel buat nggak keluar kamar terus, dan emm gue minta maaf soal waktu itu” kata cakka lalu menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal.
”No prob, lupain aja” kata Alvin santai.
“elo nggal bakalan nekat lagi kan Vin?” “nggak janji!”
“Vin!” bentak cakka.
“Iye, iye, nggak pake otot kali Cak!”
“Abis lu sih, gue Tanya beneran malah gitu jawabnya! Lo taukan kita semua khawatir setengah mati!”
“gatau lah, gue kan matisuri bego ya lo!” kata Alvin asal
“Al, jangan ngomong aneh-aneh! Ngeri gue!”
“Gue nggak aneh-aneh, gue emang matisuri kan! Coba alat-alat bantu itu dilepas, gue udah nggak ada kali!” kata Alvin
“AL! GUE NGGAK SUKA DENGER OMONGAN LO!” teriak seseorang yang berdiri di depan pintu. Iel yang duduk di kursi roda di bantu Via tiba-tiba nongol dari balik pintu
“Iel, ngapain lu kesini? Bukannya istirahat malah maen!” kata Alvin sok kesel
“Udah gue larang tadi, Vin! Tapi dia ngotot pengen liat lo!”
‘Anjir! Sial banget gue!’ batin Alvin
“Gue nggak suka ya denger omongan lo!” ulang Iel
“Oh, terus?”
“Lo tuh nggak pernah berubah ya?”
“Emang!”
“tok tok tok..”
Aren bersama dokter masuk ke dalam kamar Alvin
“Tuh dok, kak Al ngeyel pengen sate!”
“Alvin, sate itu nggak baik buat jantung kamu! Kalau pengen cepet sembuh kamu harus bisa nahan nafsu kamu, jangan makan sembarangan, terutama yang berkolesterol!” jelas dokter panjang x lebar
“Tuh kan, Kak Alvin ngeyel sih!”
“Hah, baru tau ayam nggak baik buat jantung!” kata Cakka heran.
“bukan ayamnya tapi prosesnya, pembakarannya nggak baik buat penderita kanker kayak Al!” jelas si dokter
“Kanker?” Tanya yang lain bingung
“bukannya kata dokter kemarin Al Cuma Elje?” Tanya Sivia. Al member isyarat agar dokter tetap bohong
“Oh iya, boleh deh!” kata dokter itu terpaksa lalu berbisik pada Al. “saya tidak bertanggung jawab kalau kamu makin parah!” Al tersenyum seraya mengiyakan.
“Fear of death is worse than death it self” kata Al begitu dokter itu sampai di pintu
****
Satu minggu berlalu, semua sudah kembali ke sekolah, kecuali Gabriel yang masih harus menjalani terapi. Alvin sudah kembali menjadi kapten sepak bola, tentu saja dengan pengawasan berlebih dari Aren
“Udah deh kak, ini udah jam setengah enam, udah lewat dari jadwal latihan, balik yuk!” ajak Aren
“ Nggak ah, males!”
“kak, jangan maksain diri! Inget, badan lo itu rapuh banget! Sakit kakak bisa kambuh kapan pun! Aku nggak mau kakak sakit lagi!”
“bentar lagi! Lo jadi tambah cerewet, Ren!”
“Oke, kalau kakak nggak mau berhenti aren pulang sendiri!”
“Oke! Fine! Kita pulang!”
di mobil Al hanya diam dan focus ke jalanan
“kakak marah ya?”
“nggak” “kok diem?”
“suka-suka gue!”
“oh gitu ya!”
“Kak, aku…. Ah nggak jadi” Aren menarik nafas berat
“sampek, cepet turun!”
“nggak mampir kak?”
“nggak!” “inget sampek rumah istirahat, makan terus minum obat!”
“hmmm” Alvin langsung tancap gas. Aren Cuma bisa geleng-geleng ‘cueknya kumat ni anak’ batin Aren
****
Bosen, bosen! Gabriel seakan pengen ngebuang semua barang si kamar rawatnya, 3 minggu sudah dia disana, bosen jelas menjeratnya.
“Tok tok..”
“masuk!” kata Gabriel nggak niat
“jalan yuk!” ajak orang yang baru muncul itu.
“nggak mau, Vin, ntar gue kena marah!” kata Gabriel sok nggak mau
“Ah, udahlah! Gue udah ijin sama dokternye” kata Alvin
“Oh.. ini gimana?” kata Gabriel nunjuk kepalanya yang botak
“Pluk”
Alvin melemparkan topi kupluk.
Gabriel tersenyum seraya berkata “you’re my best Bro!”
***
“jalan kemana, Vin?” Alvin tetap focus nyetir
“Ah, gue bosen, Vin! Lu diem mulu. Kan tadi lo yang ngajak gue keluar!”
“Hah, lu Tanya apa yel? Gue nggak denger, konsen nyetir soalnya!”
“Kita mau kemana Mr. CUEK?”
“terserah lu lah, lu maunya kemana?”
“ liat sunset yuk!”
“ciiiit”
Alvin ngerem mobilnya tiba-tiba
“anjir lu, Pin! Kalo kepala gue keantuk, mati dibantai lu!”
“sorry, abis lo tadi ngomong kayak cewek tau nggak! Enek gue!”
“udah, mau kagak?”
“iya, gue anterin!”
***
“Wah, lama nggak keluar! Anginnya seger banget! Eh Al, gimana caranya lu bisa bujuk dokter? Gue aja kagak berhasil loh!”
“Rahasia perusahaan, Yel!”
“Al, jangan sok misterius ah!”
“Ya ada lah caranya, lo mau tau aja! Udah nikmatin aja sunsetnye!” kata Alvin lalu duduk di hamparan pasir yang tidak terkena air pantai.
Gabriell mengedikkan bahunya. Sahabatnya yang satu ini memang selalu bisa membuat orang sekitarnya bahagia.
Sedangkan Alvin hanya tersenyum melihat Gabriel yang asik main air
“Kayak anak kecil lo!”
“Biarin! Sini, ikutan main!” Iel sedikit menciprat-cipratkan air kea rah Alvin
“nggak, gue nggak kayak lo! Dasar CHILDISH!”
“Hoi, Mr. CUEK, sekali-kali nggak papa kali!”
“childish!”
”Mr. cuek!”
“childish!”
”Mr. cuek!”
“childish!”
”Mr. cuek!”
“childish!”
”Mr. cuek!”
“Gilaaaa!” teriak mereka bareng, mereka lalu tertawa bersama.
Namun tiba-tiba terjadi perubahan air muka di wajah Alvin
“Lo nggak papa kan?” Tanya iel panik
“kayaknya kita mesti balik deh!
“Lo, nggak papa Vin?”
“Nggak papa kok! Tadi gue Cuma ijin ngajakin lo bentar doing!”
“yah, padahal gue belum puas!”
“Hahahaha, nggak usah ditekuk gitu kali! Dasar Childish!” Alvin berjalan menuju mobilnya, kemudian diikuti Gabriel
Gabriel bingung melihat Alvin yang berhenti di depan mobilnya
“Lo aja yang bawa mobil, gue ngantuk!” kata Alvin dan menyerahkan kunci ke Gabriel. Lagi-lagi Gabriel mengedikkan bahunya tanda bingung.
Alvin masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi sebelah penumpang. Ia menurunkan sandarannya dan mencoba mencerna rasa sakit yang muncul di dada kirinya, berusaha menetralkan rasa sakit itu. Sedang Gabriel berusaha focus dan tidak berpikir macam macam pada sahabatnya Al.
@RS
“Al, sampek nih!” tak ada sahutan dari Alvin “pules banget sih tidur lo! Vin..” tapi tetap tak ada reaksi
Alvin terbangun dari tidurnya, kepalanya pusing sekali.
“emm.. gue nginep ya, Yel!” kata Alvin yang baru bangun
“oma lo?”
“Ntar gue telpon, udah masuk ye, Via nggak nemenin lo kan male mini?”
“kayaknya kagak, katanya besok ada ulangan!”
“ya udah, male mini gue yang nemenin!”
“Vin, tapi lo beneran nggak papa kan?” Gabriel sedikit curiga lahat gelagat Alvin yang dari tadi seperti menahan sakit, wajahnya juga sayu, tampak pucat
“Nggak lah!”
“Greb”
Gabriel meraih tangan Alvin yang berjalan duluan di depannya. Tangan itu terasa begitu dingin. Genggaman tangan Iel membuatnya bisa merasakan denyut nadi Alvin yang melemah.
“Vin, lu beneran nggak papa? Jawab gue dong, tangan lo dingin banget! Jawab gue dong, Vin!” Gabriel semakin kuat menggenggam pergelangan tangan Alvin.
“Gue nggak papa! Apaan sih, lu lebay banget! Ini kan malem dan AC mobil gue dingin banget, wajar ajakan? Udah ah, gue ngantuk!”
Gabriel akhirnya mengalah, melepaskan tangan Alvin dan menyamakan langkahnya dengan Alvin. Sampai di kamar rawat Iel, Alvin langsung tepar di sofa. Iel hanya bisa geleng-geleng lihat sahabatnya itu.
****
“Pin, bangun mas! Lo nggak sekolah?” kata Gabriel yang baru selesai mandi
“iye, gue bangun! Rese abis lo, baru jam 5 juga!” kata Alvin sambil mengucek-ngucek matanya
Alvin segera bangkit dari sofa, tapi sial kepalanya terasa berdenyut lagi. Rasanya berat. Dengan sedikit terseok Alvin menuju kamar mandi. Gabriel semakin bingung melihatnya.
“Grompyang! Gdubrak! Brak! Bruk!”
Gabriel yang baru saja mau nyalain TV dikejutkan dengan suara-suara dari kamar mandi. Langsung saja Gabriel beranjak dan berusaha mendobrak pintunya
“BRAK!”
dan Gabriel pun menemukan Alvin yang jatuh telungkup dengan kepala yang bercucuran darah
“Alvin..!!” Gabriel langsung menghampiri Alvin. Diangkatnya kepala Alvin dan meletakkannya di pangkuannya.
“Vin, lo kenapa? Vin!” Alvin yang setengah sadar berusaha mengumpulkan kekuatannya
“Gu..gue nggak..pa..pa, Yel!”
“Nggak papa gimana?kepala lo berdarah, Vin! Lo kuat berdiri?” Alvin mengangguk, kemudian Iel membantu Alvin berdiri.
Namun Siput berkata lain *apadeh kak janieee!!*
Alvin kembali kehilangan keseimbangannya, dan tenaga Gabriel yang masih belom benar-benar kuat sukses membuat mereka berdua jatuh, dengan posisi Gabriel menimpa Alvin.
“Aduh..” rintih Gabriel
“Sorry Vin, gue belom kuat kayaknya. Gue panggil dokter aja ya!” Gabriel berusaha berdiri.
Namun tangan Alvin yang masih telungkup di lantai menggenggam erat pergelangan kaki Gabriel, membuatnya berhenti berjalan. Gabriel merasa ada yang mau Alvin katakan, namun saat ia menunduk, genggaman Alvin mengendur dan perlahan lepas begitu saja. Gabriel makin panic, dan langsung berlari keluar
“Dokter! Suster! Tolong!”
Dengan tergesa-gesa dokter Exel, dokter yang menangani Iel segera menuju kamar Iel
“ada apa Iel?” dia bingung melihat Iel
“Alvin, Alvin jatuh di kamar mandi!” Iel menunjuk Alvin yang masih terkapar di lantai. Dr. Exel terdiam melihat Alvin.
‘Alvin, bukankah dia..’ Dr. Exel mengacaukan pikirannya, dengan cepat ia berusaha mengangkat Alvin keluar dan membawanya ke UGD. Selama perjalanan ia terus memandangi wajah Alvin yang mirip dengan seseorang. Sementara Gabriel malah disuruh istirahat di kamar.
“gue nggak berguna banget, nolongin gitu aja nggak bisa. Padahal al slalu ngejagain gue. Alvin kenapa sih? Dari kemarin aneh, apa dia masih sakit? Dia sakit apa?” pertanyaan demi pertanyaan terus berputar memenuhi pikirannya
“rrt..rrtt…”
Gabriel mengangkat telphonenya yang bergetar
“Ya Yo?”
“ada Al di sana? Soalnya kita Tanya sama Oma katanya Al sama lo!”
“Adak ok!” kata Gabriel dengan suara tercekak
“mana? Gue mau ngomong soalnya, hpnya nggak aktip!”
“dia…”
“Yel, Al mana?” Tanya Rio lagi
“….”
Mulai timbul perasaan nggak enak pada Rio
“Yo, Al..”
“Al kenapa Yel?” perasaan Rio semakin nggak enak
“Al tadi…” Iel menceritakan kejadian tadi
“Hah? Trus sekarang dia gimana?”
“Gue nggak tau Yo! Gue dikurung ini! Tadi Alvin dibawa ke UGD!”
“bokapnya udah tau?”
“Nopenya sibuk dari tadi!”
“Ya udah, ntar pulang sekolah gue sama anak-anak langsung kesitu!”
****
“Ada apa yo?” Tanya Ify begitu memasuki kelas mereka
“Al.. di UGD” kata Rio nggak jelas
“hah? Alvin ke Uganda?” Tanya Rikko
“Alvin masuk UGD RS tempat Iel” kata Rio lagi
“Kenapa?” Tanya yang lain panic
“gue juga belum jelas!” kata rio
“Kita bolos aja!” ajak Obiet
“Biet, lu salah minum obat ya?” Tanya oik khawatir
“Ha?”
“muka lo nggak usah nodong gitu, Biet. Ya kita bingung aja elo yang notabene kalem malah ngajak bolos?” kata cakka
“oke, kita bolos? Yaudah sebelum masuk!”
“Kak aku boleh ikut kan?” kata suara di belakang mereka
“Aren?”
“Boleh! Banget!”
****
“Sus, gue boleh nungguin Al di depan UGD nggak? Plis!” udah ribuan kali Iel memelas
“Ya udah, tapi harus tetap pakai infuse. Trus inget waktu, kalau udah waktunya terapi harus kambali ke sini!”
“Yes, makasih, Sus. Gue balik tepat waktu!” Iel langsung semangat lari-larian nenteng infuse, ninggalin suster
“yel, jangan lari-lari!” teriakan suster tak dihiraukan
“Gedebuk”
Karena terlalu semangat berlari Iel sampek jatuh terjerembab, sebuah tangan yang memiliki jemari yang begitu cantik mengulur di depan mata Gabriel
“Via!” kata Gabriel sambil mendongak
“Lu nggak papa, Yel? Jangan lari-lari makanya!” kata Via membantu Iel berdiri
“Yel, Alvin gimana?”
“Rio, Cakka, Obiet, Riko, Aren!”
“Kak Iel gimana sih, ditanya malah ngabsen!”
“kalian bolos? Alvin, dokter belum keluar! Sebenarnya Alviin sakit apa sih? Kan nggak mungkin tiba-tiba gitu jatuh di kamar mandi!”
“Lemah jantung Yel!” jawab Cakka akhirnya
“Apa? Kok gue nggak tau?” Tanya Gabriel lalu ia menyenderkan dirinya ke dinding, perlahan merosot dan terduduk di lantai “Kenapa harus Al?”
“Yel, yang sabar!”
“Jadi waktu itu Alvin koma karena ini?!”
“Iya, Yel. Kita juga kaget banget waktu Al tiba-tiba blackout, trus dikasih tahu!”
“Tapi masak elje bisa berakibat kayak gini?” Obiet mulai menduga-duga
“Itu dia yang gue bingungin, waktu dia di taksi dia kelihatan kesakitan banget, padahal elje setau gue nggak selebay itu” jelas Rio
“Trus waktu balik ke RS dia sampek mimisan segala” Cakka nimbrung.
Gabriel masih terduduk sambil sesenggukan. Aneh memang seorang cowok nangis. Tapi ini memang terjadi. Membayangkan sahabat yang selalu membantunya kini terbaring lemah, menggantikan posisinya. Gabriel tak sanggup.
Dr. Exel keluar dari UGD
“Alvin keadaannya gimana dok?” Tanya Rio, di belakangnya muncullah Alvin dengan kepala diperban
“Kayaknya gue nggak sekolah lagi deh, Yel” kata Al sambil masih memainkan perban di kepalanya, dia udah kayak petarung nggak jadi. “Kalian! Kenapa di sini hah? Kalian nggak sekolah! Dasar bego! Mau gue gorok satu-satu?”
“Abis kita kawatir sama lo!”
“Hah, gue Cuma kepentok tadi.. nih lihat!”
“Iel bilang lu masuk UGD, jadi kita panik”
“Iel lu percaya! Dia itu lebay. Cuma gini doang!”
“gue takut banget tadi Vin, lu pucet banget, badan lu dingin, gimana nggak kuwatir coba!”
“dasar lu nya aja yang lebay!”
“udah-udah, ini rumah sakit! Iel, bentar lagi waktunya terapikan! Cepet siap-siap! Alvin tiduran aja dulu di kamar Iel!” Dr. Exel nengahin
“Ngapain kalian masih di sini? Balik ke sekolah sana, ini juga Aren ngapain ngikut?”
***
Setelah di usir balik mereka Cuma mojok di kantin RS, jamudah nunjukin time yang ga banget buat ke sekolah, kepalang banget buat masuk ntar juga disuruh balik
“Maafin Al ya Ren, dia nggak maksud apa-apa kok, dia emang gitu, dari kecil emang yang paling jarang diperhatiin, dia jadi ngerasa aneh karena kamu tiba-tiba di sana tadi” kata Via
“Aren nggak apa-apa kok kak! Udah sedikit terbiasa!”
“Skarang mau kemana nih kita?” Tanya Rio
“sekolah aja yo, gue nggak mau di gorok Al” Kata Cakka
“lewat mana?” Tanya aren bingung
“a secret way hahahaha”
“Okodi!”
***
“Al, lu yakin nggak papa?”
“gue capek dengerin lo dari tadi nanyain itu mulu!”
“tapikan gue beneran kuatir sama lo!”
“tadi lo denger sendiri kan Dr. exel bilang apa!”
“Iya, gue denger! Tapi gue ngrasa ada yang aneh dari lo, kayak ada sesuatu tau nggak?” kata Iel curiga
Alvin yang tengah makan chitato dan menonton TV menghentikan aktifitasnya, lalu menoleh ke Iel
“Apaan?”
“nggak tau, lo kayak nyembunyiin sesuatu!”
“Aneh lo!”
“Lo yang aneh!”
“Ah udah deh! Ngomongin lainnya!”
“Lu sama Aren gimana?”
“Aren? G-ga ada apa-apa” jawab al gelagapan
“Ah, bohong lo!”
“Suer deh!” kata Alvin sambil mengacungkan dua jari tengah dan telunjuknya
“tok tok tok”
“Masuk!”
“Hei, Gab gimana? Siap buat terapi?” Tanya Dr. Exel
“Eh, sekarang dok? Katanya ntar siang?”
“sekarang, nanti saya mau pergi soalnya. Emmm ini Al punya kamu three time for one day, inget!” kata dokter Exel sa,bil memberikan sebotol kecil obat yang berisi butiran pil. Gabriel melihat obat itu bingung ‘kok sama?’ batinnya.
Alvin membelalakkan matanya ‘buset ni dokter!gimana kalau Iel tau?’ batinnya.
“Eh dok, obat apaan itu?” Tanya Gbriel
“Ini? Sama kayk kamu lah!” kata dokter Exel
“Hah, kok bisa? Itukan buat.. jangan jangan? Al, lo ngebohongin kita ya?”
“Hah? Apa? Enggak, ini..” ‘aduh, dokter the kumaha atuh. Pake acara ngasih ginian di dini. Mati gue, Iel pasti tahu’ batin Alvin
“Vin, jujur sama gue dong!” kata Iel makin marah
“Eee… Itu gue..” Alvin gelagapan
“iel, udah waktunya terapi! Ayo, kamu harus siap-siap!”
“Bentar dok!’
“a…anu yel, lu terapi aja dulu! Ntar kalo telat bahaya!”
“awas kalo gue balik lo malah kabur!”
“nggak janji” kata Alvin pelan begitu Gabriel keluar Alvin langsung keluar juga, dia berlari meninggalkan RS dengan membewa kunci mobilnya, namun dia malah meninggalkan obatnya
<SKIP>
Sesudah terapi Iel kembali ke kamarnya dengan diantar suster yang mendorong kursi rodanya. Di sepanjang lorong RS firasatnya nggak enak. Bukan efek terapi, ntahlah, Iel sendiri nggak tahu penyebabnya.
Gabriel mendapati kamarnya telah kosong, ia memutar roda kursinya dan membiarkan suster itu berdiri di depan pintu. Gabriel menemukan secarik kertas di atas mejanya
“Gue balik, yel. Masalah yang tadi ntar gue jelasin, please jangan kasih tau yang lain”
“Udah gue duga, dasar tu anak emang sakit!” Iel bergumam
“sus, bisa bantu tiduran nggak?”
“Ayo mas!” kemudian suster membantu Iel naik ke kasurnya. “Mas Iel, obatnya kok masih penuh?” katanya sambil mengambil obat di atas meja iel
‘Haha? Perasaan obat gue tinggal setengah! Jangan-jangan itu obat Al!’
Gabriel menggenggam erat botol obat itu dia lalu membuka laci di sebelah bednya dan mengambil handphonenya. Langsung saja ia menelpon Alvin, sesuatu yang tidak seharusnya ia lakukan.
NB: Jangan tebak akhir critanya :P
Diangkat dari FEARLESS OF LOVE nya kak Anindhiya Putri
kalo bingung sama awalnya baca dulu FOL :)
Check this out
Another End Of Fearless Of Love (fearless of death :p)
”Terserah lo mau bilang gue egois atau apa, terserah lo mau pukul gue sampek gue koma juga nggak apa-apa, tapi apa lo lupa Cak? Gue satu-satunya yang pernah kehilangan disini!” kata Alvin lirih
“Maafin gue vin, gue ga bermaksud ….. Tapi harusnya lu share sama kita-kita. Jangan simpen semuanya sendiri!”
“Hah, gue Cuma berusaha sekuat tenaga biar kalian nggak perlu takut dan ngrasain sakitnya kehilangan, terlebih dia, sahabat kita sendiri!” peringat Alvin pelan
“Lo salah, Vin! Dengan loo ngerahasiain ini semua, itu malah bisa bikin kita ngerasa jadi sahabat yang nggak berguna!” kilah rikko
“Gabriel Stevent Damanik,….. ya dia yang minta gue ngerahasiain ini!”
“Apa maunya si Iel? Apa dia nggak mikirin perasaan kita? Nggak kasihan sama Via?” kata rikko lagi
“Dia Cuma nggak mau kalian—”
BRUKK
“Alvin..! Vin, lu kenapa? Vin, bangun!”
“Kayaknya kita harus gotong Al masuk, dia pingsan!” kata Obiet lalu berdua dengan Riko berusaha membawa Al masuk, meninggalkan Cakka yang masih berdiri terdiam ditengah hujan. Cakka tersadar saat tanngan rikko kembali dan menyentuh pundaknya
“Kka, masuk yuk! Gue khawatir sama Al!”
*****
“Apa? Lemah jantung? Sejak kapan dok?” Tanya obiet panik. Dokter itu menghela nafas berat
“Tiga tahun yang lalu!” Cakka tertegun, nafasnya serasa inginberhenti. Semuanya sudah di luar kendalu.
“Apa yang mereka berdua pikirin sih?” obiet menggumam.
Dua sahabat mereka diambang kematian, manusia mana yang sanggupmenghadapinya? Agni dan yang lain dating menghampiri Cakka cs yang duduk tertunduk di ruang tunggu.
“Al mana?” Semua diam, tak ada satupun kata yang bisa keluar dari kerongkongan mereka. Hanya tangan Obiet. Tangan itu menunjuk ke sebuah pintu yang dibaliknya terbaring sahabat mereka, Alvin.
Rasanya seperti ada yang menusuk jantung mereka begitu dalam, mata Shilla tak lepas dari dictator jantung yang bergerak sangat lambat itu, baru saja dia mencoba menghapus air mata melihat benda itu menyentuh kulit Gabriel, kini, benda itu benda itu menempel lekat ke tubuh sahabatnya yang lain, Alvin.
Cakka yang masih shock memperhatikan gerakan kecil dari tangan Alvin. Dia langsung menghampiri tempat tidur Alvin.
“ Al, lu udah sadar? Maafin gue, Al, gue nggak tau kalau semuanya bakal jadi kayak gini!”
Mata Alvin berputar menatap mereka yang melihatnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
“Gue ketahuan juga ya?” tanyanya, lalu tersenyum lemah. “ Iel udah sadar?” lanjutnya
“Cengar cengir, lu pikir ini lucu?! Iel udahh stabil, tadi udah stadar, trus skarang malah tidur dia!” terlihat kelegaan di wajah Siviia
“Dan kenapa lo sembunyiin ini dari kita?” Tanya Rikko.
Alvin membuka selang Oksigennya. “karna gue tau, kalian nggak akan ngijinin gue main bola lagi!” jawab Alvin santai
“Lo gila, Vin! Ortu lo tau lu sakit?” Tanya Cakka
“Papa? Hahaha bercanda lo, Ka? Mama tau kali, dia liat gue ngenes gini dari surge!” Cakka menutup mulutnya, begonya dia!
Alvin mencabut diktator jantungnya, lalu mengenakan seragamnya lagi, diirringi tatapan heran bercampur marah oleh yang lain.
“Kalau gue nggak pake baju ntar gue masuk angin, udah ya, gue mau pulang. Mau ganti baju ntar kalo sempet gue balik lagi!” kata Alvin
*Siput mulai kumat saikonya, harap maklum kalau abis ini ngelantur banget*
“Vin, lu bener-bener nggak waras. Sakit lo! Sadar nggak sih kita khawatir sama lo! Eh lunya malah kayak gini!” Kata rio (anggep aje udah ade di fol 1 udah keburu keketik sih :P) kesel setengah marah
“Kunci mobil gue mana?” Tanya Al tanpa menghiraukan pertanyaan Rio, karena nggak di respon Al bilang “kalo kalian enggak mau ngasih kunci mobil, gue naik ojek nih”
“Lari aja sekalian biar langsung mati!” Via mulai nggondok
“Oke” Alvin bener-bener keluar dari kamar itu dan meninggalkan mereka disana. Sambil memegang dada kirinya ia tetap berusaha pergi dari tempat laknat itu, well kekuatan manusia ada batasnya, tepat saat ia menemukan sebuah taxi dia masuk dan limbung didalamnya. “Jalan Kelingi, pak!” kata Alvin dengan napas terengah-engah.
“Hoi, Al!” Ria berusaha mengejar Alvin, tapi terlambat Alvin sudah masuk taxi
“Alvin mana, Yo? Cakka, Via cs nyusul
“Dia beneran balik!” Kata Rio panic.
“Duh, salah gue! Gimana dong?” kata via ikutan panic.
“Biar gue yang bawa mobil Al, Yo lo bawa motor gue ya!” kata Cakka
“Oke, kita susulin Al ini?! Trus, yang jaga Iel siapa?”
“Yang cewek aja!” kata Obet, dan kemudian letsgo
“Di dalam taxi Alvin terus menekan dada kirinya. ‘Sial, sakit banget sih’ batin Al.
“Mas nggak apa-apa?” Tanya supir taxi
“U..udah mas jalan aja!” kata Alvin tetap berusaha mengabaikan sakitnya
@RS
Gabriel mulai bangun. Matanya berkeliling ke setiap sudut ruangan. Bersamaan dengan itu cewek-cewek masuk.
“ Lu udah bangun, Yel?” kata Via sambil mendekat ke ranjang Iel. Iel mengangguk kemudian balik bertanya
“Mana cowok-cowok?”
“ngejar Alvin!” kata Oik akhirnya setelah beberapa menit terdiam.
“Al? kenapa dia?” Tanya Iel.
“Dia…” Oik pun menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, kecuali penyakit Alvin.
****
“rrgh…” Alvin mengerang, rasa sakit itu muncul bertubi-tubi jelas membuat si supir jadi takut.
“Kita puter balik ke RS ya, mas?” kata supir itu parno.
“jangan!” kata Alvin dengan suara melemah.
“tok.. tok..” si supir menengok ke kaca pintunya dan ternyata ada sebuah motor yang berjalan beriringan dengan taksinya. Tampang Rio yang lagi marah bikin si supir mikir kalau dia lagi ngebawa seorang anak yang baru lolos dari penculikan, ya jadi dia ngebutin mobilnya.
“Eh, dasar supir taksi sialan! Ngajak rebut dia?” Rio menambah kecepatan motornya. ‘udah kayak dikejar setan aja si Rio’ batin Cakka yang ngikut di belakang pake mobil Alvin. Dia juga mulai menambah speednya
“Woi, berhenti lo! Temen gue sekarat! Lo nggak liat!” teriak Rio sambil tetap mukul-mukulin kaca pintu taxi itu
*untunggnya polisi nggak dibayar ekstra buat nilang orang yang nglanggar lewat sms -,-* .
Supir itu dengan lola mikir “Temen ya? Berenti dong!”
Supir taxi kemudian meminggirkan taxinya.
”ken..hh..napa berhenti..hh?” kata Alvin sambil terus meremas dadanya
“Itu ada temennya mas!” kata supirnya takut ngeliat Riko dan Rio yang turun dari motornya.
“ JALAN PAK!” teriak Alvin dengan sisa tenaganya, reflek supirnya menginnjak gas dan ngeeng, asap mengepul di depan muka RikoRio
“Eh, sh*t.. sialan banget tu sopir!” RioRiko langsung balik ke motor, sementara Cakka masih setia ngikutin si pak Taxi
Saking semangatnya nginjek gas, mobil langsung melunjak dan berjalan dengan kecepatan tinggi. Tanpa disadari si supir, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melaju dari arah berlawanan
“WAAAAAA…..” si supir berteriak, ia membanting stir mobil menabrak pembatas jalan.
“PAK, KELUAR! Mobilnya nanti meledak!” kata Alvin
*Putri mulai lagi*
Dengan cepat pak supir keluar, Alvin yang sedikit limbung juga berusaha untuk keluar. Namun sialnya Alvin yang keluar dari pintu kiri yang menabrak pembetas jalanjatuh ke jurang yang berada di balik pembatas jalan itu. Alvin yang hampir jatuh, berusaha berpegangan pada batu yang cukup menonjol. Tapi sialnya tenaganya sudah terkuras habis oleh rasa sakit di tubuhnya. Saat Alvin mulai pasrah ada tangan yang tiba-tiba meraih lengannya dan membentunya naik. Dengan susah payah Cakka menarik tangan Alvin, kesadaran Alvin yang makin menipis ditambah lagi dengan rasa sakit yang masih menusuk membuat Alvin kehilangan tenagannya. Begitu Alvin berhasil diangkat Rio cs membantu cakka membawa Alvin ke mobil
*pak taxi dicuekin*
kemudian bergegas membawanya ke RS.
*gue berusaha nyelametin lo dari si Siput, Vin*
*Nggak asik ni kak Janie :p*
*wkwkwkwk gwe menang :D*
“Bukannya hh kalian hh mau hh gue mati?!” Tanya Alvin bingung, kali ini dia diimpit oleh rio dan obiet supaya nggak kabur, sementara riko naek mottornye cakka.
“Bego, mana ada sahabat yang mau sahabatnya sendiri mati?!” kata cakka sambil nyetir.
“Kita khawatir tau. Kalau lu mati siapa yang bakal nyumbang piala-piala juara ke sekolah kita” kata Rio sedikit emosi.
“Lucu..” respon Alvin pelan. Tanpa disadari dua sungai merah kecil mengalir dari hidung Alvin, Cakka yang melihat itu dari spion tambah panic begitu Alvin menuttup mata.
“Eh Yo, Biet, tuh si Al knapa?” Cakka panic
Tanpa basa-basi Cakka langsung tancap gas menuju RS
@RS
Alvin segera ditangani dokter. Sementara Cakka, Rio, Obiet, Riko harap-harap cemas di luar.
“Rrrt..rrt..” hp Rio bergetar.
“Hallo.. oh, kita udah ada di RS.. dia lagi ditanganin.. Iel sadar? Oke, kita kesana”. Rio mengakhiri . “Bro, Iel sadar!” kata Rio.
“Kalian kesana duluan, gue nungguin Alvin disini! Ntar kita gentian!” kata cakka diikuti anggukan dari teman-temannya
“Alnya gimana?” Tanya Iel begitu Rio cs dateng.
“Al masih ditangani dokter, tu anak nekat sih!” kata Rio.
“Bukannya memang itu gitu, udah gue bilang jangan dilawan” kata Iel dengan nada tidak setuju. “Gue mau liat dia!”
“Tapi Yel..” Via khawatir.
“Udah Via, gue nggak papa!” Gabriel tetep maksa.
“JAngan nekat, gue panggil dokter dulu!”
Atas izin dokter. Gabriel boleh keluar kamar. Alvin telah dipindah ke ICU, keadaannya benar-benar gawat. Mereka memutuskan Iel dan Via yang menjenguk duluan. Gabriel awalnya begitu semangat pengen ketemu Alvin, setelah melihat keadaan Alvin dia menjadi tidak tega. Bahkan Sivia pun sampai nangis nyesek di pelukan Iel.
“Gue kecewa sama lo, Vin, lo munafik! Kenapa lo nggak bilang soal keadaan lo? Gue bener-bener kecewa, tapi gue tetep pengen lo sembuhVin, inget janji lo!”
“Vin, bangun dong. Tanpa ada lo anak-anak jadi nggak semangat tuh! Bentar lagi masuk sekolah, Vin. Guru-guru pasti pada nggak semangat ngajar tanpa lo!”
Lima hari berlalu, keadaan Iel semakin membaik, bahkan terapi yang dilakukan berjalan dengan sangat lancer, namun kondisi ini bernbanding terbalik dengan Alvin, keadaannya tidak setabil dan bertambah buruk. Lima hari juga Aren selalu setia menemani Alvin, meskipun ia bukan siapa-siapa Alvin, tapi ia tetap selalu mengunjungi Alvin.
“Kak Alvin bangun dong, ini Aren kak.. kak Alvin, memang Aren bukan siapa-siapanya kakak, tapi Aren sayang kakak, Aren cinta kakak. Kasih Aren kesempatan buat buktiin itu semua!”
“Ren, udahlah Al juga pasti sedih lihat lo kayak gini, lo istirahat dulu lah, dari kemaren lo di sini terus” kata Rio
*inget FOL yang ke 2? Disini Rio jadi kakak tirinya Aren*
“Tapi Aren mau jagain kak Alvin!”
****
@RS
“Kapan sih gue dah boleh pulang? Bosen disini, kerjaannya disuruh tidur, makan! Mending boleh keluar, jagain Al aja nggak boleh!” Iel ngedumel
“Ada saatnya, Yel. Terapi kamu tinggal 2 minggu lagi, tahan ya!” kata Sivia
“Gue udah nggak betah, Via! Gue pengen nemenin Alvin!”
Sivia menatap Gabriel bingung “Yel, kalo Al sembuh dan lihat lo nggak sembuh-sembuh, dia bisa bantai kita semua!”
“Ya udah deh, terserah kamu aja, Vi! Gue boleh maen ke kamar Al nggak?”
“Ngapain? Ada Aren disana, Yel!”
“Gue kasihan sama Aren, Udah beberapa hari dia terus jagain Alvin terus!”
“Dan dengan gitu lo nggak kasian sama diri lo sendiri? Jangan gini lagi dong, Yel! Kita udah bahas ini dari kemaren!”
“Ya udah, terserah. Trus skarang gue harus ngapain?”
“Kamu tidur aja, istirahat Yel, aku mau check Aren, takut dia sakit kayak kemaren gara-gara nggak makan!”
“Heuh” Iel mendengus pelan. Sivia tersenyum meledek lalu pergi ke ruangan Alvin.
“Assalamualaikum!” katta Sivia sembari mengetuk pintu ICU
“Waalaikumsalam, eh kak Via! Masuk kak!”
“gimana Al?” Tanya sivi, lalu duduk di samping Aren, mata Sivia tak berpindah menatap kearah wajah putih pucat Alvin. Wajah yang dulunya s3elalu membantunya dari belakang.
“Masih sama, kak! Naik turun terus.Gue takut banget, kak! Takut kak Alvin nggak akan bangun lagi!”
“Aren, yang sabar ya! Alvin kuat kok, buktinya dia selalu bisa bawain kita piala kan?! Itu artinya dia bener-bener ngerti sakitnya, dan dia bisa ngeredam itu!”
“Tapi kak, Aren takut!”
“jangan perrnah takut, Ren, Karena Alvin nggak pernah takut sama kematian, yang penting kamu doa’in Alvin, sugest dia, dia pasti sembuh!”
Aren menngangguk “Kak Iel gimana, Kak?”
“He’s better, don’t worried bout his condition, okey I think I must back, before Gabriel came in, jaga Al ya!” kata Sivia lalu tersenyum
Setelah mengantar Sivia keluar, Aren mendekat ke tempat tidur Alvin lagi. Aren menggenggam tangan Alvin
“Kak,, bangun dong! Nggak capek tidur terus?”
Satu gerakan kecil Alvin membuat Aren terkejut, jari yang terjepit infuse itu bergerak perlahan, antara rasa haru, senang, bahagia dia berlarikeluar dengan semangat memanggil dokter yang lewat.
“Dokter, dokter.. kak Alvin sadar!”
Dokter segera masuk memeriksa keadaan Alvin. Aren hanya bisa menunggu di luar.
Aren masuk ke dalam begitu dokter selesai menjelaskan,
“keadaan Alvin sudah membaik, tapi kondisinya masih sangat lemah, jadi tetap buat dia selalu istirahat!”
***
Setelah mengantar dokter keluar, Aren menghampiri Alvin.
“KakAlvin gimana keadaannya? Udah baikan?”
“Always fine” kata Alvin lalu ia lanjutkan dalam hati ‘for you’. “Yang lain mana?” lanjutnya.
“sekolah lah kak! Kak Riko nggak mungkin ninggalin acara sekolah!”
“Gabriel gimana? Udah sehat? Apa malah udah pulang?”
“kak Gabriel masih harus terapi kak!”
“Ren, gue pengen makan sate!” pinta Alvin. Tiba tiba
“Kak Alvin bercanda? Sate nggak baik buat jantung kakak!” kata Aren
Alvin beranjak dari tempat tidurnya mencoba untuk duduk. Tubuhnya terasa kaku. “gue koma berapa hari?” Tanya Alvin sambil merenggangkan tubuhnya
“19 hari kak! Eh kak, tuh infuse jangan dilepas!” kata Aren yang melihat Alvin hendak melepas infuse yang menjepit tangannya.
“Mangkanya beliin sate, kalo nggak mau beneran gue lepas ni infuse!” ancam Alvin
“Yaudah, tunggu bentar gue panggil dokter buat nanya dulu!”aren berlalu,
didepan pintu dia bertabrakan dengan seseorang
“Aww..” rintih Aren.
“Aren? Alvin gimana?” Tanya orang itu setelah melihat Aren
“Kak Al di dalem, udah sadar! Udah dulu ya kak!”
“Ren,.. Aren. Mau kemana?” teriak Cakka, tapi tampaknya Aren tak mendengarnya. “Dasar, mau kemana sih buru-buru banget!” Cakka ngedumel gj sambil memasuki kamar Al.
“ngapain lu ngommel sendiri?” Tanya Al.
“Itu calon cewek lo mau kemana?” Alvin mengedikkan bahunya.
“bagus deh, kaloo lu dah sembuh, kita nggak harus bujuk-bujuk Iel buat nggak keluar kamar terus, dan emm gue minta maaf soal waktu itu” kata cakka lalu menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal.
”No prob, lupain aja” kata Alvin santai.
“elo nggal bakalan nekat lagi kan Vin?” “nggak janji!”
“Vin!” bentak cakka.
“Iye, iye, nggak pake otot kali Cak!”
“Abis lu sih, gue Tanya beneran malah gitu jawabnya! Lo taukan kita semua khawatir setengah mati!”
“gatau lah, gue kan matisuri bego ya lo!” kata Alvin asal
“Al, jangan ngomong aneh-aneh! Ngeri gue!”
“Gue nggak aneh-aneh, gue emang matisuri kan! Coba alat-alat bantu itu dilepas, gue udah nggak ada kali!” kata Alvin
“AL! GUE NGGAK SUKA DENGER OMONGAN LO!” teriak seseorang yang berdiri di depan pintu. Iel yang duduk di kursi roda di bantu Via tiba-tiba nongol dari balik pintu
“Iel, ngapain lu kesini? Bukannya istirahat malah maen!” kata Alvin sok kesel
“Udah gue larang tadi, Vin! Tapi dia ngotot pengen liat lo!”
‘Anjir! Sial banget gue!’ batin Alvin
“Gue nggak suka ya denger omongan lo!” ulang Iel
“Oh, terus?”
“Lo tuh nggak pernah berubah ya?”
“Emang!”
“tok tok tok..”
Aren bersama dokter masuk ke dalam kamar Alvin
“Tuh dok, kak Al ngeyel pengen sate!”
“Alvin, sate itu nggak baik buat jantung kamu! Kalau pengen cepet sembuh kamu harus bisa nahan nafsu kamu, jangan makan sembarangan, terutama yang berkolesterol!” jelas dokter panjang x lebar
“Tuh kan, Kak Alvin ngeyel sih!”
“Hah, baru tau ayam nggak baik buat jantung!” kata Cakka heran.
“bukan ayamnya tapi prosesnya, pembakarannya nggak baik buat penderita kanker kayak Al!” jelas si dokter
“Kanker?” Tanya yang lain bingung
“bukannya kata dokter kemarin Al Cuma Elje?” Tanya Sivia. Al member isyarat agar dokter tetap bohong
“Oh iya, boleh deh!” kata dokter itu terpaksa lalu berbisik pada Al. “saya tidak bertanggung jawab kalau kamu makin parah!” Al tersenyum seraya mengiyakan.
“Fear of death is worse than death it self” kata Al begitu dokter itu sampai di pintu
****
Satu minggu berlalu, semua sudah kembali ke sekolah, kecuali Gabriel yang masih harus menjalani terapi. Alvin sudah kembali menjadi kapten sepak bola, tentu saja dengan pengawasan berlebih dari Aren
“Udah deh kak, ini udah jam setengah enam, udah lewat dari jadwal latihan, balik yuk!” ajak Aren
“ Nggak ah, males!”
“kak, jangan maksain diri! Inget, badan lo itu rapuh banget! Sakit kakak bisa kambuh kapan pun! Aku nggak mau kakak sakit lagi!”
“bentar lagi! Lo jadi tambah cerewet, Ren!”
“Oke, kalau kakak nggak mau berhenti aren pulang sendiri!”
“Oke! Fine! Kita pulang!”
di mobil Al hanya diam dan focus ke jalanan
“kakak marah ya?”
“nggak” “kok diem?”
“suka-suka gue!”
“oh gitu ya!”
“Kak, aku…. Ah nggak jadi” Aren menarik nafas berat
“sampek, cepet turun!”
“nggak mampir kak?”
“nggak!” “inget sampek rumah istirahat, makan terus minum obat!”
“hmmm” Alvin langsung tancap gas. Aren Cuma bisa geleng-geleng ‘cueknya kumat ni anak’ batin Aren
****
Bosen, bosen! Gabriel seakan pengen ngebuang semua barang si kamar rawatnya, 3 minggu sudah dia disana, bosen jelas menjeratnya.
“Tok tok..”
“masuk!” kata Gabriel nggak niat
“jalan yuk!” ajak orang yang baru muncul itu.
“nggak mau, Vin, ntar gue kena marah!” kata Gabriel sok nggak mau
“Ah, udahlah! Gue udah ijin sama dokternye” kata Alvin
“Oh.. ini gimana?” kata Gabriel nunjuk kepalanya yang botak
“Pluk”
Alvin melemparkan topi kupluk.
Gabriel tersenyum seraya berkata “you’re my best Bro!”
***
“jalan kemana, Vin?” Alvin tetap focus nyetir
“Ah, gue bosen, Vin! Lu diem mulu. Kan tadi lo yang ngajak gue keluar!”
“Hah, lu Tanya apa yel? Gue nggak denger, konsen nyetir soalnya!”
“Kita mau kemana Mr. CUEK?”
“terserah lu lah, lu maunya kemana?”
“ liat sunset yuk!”
“ciiiit”
Alvin ngerem mobilnya tiba-tiba
“anjir lu, Pin! Kalo kepala gue keantuk, mati dibantai lu!”
“sorry, abis lo tadi ngomong kayak cewek tau nggak! Enek gue!”
“udah, mau kagak?”
“iya, gue anterin!”
***
“Wah, lama nggak keluar! Anginnya seger banget! Eh Al, gimana caranya lu bisa bujuk dokter? Gue aja kagak berhasil loh!”
“Rahasia perusahaan, Yel!”
“Al, jangan sok misterius ah!”
“Ya ada lah caranya, lo mau tau aja! Udah nikmatin aja sunsetnye!” kata Alvin lalu duduk di hamparan pasir yang tidak terkena air pantai.
Gabriell mengedikkan bahunya. Sahabatnya yang satu ini memang selalu bisa membuat orang sekitarnya bahagia.
Sedangkan Alvin hanya tersenyum melihat Gabriel yang asik main air
“Kayak anak kecil lo!”
“Biarin! Sini, ikutan main!” Iel sedikit menciprat-cipratkan air kea rah Alvin
“nggak, gue nggak kayak lo! Dasar CHILDISH!”
“Hoi, Mr. CUEK, sekali-kali nggak papa kali!”
“childish!”
”Mr. cuek!”
“childish!”
”Mr. cuek!”
“childish!”
”Mr. cuek!”
“childish!”
”Mr. cuek!”
“Gilaaaa!” teriak mereka bareng, mereka lalu tertawa bersama.
Namun tiba-tiba terjadi perubahan air muka di wajah Alvin
“Lo nggak papa kan?” Tanya iel panik
“kayaknya kita mesti balik deh!
“Lo, nggak papa Vin?”
“Nggak papa kok! Tadi gue Cuma ijin ngajakin lo bentar doing!”
“yah, padahal gue belum puas!”
“Hahahaha, nggak usah ditekuk gitu kali! Dasar Childish!” Alvin berjalan menuju mobilnya, kemudian diikuti Gabriel
Gabriel bingung melihat Alvin yang berhenti di depan mobilnya
“Lo aja yang bawa mobil, gue ngantuk!” kata Alvin dan menyerahkan kunci ke Gabriel. Lagi-lagi Gabriel mengedikkan bahunya tanda bingung.
Alvin masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi sebelah penumpang. Ia menurunkan sandarannya dan mencoba mencerna rasa sakit yang muncul di dada kirinya, berusaha menetralkan rasa sakit itu. Sedang Gabriel berusaha focus dan tidak berpikir macam macam pada sahabatnya Al.
@RS
“Al, sampek nih!” tak ada sahutan dari Alvin “pules banget sih tidur lo! Vin..” tapi tetap tak ada reaksi
Alvin terbangun dari tidurnya, kepalanya pusing sekali.
“emm.. gue nginep ya, Yel!” kata Alvin yang baru bangun
“oma lo?”
“Ntar gue telpon, udah masuk ye, Via nggak nemenin lo kan male mini?”
“kayaknya kagak, katanya besok ada ulangan!”
“ya udah, male mini gue yang nemenin!”
“Vin, tapi lo beneran nggak papa kan?” Gabriel sedikit curiga lahat gelagat Alvin yang dari tadi seperti menahan sakit, wajahnya juga sayu, tampak pucat
“Nggak lah!”
“Greb”
Gabriel meraih tangan Alvin yang berjalan duluan di depannya. Tangan itu terasa begitu dingin. Genggaman tangan Iel membuatnya bisa merasakan denyut nadi Alvin yang melemah.
“Vin, lu beneran nggak papa? Jawab gue dong, tangan lo dingin banget! Jawab gue dong, Vin!” Gabriel semakin kuat menggenggam pergelangan tangan Alvin.
“Gue nggak papa! Apaan sih, lu lebay banget! Ini kan malem dan AC mobil gue dingin banget, wajar ajakan? Udah ah, gue ngantuk!”
Gabriel akhirnya mengalah, melepaskan tangan Alvin dan menyamakan langkahnya dengan Alvin. Sampai di kamar rawat Iel, Alvin langsung tepar di sofa. Iel hanya bisa geleng-geleng lihat sahabatnya itu.
****
“Pin, bangun mas! Lo nggak sekolah?” kata Gabriel yang baru selesai mandi
“iye, gue bangun! Rese abis lo, baru jam 5 juga!” kata Alvin sambil mengucek-ngucek matanya
Alvin segera bangkit dari sofa, tapi sial kepalanya terasa berdenyut lagi. Rasanya berat. Dengan sedikit terseok Alvin menuju kamar mandi. Gabriel semakin bingung melihatnya.
“Grompyang! Gdubrak! Brak! Bruk!”
Gabriel yang baru saja mau nyalain TV dikejutkan dengan suara-suara dari kamar mandi. Langsung saja Gabriel beranjak dan berusaha mendobrak pintunya
“BRAK!”
dan Gabriel pun menemukan Alvin yang jatuh telungkup dengan kepala yang bercucuran darah
“Alvin..!!” Gabriel langsung menghampiri Alvin. Diangkatnya kepala Alvin dan meletakkannya di pangkuannya.
“Vin, lo kenapa? Vin!” Alvin yang setengah sadar berusaha mengumpulkan kekuatannya
“Gu..gue nggak..pa..pa, Yel!”
“Nggak papa gimana?kepala lo berdarah, Vin! Lo kuat berdiri?” Alvin mengangguk, kemudian Iel membantu Alvin berdiri.
Namun Siput berkata lain *apadeh kak janieee!!*
Alvin kembali kehilangan keseimbangannya, dan tenaga Gabriel yang masih belom benar-benar kuat sukses membuat mereka berdua jatuh, dengan posisi Gabriel menimpa Alvin.
“Aduh..” rintih Gabriel
“Sorry Vin, gue belom kuat kayaknya. Gue panggil dokter aja ya!” Gabriel berusaha berdiri.
Namun tangan Alvin yang masih telungkup di lantai menggenggam erat pergelangan kaki Gabriel, membuatnya berhenti berjalan. Gabriel merasa ada yang mau Alvin katakan, namun saat ia menunduk, genggaman Alvin mengendur dan perlahan lepas begitu saja. Gabriel makin panic, dan langsung berlari keluar
“Dokter! Suster! Tolong!”
Dengan tergesa-gesa dokter Exel, dokter yang menangani Iel segera menuju kamar Iel
“ada apa Iel?” dia bingung melihat Iel
“Alvin, Alvin jatuh di kamar mandi!” Iel menunjuk Alvin yang masih terkapar di lantai. Dr. Exel terdiam melihat Alvin.
‘Alvin, bukankah dia..’ Dr. Exel mengacaukan pikirannya, dengan cepat ia berusaha mengangkat Alvin keluar dan membawanya ke UGD. Selama perjalanan ia terus memandangi wajah Alvin yang mirip dengan seseorang. Sementara Gabriel malah disuruh istirahat di kamar.
“gue nggak berguna banget, nolongin gitu aja nggak bisa. Padahal al slalu ngejagain gue. Alvin kenapa sih? Dari kemarin aneh, apa dia masih sakit? Dia sakit apa?” pertanyaan demi pertanyaan terus berputar memenuhi pikirannya
“rrt..rrtt…”
Gabriel mengangkat telphonenya yang bergetar
“Ya Yo?”
“ada Al di sana? Soalnya kita Tanya sama Oma katanya Al sama lo!”
“Adak ok!” kata Gabriel dengan suara tercekak
“mana? Gue mau ngomong soalnya, hpnya nggak aktip!”
“dia…”
“Yel, Al mana?” Tanya Rio lagi
“….”
Mulai timbul perasaan nggak enak pada Rio
“Yo, Al..”
“Al kenapa Yel?” perasaan Rio semakin nggak enak
“Al tadi…” Iel menceritakan kejadian tadi
“Hah? Trus sekarang dia gimana?”
“Gue nggak tau Yo! Gue dikurung ini! Tadi Alvin dibawa ke UGD!”
“bokapnya udah tau?”
“Nopenya sibuk dari tadi!”
“Ya udah, ntar pulang sekolah gue sama anak-anak langsung kesitu!”
****
“Ada apa yo?” Tanya Ify begitu memasuki kelas mereka
“Al.. di UGD” kata Rio nggak jelas
“hah? Alvin ke Uganda?” Tanya Rikko
“Alvin masuk UGD RS tempat Iel” kata Rio lagi
“Kenapa?” Tanya yang lain panic
“gue juga belum jelas!” kata rio
“Kita bolos aja!” ajak Obiet
“Biet, lu salah minum obat ya?” Tanya oik khawatir
“Ha?”
“muka lo nggak usah nodong gitu, Biet. Ya kita bingung aja elo yang notabene kalem malah ngajak bolos?” kata cakka
“oke, kita bolos? Yaudah sebelum masuk!”
“Kak aku boleh ikut kan?” kata suara di belakang mereka
“Aren?”
“Boleh! Banget!”
****
“Sus, gue boleh nungguin Al di depan UGD nggak? Plis!” udah ribuan kali Iel memelas
“Ya udah, tapi harus tetap pakai infuse. Trus inget waktu, kalau udah waktunya terapi harus kambali ke sini!”
“Yes, makasih, Sus. Gue balik tepat waktu!” Iel langsung semangat lari-larian nenteng infuse, ninggalin suster
“yel, jangan lari-lari!” teriakan suster tak dihiraukan
“Gedebuk”
Karena terlalu semangat berlari Iel sampek jatuh terjerembab, sebuah tangan yang memiliki jemari yang begitu cantik mengulur di depan mata Gabriel
“Via!” kata Gabriel sambil mendongak
“Lu nggak papa, Yel? Jangan lari-lari makanya!” kata Via membantu Iel berdiri
“Yel, Alvin gimana?”
“Rio, Cakka, Obiet, Riko, Aren!”
“Kak Iel gimana sih, ditanya malah ngabsen!”
“kalian bolos? Alvin, dokter belum keluar! Sebenarnya Alviin sakit apa sih? Kan nggak mungkin tiba-tiba gitu jatuh di kamar mandi!”
“Lemah jantung Yel!” jawab Cakka akhirnya
“Apa? Kok gue nggak tau?” Tanya Gabriel lalu ia menyenderkan dirinya ke dinding, perlahan merosot dan terduduk di lantai “Kenapa harus Al?”
“Yel, yang sabar!”
“Jadi waktu itu Alvin koma karena ini?!”
“Iya, Yel. Kita juga kaget banget waktu Al tiba-tiba blackout, trus dikasih tahu!”
“Tapi masak elje bisa berakibat kayak gini?” Obiet mulai menduga-duga
“Itu dia yang gue bingungin, waktu dia di taksi dia kelihatan kesakitan banget, padahal elje setau gue nggak selebay itu” jelas Rio
“Trus waktu balik ke RS dia sampek mimisan segala” Cakka nimbrung.
Gabriel masih terduduk sambil sesenggukan. Aneh memang seorang cowok nangis. Tapi ini memang terjadi. Membayangkan sahabat yang selalu membantunya kini terbaring lemah, menggantikan posisinya. Gabriel tak sanggup.
Dr. Exel keluar dari UGD
“Alvin keadaannya gimana dok?” Tanya Rio, di belakangnya muncullah Alvin dengan kepala diperban
“Kayaknya gue nggak sekolah lagi deh, Yel” kata Al sambil masih memainkan perban di kepalanya, dia udah kayak petarung nggak jadi. “Kalian! Kenapa di sini hah? Kalian nggak sekolah! Dasar bego! Mau gue gorok satu-satu?”
“Abis kita kawatir sama lo!”
“Hah, gue Cuma kepentok tadi.. nih lihat!”
“Iel bilang lu masuk UGD, jadi kita panik”
“Iel lu percaya! Dia itu lebay. Cuma gini doang!”
“gue takut banget tadi Vin, lu pucet banget, badan lu dingin, gimana nggak kuwatir coba!”
“dasar lu nya aja yang lebay!”
“udah-udah, ini rumah sakit! Iel, bentar lagi waktunya terapikan! Cepet siap-siap! Alvin tiduran aja dulu di kamar Iel!” Dr. Exel nengahin
“Ngapain kalian masih di sini? Balik ke sekolah sana, ini juga Aren ngapain ngikut?”
***
Setelah di usir balik mereka Cuma mojok di kantin RS, jamudah nunjukin time yang ga banget buat ke sekolah, kepalang banget buat masuk ntar juga disuruh balik
“Maafin Al ya Ren, dia nggak maksud apa-apa kok, dia emang gitu, dari kecil emang yang paling jarang diperhatiin, dia jadi ngerasa aneh karena kamu tiba-tiba di sana tadi” kata Via
“Aren nggak apa-apa kok kak! Udah sedikit terbiasa!”
“Skarang mau kemana nih kita?” Tanya Rio
“sekolah aja yo, gue nggak mau di gorok Al” Kata Cakka
“lewat mana?” Tanya aren bingung
“a secret way hahahaha”
“Okodi!”
***
“Al, lu yakin nggak papa?”
“gue capek dengerin lo dari tadi nanyain itu mulu!”
“tapikan gue beneran kuatir sama lo!”
“tadi lo denger sendiri kan Dr. exel bilang apa!”
“Iya, gue denger! Tapi gue ngrasa ada yang aneh dari lo, kayak ada sesuatu tau nggak?” kata Iel curiga
Alvin yang tengah makan chitato dan menonton TV menghentikan aktifitasnya, lalu menoleh ke Iel
“Apaan?”
“nggak tau, lo kayak nyembunyiin sesuatu!”
“Aneh lo!”
“Lo yang aneh!”
“Ah udah deh! Ngomongin lainnya!”
“Lu sama Aren gimana?”
“Aren? G-ga ada apa-apa” jawab al gelagapan
“Ah, bohong lo!”
“Suer deh!” kata Alvin sambil mengacungkan dua jari tengah dan telunjuknya
“tok tok tok”
“Masuk!”
“Hei, Gab gimana? Siap buat terapi?” Tanya Dr. Exel
“Eh, sekarang dok? Katanya ntar siang?”
“sekarang, nanti saya mau pergi soalnya. Emmm ini Al punya kamu three time for one day, inget!” kata dokter Exel sa,bil memberikan sebotol kecil obat yang berisi butiran pil. Gabriel melihat obat itu bingung ‘kok sama?’ batinnya.
Alvin membelalakkan matanya ‘buset ni dokter!gimana kalau Iel tau?’ batinnya.
“Eh dok, obat apaan itu?” Tanya Gbriel
“Ini? Sama kayk kamu lah!” kata dokter Exel
“Hah, kok bisa? Itukan buat.. jangan jangan? Al, lo ngebohongin kita ya?”
“Hah? Apa? Enggak, ini..” ‘aduh, dokter the kumaha atuh. Pake acara ngasih ginian di dini. Mati gue, Iel pasti tahu’ batin Alvin
“Vin, jujur sama gue dong!” kata Iel makin marah
“Eee… Itu gue..” Alvin gelagapan
“iel, udah waktunya terapi! Ayo, kamu harus siap-siap!”
“Bentar dok!’
“a…anu yel, lu terapi aja dulu! Ntar kalo telat bahaya!”
“awas kalo gue balik lo malah kabur!”
“nggak janji” kata Alvin pelan begitu Gabriel keluar Alvin langsung keluar juga, dia berlari meninggalkan RS dengan membewa kunci mobilnya, namun dia malah meninggalkan obatnya
<SKIP>
Sesudah terapi Iel kembali ke kamarnya dengan diantar suster yang mendorong kursi rodanya. Di sepanjang lorong RS firasatnya nggak enak. Bukan efek terapi, ntahlah, Iel sendiri nggak tahu penyebabnya.
Gabriel mendapati kamarnya telah kosong, ia memutar roda kursinya dan membiarkan suster itu berdiri di depan pintu. Gabriel menemukan secarik kertas di atas mejanya
“Gue balik, yel. Masalah yang tadi ntar gue jelasin, please jangan kasih tau yang lain”
“Udah gue duga, dasar tu anak emang sakit!” Iel bergumam
“sus, bisa bantu tiduran nggak?”
“Ayo mas!” kemudian suster membantu Iel naik ke kasurnya. “Mas Iel, obatnya kok masih penuh?” katanya sambil mengambil obat di atas meja iel
‘Haha? Perasaan obat gue tinggal setengah! Jangan-jangan itu obat Al!’
Gabriel menggenggam erat botol obat itu dia lalu membuka laci di sebelah bednya dan mengambil handphonenya. Langsung saja ia menelpon Alvin, sesuatu yang tidak seharusnya ia lakukan.
NB: Jangan tebak akhir critanya :P
Langganan:
Postingan (Atom)
My Blog List
Diberdayakan oleh Blogger.
